Perlakuan atas napi muslim lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya, akibat stigmatisasi teroris
Hidayatullah.com--Sebuah studi atas narapidana muslim yang berada di penjara-penjara England dan Wales, Inggris, menemukan bahwa 30% diantaranya pindah agama menjadi muslim ketika dalam penjara. Sementara muslim lainnya semakin taat beribadah semenjak mereka berada di dalam bui.
Ada banyak alasan mengapa non-muslim memeluk Islam di penjara, namun yang paling disorot media--karena unik--yaitu dengan menjadi muslim mereka bisa mendapat fasilitas di penjara yang lebih baik.
Menurut laporan studi yang dilakukan oleh Inspektorat Penjara Inggris itu, sebagian narapidana mengakui bahwa fasilitas yang bisa didapat muslim dalam penjara menjadi daya tarik mengapa mereka memeluk Islam.
Narapidana muslim diperbolehkan mengikuti shalat Jumat berjamaah, mendatangi pengajian dan bertemu para ustadz atau ulama, yang semuanya dilakukan di luar sel. Muslim mendapatkan jatah makanan halal dan di bulan Ramadan mereka mendapat asupan gizi yang lebih baik. Mereka juga mendapatkan akses atas Al-Quran dan buku-buku Islam lainnya.
Namun bukan hanya muslim yang mendapat hak-hak tersebut. Seperti yang dilansir Express (8/6), seorang jurubicara dari Kementerian Kehakiman mengatakan bahwa narapidana dari semua agama mendapatakan hak serupa yang sama.
Dari gambaran di atas sepertinya muslim lebih beruntung daripada penganut agama lainnya. Namun kenyataannya tidak demikian. Hasil studi menyebutkan, mereka merasakan pengalaman hidup dalam bui yang lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya. Penyebabnya tidak lain akibat stigmatisasi teroris yang ditimpakan atas penganut Islam. Tingkat keamanan dan hubungan mereka dengan staf penjara tidak lebih baik dari penganut agama lain. Oleh pihak otorita penjara, mereka diasingkan sedemikian rupa.
Menurut laporan tersebut, narapidana muslim di England dan Wales yang berjumlah 10.300 orang diperlakukan seperti teroris. Padahal hanya kurang dari 1% yang benar-benar terkait dengan kasus terorisme.
Khawatir radikalisme
Inspektorat Penjara menilai tindakan pengelola penjara yang menyamaratakan tahanan muslim sebagai pelaku teroris justru akan berakibat buruk.
Penjara-penjara harus berhubungan dengan muslim secara individual, bukan "sebagai bagian dari kelompok terpisah dan biangkerok," kata Dame Anne Owers, Kepala Inspektorat Penjara, seperti dikutip BBC.
Pihak pengelola penjara mengatakan semua napi diperlakukan secara patut dan terhormat.
Tiga tahun lalu, Prison Service mulai melatih para staf untuk mampu mengidentifikasi dan merespon tanda-tanda radikalisasi.
Menurut laporan Owers, hal tersebut yang menyebabkan staf memperlakukan muslim sebagai "ektrimis potensial", padahal hanya kurang dari 1% yang benar-benar tersangkut masalah terorisme.
"Naif, jika menafikan bahwa ada muslim yang memiliki pemikiran radikal ektrimis di dalam penjara, atau yang tertarik dengan mereka dengan berbagai alasan," ujar Owers.
"Tapi, bukan berarti hal itu menjadi alasan untuk melakukan pendekatan tertutup dengan keamanan ketat atas napi muslim secara umum," katanya lagi.
Dame Anne Owers meminta agar National Offender Management Service (Noms) membuat suatu strategi pendekatan yang efektif bagi para staf dalam berhubungan dengan napi muslim. Di mana masing-masing diperlakukan sebagai individu dengan tingkat resiko dan kebutuhan yang berbeda, dan bukan dianggap sebagai kelompok terpisah dan kelompok "pembuat onar".
"Tanpa hal itu, ada resiko yang tampak nyata, bahwa pengalaman di penjara akan membuat atau menebalkan rasa keterasingan dan kekecewaan, sehingga ketika mereka dilepaskan ke masyarakat, para pemuda akan lebih mudah tersinggung atau bahkan memeluk ektrimisme," papar Owers.
Menurut Owers sebagaimana dilaporkan Guardian, napi muslim bukan kelompok homogen. "Sebagian dilahirkan sebagai muslim, dan lainnya mualaf. berdasarkan survei, 40% merupakan orang Asia, 32% kulit hitam, 11% orang kulit putih dan 10% keturunan campuran. Salah satu keluhan utama mereka adalah, staf penjara cenderung menganggap mereka sebagai sebuah kelompok daripada sebagai individu. Dan seringkali melihat mereka dari kacamata ekstrimisme dan terorisme, baik ketika mereka melakukan upaya pencegahan maupun mendeteksi masalah-masalah tersebut."
Kepala Inspektur Penjara itu mengatakan, teruman utama dari survei dan wawancara yang dilakukan adalah napi muslim merasa menjalani kehidupan dalam bui yang semakin buruk, khususnya terkait masalah keamanan dan hubungan mereka dengan staf dan napi lainnya. Masalahnya semakin akut di dalam penjara-penjara dengan tingkat keamanan tinggi, di mana 3/4 napi muslim merasa tidak aman karena staf penjara sangat tidak mempercayai mereka.
Setidaknya ada satu temuan positif bagi inspektur penjara, di mana hubungan antara napi muslim dengan pembimbing spiritualnya semakin baik, dan pemenuhan kebutuhan spiritual dalam penjara dirasa cukup.[di/berbagai sumber/www.hidayatullah.com]