Kemanapun tugas baru, ia sudah mewakafkan seluruh hidupnya untuk jalan dakwah
Hidayatullah.com--Suatu pagi di awal Juni lalu, jarum jam di masjid Quba, kompleks Asrama Haji Sudiang, Makassar menunjukkan pukul 7.30. Sepi. Namun, di shaf paling depan dekat mimbar, ada seorang tengah khusu’ shalat. Khusu’ sekali. Sampai-sampai, berdiri, rukuk dan sujudnya hampir sama lamanya. Sekitar 10 menit ia menyelesaikan shalat dua raka’at. Mungkin saja, ia sedang melakukan shalat dhuha.
Ia memakai jubah putih dengan sorban merah dililitkan di kepalanya. Janggutnya yang mulai memutih. Di jidatnya terdapat dua titik hitam yang sebagian tertutup sorban. Orang sering memanggilnya Abdullah.
Pria berusia 62 tahun, berperawakaln kecil. Tingginya kira-kira 140 cm. Sepintas, orang yang melihatnya sebagai sosok orang lugu, jika tak mengenalnya secara dekat, orang akan keliru.
Usai shalat, Abdullah sempat berbincang-bincang kepada hidayatullah.com tentang masa lalunya.
“Diriku telah kujual di jalan dakwah untuk mensyiarkan Islam” tuturnya menjelaskan tentang jalan hidupnya yang kini sedang ia pilih.
Abdullah memulai ceritanya. Kala itu, sekitar tahun 1997, ia masih sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), tepatnya sebagai guru agama di sekolah negeri. Secara ekonomi, kebutuhan hidupnya memang telah terpenuhi. Tapi entah, ia mengaku, hidupnya senantiasa merasa resah.
“Waktu itu, saya merasa, Islam saya masih belum sempurna. Banyak hal yang belum saya terapkan,” ujarnya.
Dari waktu ke waktu, keresahan itu terus membuncah. Masih di tahun 1997, atas izin Allah, Abdullah diperkenalkan dengan sebuah lembaga Islam dari seorang juru dakwahnya. Sang da’i dianggap Abdullah sosok beda dengan da’i-da’i biasanya. Abdullah merasa baru kali itu, di tempatnya, ia melihat da’i yang semangat hidup dan membanggakan syariat-nya dengan tinggi.
Entahlah, Abdullah merasa seolah ada magnet yang mengajaknya untuk ikut bersama sang dai. Biidznillah, Ia akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan si dai. Jabatan sebagai guru agama dan PNS dengan gaji cukup luamaya ia tinggalkan.
“Tak ada yang lebih berharga dari dakwah,” ucapnya saat memutuskan bergabung menjadi juru dakwah.
Saat bergabung pertama, ia ditugaskan ke sebuah pesantren di Kalimantan, sebuah tempat yang baru baginya. Di tempat itu, ia mendapat tugas menjadi seorang guru. Dunia yang tak asing baginya.
Kendati demikian, Abdullah merasa tetap nampak bodoh. Kehidupan yang ada di lembaga ini menurutnya, tak banyak menerapkan teori, justru banyak mengamalkan agama secara langsung. Itulah yang dirasakan beda dengan ubudiyah Islam yang selama ini ia kenal dan ia terapkan semenjak kecil. Ia benar-benar merasakan Islam tak hanya teori yang dihapal, sebagaimana ia ketahui selama ini. Benar-benar dipraktekkan.
Tak pelak, Abdullah sangat menikmati hidup barunya. Tak ada kata penyesalan. Justru syukur yang tak terhingga yang dirasakannya.
“Sebuah nikmat yang jarang saya dapat,” katanya semringah.
Belum lama jadi guru di tempat itu, ia telah dipanggil untuk tugas dakwah. Ia ditugaskan merintis dakwah di daerah Kenangan, Grogot. Daerah yang akan dirintisya, dekat dengan kompleks perusahaan PT. Instruments Timber Corporation Indonesia (ITCI).
Karena mendapat respon bagus, dakwah di tempat baru tersebut berjalan mulus. Sambutan pun luar biasa. Praktis, Abdullah tidak mendapat halangan dalam dakwahnya. Tapi, baru sekitar tiga tahu tahun, ia dipanggil lagi oleh sang pimpinan dan dipindahkan untuk tugas baru membantu salah satu da’i merintis dakwah di Tarakan, Kaltim. Di Tarakan, ia hanya diberi waktu setahun.
Belum sempat peluh kering, bahkan istri dan anak-anaknya baru saja mengenal tetangga secara baik, ia dipindakan lagi merintis dakwah ke Bontang.
Namanya saja membuka lahan dakwah masih baru, pratis bermula dari nol. Abdullah terasa terjun bebas. Ia harus bekerja sekuat tenaga mengambil bagian yang bisa dikerjakan. Terkadang ngajar, gali pondasi, cari donatur, silaturahmi pada tokoh tak henti-hentinya ia lakukan.
Belum lama di Bontang, ia dipindahkan lagi menuju Manado. Di tempat ini, ia dapat amanah merintis cabang baru. Meski hal itu bukan seperti membalikkan kedua telapak tangan, tapi, yang namanya tugas harus siap. “Sebagai kader, saya harus sami’na wa ‘atona,” katanya.
Merintis lahan dakwah baru, bagi Abdullah adalah aset pahala. Meski bukan ia yang menikmati, tapi ia merasa pahala usaha dakwahnya akan mengalir. Karena itu, Abdullah tidak pernah berfikir jerih payahnya selama merintis. Ia serahkan semuanya pada Allah.
Meski sudah memeras keringat dan banting tulang, andai akhirnya ia disuruh pindah, detik itu juga ia harus siap, layaknya pasukan militer yang menerima tugas dari komandan.
Memang benar, di Manado, ia tak bertugas lama. Sebab ia dipindahkan lagi menuju Tarakan kembali. Di Tarakan, ia juga dikembalikan menuju Kenangan, Grogot lagi.
Dan, setelah beberapa kali pindah, akhirnya Abdullah sekeluarga ditarik lagi ke awal, menuju Kalimantan.
Sekitar sembilan kali Abdullah dipindah-tugaskan; sebagian ada yang mengawali lahan dakwah baru, sebagian ada yang hanya meneruskan. Banyak kenangan manis selama menjalani dakwah. Menurutnya, merintis dakwah adalah saat-saat romantis berdekat-dekatan dengan Allah. Pasalnya, dalam kondisi tak menentu dan tak memili apa-apa, ia justru harus meraih pertolonganNya.
Banyak pertolongan Allah yang telah dirasakannya. Pernah, suatu ketika sedang mencari lahan untuk membuka pesantren, tiba-tiba datang orang tak dikenal sedang mewakafkan tanahnya. Ibaratnya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Padahal, hal itu tidak disangka-sangka sebelumnya.
Memang ia akhirnya memiliki lahan untuk membangun pondok pesantren, sayang, dana tak sepeserpun ia miliki untuk membangun yang harus membutuhkan bahan-bahan material.
Meski demikian, keyakinan yang tinggi akan bantuan Allah, terus ia tanamkan kuat-kuat dalah lubuk hatinya. Dengan doa tak henti-henti, ia juga terus berusaha mengelola lahan sebaik-baiknya. Ia masih ingat petuah pimpinan ketika ia pertama kali ditugaskan menuju medan dakwah.
“Cangkul saja tanahnya, jangan menunggu uang, insyaAllah uang akan datang sendiri,” begitu kenangnya.
Ketika sedang mencangkul lahan untuk memulai membangun pesantren, tiba-tiba datang seorang dermawan memberikan batuan. Mereka datang dari tempat-tempat jauh, yang dikenal selama ini. Ada yang dari Jakarta, Surabaya dan kota jauh lainnya.
“Min haitsu la yahtasib,” ujar Abdullah menyitir ayat Al-Qur’an.
Meski usianya semakin senja, tapi, tidak ada kata putus untuk berdakwah. Termasuk andai, jika disuruh merintis lahan baru untuk berdakwah. Baginya, kemanapun tugas baru, ia sudah mewakafkan seluruh hidupnya untuk jalan dakwah.
“Insya Allah saya siap,” tuturnya sambil memasukkan mushaf kecil ke dalam sakunya. [ansor/hidayatullah.com]