

Jejak langkahnya diharap para penerusnya agar para musuh dari luar tidak memanfaatkan perpecahan Sunni-Syiah
Oleh Musthafa Luthfi*

PADA Selasa (6/7) umat Islam di  Libanon mengantar tokoh Syiah terkemuka negeri itu dan dunia Arab pada  umumnya, Sayyid Mohammad Hussein Fadhlallah ke tempat peristirahatan  terakhir. Umat Islam di negeri itu dan bangsa Arab pada umumnya merasa  kehilangan seorang pemersatu dan pendukung kuat perlawanan terhadap  zionisme.
Umat Islam dari kalangan Sunni di dunia Arab mungkin  merasa lebih kehilangan dibandingkan kaum Syiah dikarenakan sikap dan  pendirian sang ulama dan marji`(otoritas fiqih) bijak ini yang  dikenal anti terhadap perpecahan mazhab. Ia dikenal dengan semboyan  "marilah kita bersatu dibawah naungan Allah daripada berpecahbelah atas  nama Allah."
Sejak kemunculannya sebagai marji' Syiah utama  di Libanon dan dunia Arab, tokoh bijak ini tidak pernah terlibat dalam  perseteruan antar golongan lebih-lebih antara Sunni-Syiah. Karenanya  tidak mengherankan bila, ketokohannya sebagai ulama terkemuka bukan  hanya di kalangan kaum Syiah tapi kalangan umat Islam pada umumnya.
Salah  satu pendirian Hussein Fadhallah yang tidak mungkin dilupakan kaum  Sunni dan akan selalu tercatat dengan tinta emas sepanjang sejarah  adalah pendirian tegasnya menyangkut Ummul Mu`minin (para ibu  kaum Mu`min/para istri Nabi SAW) dan para sahabat. Ia dengan tegas  mengharamkan pengutukan atas Ummul Mu`minin dan atas sebagian  sahabat Nabi.
Karenanya, tak aneh bila situs Islam terkemuka, islamonline.net menyebutnya saat mengomentari kematian sang ulama Syiah ini sebagai  ulama Syiah pertama yang berani menfatwakan hal tersebut. Masih menurut  situs ini, mungkin dialah ulama Syiah yang dengan berani mengingkari  riwayat yang menyebutkan bahwa Umar Bin Khattab radhiallahu anhu pernah memukul putri Baginda Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra.
Pendirian  Al-Allamah Fadhlallah yang membuatnya sebagai salah satu tokoh  pemersatu umat Islam menurut islamonline adalah penolakannya  terhadap Al-Qur`an Fatimah dan mengakui Al-Qur`an yang dicetak di kota  Madinah, Arab Saudi serta menolak setiap perkara yang bertentangan  dengan Al-Qur`an cetakan Saudi tersebut.
Lebih dari itu, ulama  kharismatik ini juga mengakui kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Usman radhiallahu  anhum sambil menegaskan bahwa sayyidina Ali adalah salah seorang  penasehat mereka dan pembantu meraka. Dia juga menolak taqdis (pengkudusan/pensucian) para Iman di kalangan Syiah dan menolak bahwa  mereka mengetahui tentang hal-hal ghaib.
Itulah beberapa  pendirian sang ulama bijak itu yang membuatnya demikian dicintai di  kalangan kaum Sunni sehingga kepergiannya dari alam fana ini bukan saja  kehilangan besar bagi saudara seiman dari kaum Syiah, namun bahkan kaum  Sunni merasa lebih kehilangan. Sayyid Fadhlallah juga menolak  pembentukan Dewan Tinggi Syiah di Libanon karena ia hanya menginginkan  pembentukan Dewan Islam yang menyatukan Sunni dan Syiah.
Pendirian  sang marji` Syiah ini yang bersebrangan dengan para marji` Syiah umumnya menyebabkannya ia disebut sebagai mujaddid (pembaharu). Pendirian ini merupakan unsur utama menuju keutuhan  kesatuan Sunni-Syiah di dunia Arab sehingga tidak dapat dimanfaatkan  musuh sebagai sarana memecah belah umat.
Salah seorang kolumnis  Arab, Habib Al-Asoud mengisahkan bahwa beberapa orang tangan kanannya  pernah menjelaskan tentang usaha-usaha untuk memperkuat posisi Syiah.  Namun Al-Allamah Fadhlullah mengingatkan mereka agar mengusahakan cara  yang terbaik untuk berdedikasi sepenuhnya kepada umat Islam.
“Karena  itu, tidak berlebihan bila kepergiannya adalah kerugian besar bagi  Syiah dan Sunni secara bersamaan karena dialah ulama sebagai unsur  penentu utama taqaarub (pendekatan) kedua mazhab ini, sumber  kebijaksanaan, tidak seperti sebagian ulama lainnya yang sering  memunculkan perpecahan antar mazhab,” papar sang kolumnis.
Editor  senior TV CNN, Octavia Nasr juga tidak kuasa menahan rasa  kekagumannya terhadap tokoh Syiah yang meninggal Ahad (4/7) itu sehingga  ia menuliskan rasa kagum tersebut di jejaring sosial Twitter.  Meskipun, goresan kekaguman tersebut menyebabkan ia akhirnya kehilangan  pekerjaan sebagai wartawati senior di salah satu TV paling berpengaruh  di AS itu.
Bapak Spiritual perlawanan
Ulama Syiah  yang menjadi marji` independen (terpisah dari marji` di  Iran) ini lahir di kota Najef Al-Ashraf, Iraq tempat sang ayah menuntut  ilmu saat itu, pada 5 Sya`ban 1354 H atau 2 Nopember 1935. Di kota suci  kaum Syiah itulah ia besar dan menuntut ilmu dan dikenal sebagai salah  seorang murid menonjol karena penguasaannya terhadap disiplin ilmu yang  ditekuninya.
Sang ayah, Ayatullah Al-Sayyid Abdul Raouf  Fadhlallah berasal dari daerah pegunungan di utara Libanon dan  bermigrasi serta menetap di kota Najef cukup lama untuk belajar dan  mengajar disana mengingat Najef saat itu dikenal sebagai salah satu  pusat keilmuan terkemuka di Arab.
Pada 1966 ia kembali ke  Libanon, daerah asalnya untuk mengamalkan ilmunya. Setelah berada di  kembali di negeri asalnya, dakwah yang disampaikan tidak hanya sebatas  dakwah teoritis namun dibarengi pula dengan dakwah secara praktisi  termasuk melalui pelayanan sosial seperti pendirian rumah sakit, klinik,  panti asuhan dan masjid.
Ketika perang saudara berkecamuk di  Libanon, ia pindah ke wilayah selatan negeri itu. Disana ia melanjutkan  dakwah dan mendirikan sejumlah panti asuhan, klinik dan masjid. Di  tempat inilah ia melakukan penggemblengan terhadap kaula muda negeri itu  akan pentingnya perlawanan menghadapi penindasan kaum zionis.
Karenanya,  meskipun ia secara struktural tidak duduk dalam jabatan tertentu dalam  organisasi perlawanan Hizbullah di Libanon Selatan, namun dia dianggap  sebagai bapak spiritual perlawanan menghadapi penjajahan zionisme.  Pengalaman di bidang dakwah, sosial dan pelayanan kepada kaum dhua`afa  selama 50 tahun menjadikannya sebagai referensi bagi Hizbullah hingga  akhir hayatnya.
Tentang jiwa perlawanannya terhadap zionisme ini,  harian Al-Quds Senin (5/7) memberitakan bahwa ketika sempat  siuman menjelang beberapa saat sebelum dijemput maut, seorang suster  yang merawatnya bertanya tentang permintaan terakhirnya. Sheikh  Fadhlullah hanya menjawab "saya hanya ingin melihat eksistensi  zionisme musnah."
Maka tidak aneh bila ulama terkemuka Syiah  ini termasuk daftar yang paling dibenci zionis Israel sehingga semasa  hidupnya telah beberapa kali mengalami usaha pembunuhan. Paling tidak  sebagian dari harapannya telah terwujudnya yakni enyahnya pasukan  pendudukan zionis dari Libanon Selatan pada bulan Mei 2000.
Dari  perjalanan hidup sang ulama Syiah yang anti fanatik golongan itu, yang  paling penting dicatat bagi umat Islam kawasan ini adalah pendiriannya  yang teguh untuk menyatukan Sunni-Syiah bagi kejayaan umat Islam dengan  melepaskan baju golongan yang dapat membawa perpecahan. Satu lagi,  keberaniannya untuk mengoreksi pendapat yang dianggapnya tidak tepat  seperti tradisi kecaman terhadap sebagian sahabat dan Ummul Mu`minin serta  ke-maksuman (kesucian) imam yang tentunya sangat besar  pengaruhnya untuk mempersempit kesenjangan dua golongan mazhab terbesar  umat Islam ini.
Memang tak dapat dipungkiri, kepergian ulama  bijak ini terjadi pada saat upaya musuh untuk makin menjauhkan  kesenjangan antara syiah dan Sunni sedang berlangsung demikian dahsyat.  Tidak mudah menemui ulama Syiah sekaliber Al-Allamah Fadhlullah saat ini  yang telah membuktikan upayanya, baik dengan ucapan dan tindakan bagi  terciptanya kesatuan umat Islam dari unsur Sunni dan Syiah.
Diharapkan  jejak langkahnya akan mengilhami para penerusnya agar para musuh dari  luar tidak memanfaatkan perpecahan Sunni-Syiah untuk melakukan hegemoni  di dunia Arab dan Timur Tengah pada umumnya. [Sana`a, 28 Rajab 1431  H/hidayatullah.com]
 
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, kini sedang berdomisili di Yaman