Keragaman yang menjadi spirit Bhinneka Tunggal Ika cenderung diabaikan, padahal Indonesia berbentuk kepulauan



Keragaman yang menjadi spirit Bhinneka Tunggal Ika cenderung diabaikan, padahal Indonesia berbentuk kepulauan

Pernyataan ini disampaikan Dirjen Pendidikan  Non Formal dan Informal Kemendiknas, Hamid Muhammad, PhD dalam “Lokakarya  Pendidikan Masyarakat Terintegrasi Dengan Aksara Perdamaian” di  Medan, kemarin.
Sejumlah pembicara dalam acara tersebut antara  lain, Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof Dr Amsal  Bakhtiar, Ketua Perwalian Umat Buddha Indonesia Sumatera Utara, Dr Indra  Wahidin, Rektor Universitas Nomensen Medan, Pdt Dr Martonggo Sitinjak,  Kepala Litbang Departemen Hukum dan HAM, Prof Dr Hafid Abbas, Peneliti  LIPI, Siti Juhro, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait  dan Budayawan, Prof Dr Robert Sibarni.
Kegiatan ini dilakukan di  tiga wilayah yaitu di Medan untuk wilayah Barat, Mataram untuk wilayah  Tengah, dan Ambon untuk wilayah Timur.
Wakil Rektor UIN Jakarta  Prof Dr Amsal Bakhtiar mengatakan, konflik horizontal yang terjadi di  tengah masyarakat sekarang bergeser dari antarumat beragama menjadi  konflik antarpendukung calon kepala daerah, sehingga isu atau persolan  konflik agama tidak banyak muncul di permukaan.
Bergesernya  persoalan agama ke politik lokal merupakan salah satu faktor kenapa  konflik antarumat beragama cenderung turun dibandingkan dengan  konflik-konflik politik lokal, seperti konflik antarpendukung gubernur  dan bupati/walikota. Akibatnya, kecenderungan konflik beralih dari  masalah gesekan antarumat beragama menjadi gesekan antarpendukung  politik.
Dalam beberapa kali pilkada, lanjutnya, kita saksikan  betapa banyak korban, baik orang maupun bangunan hancur akibat ulah para  pendukung yang kalah. Persoalan inilah yang perlu juga dikaji secara  mendalam tentang faktor-faktor terjadinya konflik antarpendukung dalam  pemilihan kepala daerah dan bergesernya budaya konflik dari antarumat  beragama menjadi antarpendukung calon kepala daerah. Kalau melihat  realitas di atas, di mana sebenarnya posisi umat beragama. Umat beragama  ikut dalam ritual keagamaan dan juga ikut dalam ritual politik.
Untuk  saat ini, terlihat jelas bahwa umat beragama menjadi sasaran empuk bagi  para politikus. Para politikus memanfaatkan umat beragama untuk  mendapat dukungan karena umat beragama lebih solid dan mudah digiring,  apalagi yang digiring adalah para tokoh agama, tukasnya.
Idealnya  umat beragama, terutama para pemuka agama memiliki prinsip tersendiri  dan konsisten membina moral umat dan tidak tergoda oleh rayuan dan  kemilaunya kekuasaan. Kalau prinsip ini dipegang teguh, kehidupan  politik akan seimbang karena ada daya penyeimbang dari masyarakat sipil  yang berpengaruh untuk melakukan koreksi pada hal-hal yang menyimpang  dari norma agama dan moral.
Pentingnya toleransi
Hal  senada peneliti LIPI Siti Zuhro, PhD mengatakan, tujuan dari toleransi  antarumat beragama tidak saja perdamaian, tetapi terwujudnya masyarakat  sipil yang kuat, bangsa yang kokoh dan bersatu, dan rasa kebanggaan  menjadi bangsa Indonesia yang plural, tapi kuat. Kalau bangsa Jepang  atau Korea bersatu, sudah biasa karena ras, budaya dan agama mereka  tidak begitu beragam. Namun, kalau Indonesia mampu seperti mereka, maju,  bersatu, dan bangga menjadi bangsa Indonesia, maka itu hal yang luar  biasa.
Ironisnya, lanjut Siti, keragaman yang menjadi spirit  Bhinneka Tunggal Ika cenderung diabaikan, padahal Indonesia yang  berbentuk archipelago dengan keunikannya ini sangat memerlukan  nilai-nilai toleransi, menerima perbedaan, baik agama maupun suku atau  etnis (SARA).
Berkurangnya nilai-nilai toleransi tersebut telah  menimbulkan kekerasan atau kerusuhan akhir-akhir ini, baik dalam pilkada  maupun dalam pemekaran daerah. Partai politik sebagai pilar demokrasi  belum menjalankan tiga tupoksinya yaitu melakukan pendidikan politik,  mengartikulasikan kepentingan masyarakat, dan melakukan integrasi  politik. [pel/hidayatullah.com]