View Full Version
Senin, 19 Jul 2010

Dilecehkan, Polwan Kuwait Diperdebatkan Lagi

Pakaian polwan yang tidak sesuai aturan busana muslimah dianggap sebagai pemicu pelecehan

Hidayatullah.com--Setelah terjadinya kembali pelecehan atas polisi wanita di mall, eksistensi polisi wanita kembali mengusik sebagian pejabat di negara Kuwait yang semenjak awal menentang keikutsertaan mereka di dalam korps militer dan polisi.

Anggota parlemen yang menentang keberadaan polisi mengatakan, pelecehan terjadi karena polisi wanita tidak mengikuti aturan berpakaian wanita muslim. Dalam banyak kasus, mereka mengenakan celana panjang ketat dengan kemeja yang dimasukkan.

Sebagaimana dilansir Al-Arabiya, anggota parlemen Muhammad Al-Hayif menyeru Perdana Menteri Syeikh Jabir Al-Khalid agar polwan diberi pekerjaan administratif saja, karena tidak cocok ikut memanggul senjata, patroli atau bertempur.

Hayif dan anggota parlemen lain yang diberi label konservatif, seperti Walid Al-Tabtabai dan Falah Al-Sawagh menyebut Perdana Menteri seperti tinggal di menara gading dan tidak menyadari bahwa menugaskan polisi wanita di lapangan justru menimbulkan masalah.

Tidak hanya melanggar aturan berpakaian muslimah, menurut Hayif, ide polisi wanita juga bertentangan dengan budaya bangsa.

Liberal Dukung Polwan

Sementara itu kaum liberal Kuwait menentang pendapat para wakil rakyat yang sepaham dengan Hanif, yang dianggap mendiskriminasi wanita dan menghalangi mereka berbaur dengan masyarakat di berbagai bidang.

Dr. Badr Al-Shibani, profesor psikologi di Universitas Kuwait mengatakan, masalah terletak pada ketidakbiasaan orang-orang Kuwait melihat wanita yang berseragam. Sama seperti masyarakat negara Teluk lainnya.

"Untuk ini saya menyalahkan Menteri Dalam Negeri dan Informasi," ujarnya kepada Al-Arabiya (15/7).

"Mereka seharusnya mempersiapkan masyarakat untuk keterlibatan wanita dalam kepolisian. Jika mereka melakukan itu, masyarakat tidak akan marah dengan kehadiran polwan."

Menurut Shibani, pelecehan yang terjadi hanyalah kasuistik yang dibesar-besarkan media.

"Media mengangkatnya di luar porsi sehingga kelihatannya seperti (seluruh) polwan dilecehkan," ujarnya.

Penulis Dina Al-Tarrah mengatakan, pelecehan tidak hanya menimpa polwan, tapi juga jurnalis, dan pengacara wanita.

"Kita semua ingat bagaimana awal penderitaan dokter wanita hingga masyarakat bisa menerimanya," tambah wanita itu.

Meskipun mendukung peran wanita yang semakin meningkat dalam kepolisian, pengacara Mubarak Al-Shamri menilai keputusan untuk menugasi polwan di tempat-tempat umum cukup tergesa-gesa.

"Perempuan seharusnya memulai dengan melakukan pekerjaan kantor sampai masyarakat siap melihat mereka berpatroli di jalan-jalan atau di pusat perbelanjaan. Kurangnya kesadaran masyarakat ini yang memicu terjadinya pelecehan," katanya.

Tiru Saudi

Perdebatan semacam ini juga terjadi pada Maret lalu, ketika para wanita di kepolisian mendapat pelatihan menggunakan senjata. Waktu itu muncul juga masalah keengganan polisi pria untuk memberi hormat kepada atasan mereka yang wanita.

Tahun 2008, pemerintah Kuwait memperbolehkan wanita ambil bagian menjadi anggota kepolisian. Para pejabat ketika itu beralasan, hal tersebut perlu dilakukan untuk mengatasi kendala pemeriksaan atas wanita, yang tidak mungkin dilakukan oleh polisi pria.

Hayif dan rekan-rekan di parlemen akan mengajukan pertanyaan kepada Perdana Menteri di sesi sidang yang akan datang, karena di awal dulu Perdana Menteri pernah berjanji bahwa polisi wanita akan diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang layak (menutup aurat).

Jika ingin memasukkan wanita sebagai anggota polisi, Hayif pernah menyaranan agar meniru Arab Saudi, yang menugaskan mereka dalam pekerjaan administratif dan jika berada di lapangan harus mengenakan jubah dan kerudung yang pantas. [di/arb/wrdt/hidayatullah.com]

 


latestnews

View Full Version