Bangga punya gelar sarjana dari sekolah bisnis Harvard? Eits, nanti dulu ...
Hidayatullah.com--Menghabiskan uang sebanyak USD250.000 untuk sebuah gelar sarjana dari universitas-universitas Amerika yang terkenal di dunia seperti Harvard dan Yale hanya buang-buang uang, demikian tulis sebuah buku.
"(Mahasiswa) tingkat sarjana diabaikan," kata Andrew Hacker, yang menulis buku "Higher Education? How Colleges Are Wasting Our Money And Failing Our Kids - And What We Can Do About It" bersama dengan Claudia Dreifus.
"Pendidikan tinggi telah menjadi cagar bagi para profesor ... yang telah benar-benar kehilangan kontak dengan tujuan utama pendidikan tinggi, yaitu pendidikan bagi para mahasiswa," katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
Hacker dan Dreifus yang mengkritisi banyak universitas di Amerika Serikat, mencatat bahwa biaya untuk meraih gelar sarjana naik dua kali lipat dibanding satu generasi sebelumnya. Tapi kualitas pendidikannya tidak serta-merta naik dua kali lipat, karena sebagian besar perguruan tinggi telah kehilangan fokusnya.
Banyak profesor di Ivy League yang tidak mengajar mahasiswa sama sekali. Dan di banyak perguruan tinggi, urusan mengajar seringkali diserahkan kepada dosen tambahan yang dibayar rendah, demikian kata Hacker.
Ivy League adalah kumpulan delapan universitas di Amerika Serikat yang dianggap paling unggul dan elit secara akademis. Terdiri dari Universitas Brown, Columbia, Cornell, Dartmouth, Harvard, Pennsylvania, Princeton dan Yale. Semuanya adalah universitas swasta, kecuali Cornell yang setengah swasta.
Menurut Hacker, banyak pendidikan tingkat sarjana yang sifatnya kejuruan, mulai dari manajemen resor hingga fashion merchandising. Dan uang dalam jumlah yang sangat besar telah dihabiskan hanya untuk membangun fasilitas ruang makan dan asrama yang mewah serta gedung olahraga yang artistik. Oleh karena jumlah staf administrasi juga meningkat, maka sudah umum jika pemimpin perguruan tinggi digaji 1 juta dollar per tahun.
"Pendidikan kejuruan tingkat sarjana adalah, saya tidak ingin menyebutnya sebagai sebuah penipuan, tapi hampir seperti itu," ujar Hacker.
"Sekolah bisnis tingkat sarjana ... hanyalah merupakan sebuah sandiwara. (Di mana) orang berusia 19 tahun berperan seakan-akan mereka adalah pemimpin eksekutif dari General Electric. Itu (hanyalah) pemborosan uang dan waktu," tandasnya.
Sarjana Unggas dan Keramik
Termasuk kejuruan yang dianggap tidak perlu dalam buku yang akan terbit 3 Agustus mendatang itu, adalah jurusan hortikultura hias, ilmu perunggasan dan teknik keramik.
"Seluruh pendidikan tingkat sarjana seharusnya merupakan sebuah pendidikan yang bebas, di mana Anda berpikir bagaimana menggali ide dan memikirkan masalah-masalah tentang kemanusiaan," tegas Hacker. "Setelah itu, lanjutkan pendidikan ke sekolah hukum atau belajar kedokteran gigi, (terserah) Anda punya banyak waktu."
Hacker berpendapat, tingginya iuran pendidikan hanya berkaitan sedikit dengan pengajaran.
"Biayanya menjadi tinggi, karena baik pihak universitas maupun pengelolanya menghamburkan uang seperti pelaut mabuk," kata Hacker, seraya mengingatkan bahwa lulusan Ivy League seringkali hanya memiliki karir yang biasa-biasa saja.
Di samping menceritakan pengalaman mereka sebagai dosen di New York; Hacker di Queens College dan Dreifus di Universitas Columbia, pasangan itu juga berkeliling ke seluruh penjuru Amerika untuk mencari perguruan tinggi terbaik dan terburuk.
Mereka mendaftar 10 perguruan tinggi yang menurutnya baik, dilihat dari pengajarannya, di mana mahasiswa mendapatkan kuliah yang sepadan dengan uang sekolah yang dibayarkannya. Daftar itu tidak memasukkan satu pun nama universitas anggota Ivy League.
Dreifus dan Hacker merekomendasikan Universitas Negeri Arizona karena semangat mengajarnya serta Berea College di Kentucky karena bebas biaya pendidikan dan perbandingan 1:10 untuk komposisi fakultas-siswa.
Keduanya menghargai Universitas Notre Dame karena peduli dengan kesejahteraan umum dan Massachusetts Institute of Technology karena memperlakukan dosen paruh waktu dengan baik.
Buku tersebut menyarankan agar perguruan tinggi fokus pada masalah pendidikan dan melucuti program-program olahraga, memangkas biaya administrasi yang membengkak, dan lebih memperhatikan manfaat dari fasilitas penelitian dan kesehatan.
Para penulis menyatakan, masa jabatan harus dihapuskan, cuti panjang diperpendek dan perhatian harus dicurahkan agar mahasiswa lebih terlibat secara intelektual dalam proses belajar-mengajar.
Tragedi juga terjadi di universitas-universitas AS, di mana banyak mahasiswa yang memiliki pinjaman pendidikan hingga enam digit. Padahal kemampuan mereka untuk melunasinya tidak ada.
"Hal ini tidak hanya unik bagi Amerika Serikat, tapi juga merupakan sesuatu yang baru. Sepuluh tahun lalu tidak ada mahasiswa yang mengambil pinjaman semacam ini," cerita Hacker. Ia memperkirakan, tingkat gagal bayar pinjaman di kalangan mahasiswa akan tinggi di tahun-tahun mendatang.
Untuk mengurangi biaya, buku itu menyarankan agar orang Amerika mempertimbangkan untuk mendaftar di perguruan tinggi yang lokasinya tidak jauh dari rumah mereka. Daripada mengeluarkan biaya tambahan sekitar USD30.000 per tahun jika bersekolah di negara bagian lain.[di/rtr/hidayatullah.com]