Menarik diri dari Afghanistan, pasukan Belanda bisa kembali menikmati kopi capucino hangat
Hidayatullah.com--Setelah empat tahun terakhir Belanda memimpin pasukan ISAF di Provinsi Uruzgan, Afghanistan, kini pasukan Belanda memilih pulang kampung lebih dulu, meninggal teman-temannya. Hari Minggu tanggal 1 Agustus 2010, pasukan 'pengecut' mulai mengemas koper-koper mereka, angkat kaki dari negeri atap dunia.
Sebagaimana dilansir Radio Netherland, penarikan mundur pasukan Belanda dari Afghanistan ini melanggar perjanjian solidaritas antara negara-negara anggota NATO yang semuanya mengirim pasukan ke Afghanistan. Meskipun negara lain tidak suka dengan keputusan tersebut, apa mau dikata, Belanda seperti negara lainnya adalah negara merdeka yang bebas menentukan untuk menarik pasukannya.
NATO sebenarnya meminta agar Belanda tetap berada di di posnya guna melatih pasukan pemerintah Afghanistan. Tapi karena saat ini Kabinet Belanda masih kosong, yang tumbang juga karena masalah Uruzgan, maka keputusan mengenai hal itu tidak bisa ditetapkan sampai terbentuk kabinet yang baru.
Masyarakat Belanda sendiri tidak terlalu mendukung misi Uruzgan yang dimulai sejak 2006 itu. Awalnya masih banyak yang mendukung, tapi lama-kelamaan lebih banyak yang menolak.
Jajak pendapat Juli 2010 lalu menghasilkan 41 persen warga Belanda menolak misi, 33 mendukung dan 27 persen tidak memilih. Jatuhnya korban di pihak Belanda, 24 orang tewas, tidak mempengaruhi opini publik.
Belanda 'Pengecut'
Dalam novel bergambar 'War Is Boring' atau 'Perang Itu Membosankan', David Axe seorang koresponden perang freelance menceritakan bahwa keadaan Kamp Holland (Belanda) jauh lebih mewah dibandingkan kamp tentara Amerika Serikat.
"Hei penakut," ejek seorang tentara Amerika dari jipnya. "Jika masih harus menembak, bagaimanapun kita tidak akan mampu merebut simpati penduduk," kata tentara itu pada seorang komandan Belanda. Demikian Radio Netherland mengutip sebagian cerita pembuka dalam novel.
Dalam novel tersebut digambarkan, tentara-tentara Belanda adalah tentara cengeng yang cuma bisa mengeluh tentang kopi capucino yang dingin, tapi tidak peduli dengan korupsi.
David Axe mengatakan, ia tidak bermaksud mengejek siapa pun dengan novelnya.
"Saya hanya ingin membeberkan humor dan memahami prasangka dan sub-kultur di kalangan kesatuan militer, yang harus bekerja-sama dalam suatu operasi militer. Saya sendiri bukan tentara. Saya ini penulis. Karena itu saya tidak pernah mengecam mereka. Saya tidak percaya bahwa ada anggota pasukan NATO yang pengecut. Namun, memang kenyataan, beberapa anggota pasukan NATO memandang rendah beberapa rekan mereka lainnya. Dan persaingan seperti itu tentu mewarnai dan menambah ketegangan kehidupan militer. Tapi saya yakin, hal-hal seperti itu tidak mempengaruhi penampilan pasukan NATO di medan tempur."
Menurutnya, pasukan Belanda juga berani, contohnya pada pertempuran Chora Juni 2007. Ketika satu batalyon Belanda terlibat dalam pertempuran sengit melawan Taliban dan milisi lokal. Tapi, keterlibatan Belanda pada waktu itu masih dirahasiakan. Belanda dan negara-negara Sekutu (Australia dan Amerika Serikat) serta tentara Afghanistan tidak punya cukup tentara untuk mengawasi seluruh provinsi. Pengerahan pasukan ke suatu wilayah mengakibatkan lemahnya pertahanan di wilayah lain.
Bagi tentara Belanda pertempuran ini punya arti penting. Mereka membuktikan mampu bertempur seperti tentara Amerika. "Ketika itu tampak seolah mereka bersedia bertugas di sana untuk jangka panjang."
"Tapi, rakyat pemilih Belanda ternyata punya pendapat lain. Dan mungkin, pikiran rakyat ini memang tepat," lanjutnya.
Mungkin memang sudah waktunya pasukan 'pengecut' pulang kampung dan berhenti mengobrak-abrik negara lain yang berdaulat. [di/rnw/hidayatullah.com]