Gubernur Belanda sampai mengirim surat kepada toko Nabhan agar tidak mendatangkan kitab-kitab tertentu
Hidayatullah.com--Puluhan toko kitab kuning yang berderet di sepanjang jalan Sasak dan Panggung Surabaya seperti yang tampak saat ini, tidaklah berdiri dengan tiba-tiba. Pada mulanya, hanya ada satu lapak kaki lima yeng menjual kitab kuning di lokasi yang banyak didiami komunitas Arab itu.
Lapak kitab itu akhirnya berubah menjadi sebuah toko, yang mensuplai kitab-kitab untuk pesantren di wilayah Jawa dan Madura. Sehingga pertumbuhan pesantren-pesantren ikut berkembang pesat, karena bahan ajar sudah tersedia.
Maklum, sebelum ada lapak kitab yang berdiri pada tahun 1908 ini, kitab adalah barang yang amat langka. Untuk memperolehnya, seseorang harus menitipkannya kepada para calon jama’ah haji yang berangkat menuju Tanah Haram. Sehingga kitab hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Praktis, peran toko Nabhan dalam meningkatkan pengetahuan keislaman umat Islam saat itu tidak bisa dipandang sebelah mata.
Balanda rupanya memahami peran kunci toko kitab yang didirikan oleh Salim bin Sa’d Nabhan ini terhadap perkembangan ilmu dan pemikiran umat Islam di Jawa dan Madura. Untuk mengantisipasi Belanda segera mengambil langkah.
Akhirnya, melalui Gubernurnya yang saat itu adalah seorang orientalis bernama Van der Plas, dikirimlah surat kepada Nabhan agar tidak mendatangkan kitab-kitab tertentu dari Timteng. Namun, jika sudah telanjur pejabat Belanda yang pandai bahasa Arab ini meminta kepada Nabhan satu naskah, demikian yang dikisahkan oleh Mustafa, cucu Nabhan kepada Hidayatullah.com.
Laki-laki yang kini ikut mengelola toko kitab Salim Nabhan ini sendiri tidak tahu persis, judul-judul kitab yang dilarang untuk didatangkan saat itu.
Tentu, walau tak jelas buku apa judulnya, namun pastilah Belanda takut dengan buku-buku yang bisa menyadarkan bahwa umat Islam saat itu telah terjajah dan wajib bangkit untuk melawan penjajahan. Sehingga umat Islam akhirnya bergerak melakukan perlawanan. [tho/hidayatullah.com
]
Foto: Thoriq