View Full Version
Senin, 23 Aug 2010

Para Pengamat Yakin AS akan Awet di Iraq

AS tidak akan melepaskan kontrol atas Iraq, karena Paman Sam memiliki kepentingan di Timur Tengah

Hidayatullah.com--Meskipun Amerika Serikat telah menarik pasukan tempurnya dari Iraq, banyak pengamat menilai situasi keamanan yang rentan dan kebuntuan politik yang berkepanjangan membuat kehadiran Paman Sam di negeri 1001 akan bertahan lama.

AS memulai serangan darat ke Iraq pada Jumat malam tanggal 21 Maret 2003, ketika Unit Ekspedisi Marinir ke-15 melancarkan serangan ke pelabuhan Umm Qasr di selatan Iraq.

Setelah tujuh tahun menimbulkan kekacauan di Iraq, Kamis malam lalu (19/8) kendaraan berat militer dari unit tempur AS yang 'terakhir' bergerak menuju Kuwait saat gelap gulita, karena khawatir kelompok-kelompok perlawanan akan mempersulit penarikan diri mereka dari Iraq.

Penarikan pasukan tersebut merupakan salah satu pemenuhan janji kampanye Obama dan sejalan dengan keinginan AS untuk fokus pada perang di Afghanistan.

Dex Torricke-Barton, pakar masalah keamanan internasional dan PBB, kepada Al-Arabiya (22/8) mengatakan bahwa "keterlibatan AS di Iraq akan terus berlangsung dan kehadiran 50.000 pelatih militer di negara itu tidak diragukan lagi memungkinkan AS untuk terus melakukan operasi kontra-terorisme di sana, sekaligus melanggengkan kekuatannya di Baghdad."

Pensiunan tentara AS Kolonel Andrew Berdy dalam sebuah artikel di majalah Foreign Policy menggambarkan rencana "penarikan seluruh pasukan tempur dari Iraq" sebagai sebuah "mitos". Dia berkata, "Misi sampingan dari sisa pasukan kita di sana dimaksudkan untuk melakukan operasi tempur, baik dalam mempertahankan diri mereka sendiri maupun mendukung pasukan Iraq jika diminta."

Sejauh ini sejumlah media AS membandingkan kehadiran 50.000 tentara AS di Iraq dengan pasukan AS yang masih terus berada di Jerman dan Jepang seusai Perang Dunia II.

Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, bahkan telah memberikan sinyal kemungkinan perpanjangan kehadiran pasukan AS di Iraq pasca Juli 2011, ketika seluruh pasukan mereka harus sudah ditarik keluar, seperti yang tercantum dalam Status of Forces Agreement (SFA) antara AS dan Iraq yang ditandatangani oleh pemerintahan Bush.

"Jika sebuah pemerintahan baru terbentuk di sana dan mereka ingin melakukan pembicaraan mengenai (keadaan) setelah 2011, jelas kami terbuka untuk mendiskusikannya," ujar Gates.

Patricia DeGennaro dari World Policy Institute kepada Al-Arabiya mengatakan, "Jika Iraq memutuskan untuk mengubah perjanjian tersebut, saya yakin AS akan setuju. Dan saya tidak terkejut sama sekali jika hal itu terjadi dan militer (AS) terus memberikan bantuan hingga beberapa tahun ke depan."

Tidak diragukan lagi AS sangat khawatir meninggalkan Iraq, karena ketidakhadirannya di sana bisa dimanfaatkan oleh berbagai kelompok perlawanan. Dan negara tetangga seperti Suriah dan Iran bisa jadi memanfaatkan panarikan penuh tentara AS dari negara tersebut, untuk mempengaruhi politik dan kedaulatan Iraq.

Jika AS benar-benar menarik seluruh pasukannya, "sangat mungkin Iraq akan menjadi bola sepak geopolitik yang dipermainkan negara sekitarnya, sebagaimana Libanon ketika perang sipil tahun 1980an," kata Torricke-Barton.

"AS akan berusaha mengamankan kepentingannya di negara itu dan sekitarnya, meskipun kehadiran militernya berkurang di sana."

Para kritikus menilai pemerintah Obama tidak memiliki kemauan untuk mendorong adanya solusi atas kemandegan negosiasi pembentukan pemerintahan baru di Iraq, lima bulan setelah pemilu parlemen dilaksanakan pada Maret 2010.

"Apa yang mengejutkan dari pemerintahan Obama atas pendekatannya yang sekarang atas Iraq adalah bukan keberpihakannya pada salah satu partai, yaitu partainya Allawi. Melainkan kurangnya upaya untuk mengusahakan munculnya solusi, sesuatu yang paling dicermati oleh politisi dari seluruh partai," tulis Joost Hiltermann, wakil direktur Middle East and North Africa Program di International Crisis Group dalam New York Review of Books.

Status of Forces Agreement yang ditandatangani George W.Bush di akhir jabatannya sebagai presiden dengan pemerintahan PM Nouri Al-Maliki dimaksudkan untuk memperkuat Iraq "dalam orbit regional pro-AS," tambah Hiltermann.

"Satu yang paling sering orang dengar dikeluhkan dan dikhawatirkan politisi Baghdad adalah pemerintahan Obama hanya melakukan sedikit langkah untuk mengimplemantasikan SFA." Demikian Hiltermann.[di/arb/hidayatullah.com]


latestnews

View Full Version