

Sekitar 88 persen kasus HIV/AIDS berasal dari kelompok usia produktif (20-49 tahun)

Hidayatullah.com—Orang  sering berkesimpulan, wanita baik-baik, yang tak punya masa lalu buruk  tak mungkin tertulas virus HIV/AIDS. Siapa bilang?  
Fakta  menunjukkan, sejak 2007, ibu-ibu rumah tangga atau wanita baik-baik  menjadi kalangan yang paling rentan tertular HIV/AIDS melalui hubungan  seks dengan kekasihnya atau suaminya. Hal ini dikatakan Antis Naibaho  SpSI, Manager Konselling HIV/AIDS RSU Pirngadi Medan.
 “Perempuan-perempuan  baik-baik yang tertular HIV/AIDS dari para suami mereka yang pengidap  dan dulunya mungkin pencandu atau pelaku seks bebas.”  
Dikatakannya,  berdasarkan persentase penularan HIV/AIDS melalui hubungan  heteroseksual, mencapai 50,3 persen dengan perbandingan laki-laki dan  perempuan 3 : 1. Secara keseluruhan, sambungnya, berdasarkan Data  Kemenkes, pada akhir 2009 jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia mencapai  19.973 jiwa dengan kecepatan penularan tercepat di kawasan Asia  Tenggara.
Kemudian, berdasarkan laporan dari 32 provinsi di  Indonesia, sekitar 88 persen kasus HIV/AIDS berasal dari kelompok usia  produktif (20-49 tahun). “Kalau usia 20 dia sudah mengidap, berarti  tertularnya dari lima tahun sebelumnya, 15-an," imbuhnya. Menurutnya,  kasus penderita HIV AIDS di kalangan wanita meningkat drastis. Perilaku  berisiko suami atau pasangan merupakan penyebab utama penularan HIV di  kalangan  wanita.
”Dari penelitian regional mengenai HIV AIDS di  Asia, diketahui wanita merupakan orang dewasa yang paling rentan terkena  HIV. Di Indonesia, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Departemen  Kesehatan mengestimasi sekitar 300 ribu orang dewasa usia 15-49 tahun  hidup dengan HIV pada 2009.  Peningkatan infeksi tertinggi pada  perempuan,” tambah wanita lulusan sarjana Psikolog di Kota Medan ini.
Penyebab  makin banyaknya wanita terinfeksi HIV, lanjut dia, karena pasangan yang  berperilaku berisiko tinggi. Pria pembeli seks dikenali sebagai  kelompok populasi terinfeksi tertinggi. Padahal, kebanyakan mereka  merencanakan menikah. Akibatnya, wanita yang dianggap berisiko rendah  justru berisiko tinggi setelah melakukan hubungan seksual dengan suami  atau pasangan. “Memperkuat hak azasi reproduksi wanita juga sebagai cara  mencegah penularan virus mematikan tersebut,” tegas Antis lagi.
Tak  hanya itu, lanjut Antis, budaya patriarki (posisi perempuan di bawah  pria) yang kuat di negara-negara Asia menyebabkan tidak bisa  didiskusikannya seks kepada pasangannya. “Terutama perempuan baik-baik  kepada suaminya. Sehingga pembicaraan tentang penggunaan kondom pun  sangat tabu. Makanya perempuan sering jadi korban seks laki-laki  termasuk para suami yang liar,” paparnya.
Resiko rentan wanita  terinfeksi HIV/AIDS, karena organ tubuh perempuan yang sangat sensitif  dan bentuk anatominya yang cenderung terbuka memudahkan bakteri  berkembang di sana, apalagi ketika sedang berhubungan seks. “Hubungan  seks yang dipaksakan juga lebih rentan untuk kena luka atau tergores di  bagian kelaminnya perempuan. Dengan adanya luka akibat gesekan atau  goresan itu kemudian bakteri atau virus mudah masuk ke dalam organ  reproduksi itu bila melakukan seks dengan pria yang terinfeksi,” kata  wanita beranak empat ini.
Berdasarkan pengalamannya sebagai  Manager konselling di RSU Pirngadi Medan, ada beberapa wanita yang  menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) terinfeksi HIV. Para TKI itu sering  melakukan hubungan seks dengan pasangannya yang ternyata penderita  HIV/AIDS. “Padahal si TKI itu bukan pemakai jarum suntik narkoba. Tapi  malangnya, ia justru terinfeksi dari pasangannya yang pengguna jarum  suntik narkoba dan pelaku seks bebas,” ungkapnya.
Antis  menyarankan, sebelum menuju jenjang pernikahan (pra-nikah), hendaknya  pasangan memeriksakan darahnya ke medis tidak untuk mengetahui tertular  HIV/AIDS saja, tapi juga penyakit lain seperti hepatitis, kolestrol dan  lainnya. “Ini demi masa depan anak nantinya. Memeriksakan darah itu  penting karena badan bugar bukan jaminan tak ada penyakit,” kata Antis.
Bicara  soal penularan HIV/AID, menurut Antis, selain dengan hubungan seks,  penularannya juga bisa menular melalui jarum suntik yang telah dipakai  oleh orang yang terkena HIV/AIDS, juga melalui  transfusi darah. Mereka  yang menggunakan drug atau narkotik itu menjadi kelompok yang mudah  terinfeksi oleh virus HIV karena penggunaan jarum suntik yang  bergantian. Namun kalau jarum suntiknya itu tidak bergantian atau  menggunakan jarum suntik baru, maka tidak dimungkinkan virus HIV/AIDS  itu akan masuk dan menjalar pada seluruh tubuhnya.
Selain  kelompok perempuan yang rentan terhadap virus HIV/AIDS, masyarakat kelas  bawah juga lebih rawan terinfeksi. Misalnya ketika mereka mendapatkan  pengobatan dari tempat pengobatan umum, biasanya ketika mereka harus  mendapatkan suntikan maka pihak dokter menggunakan jarum suntik bekas,  dan dengan jarum bekas tersebut mungkin saja itu bekas dipakai oleh  orang yang terinfeksi virus HIV.
“Perlu diketahui bahwa HIV/AIDS  tidak menular melalui salaman, menggunakan WC bareng, menggunakan gelas  bareng, keringat, juga bersinnya. Jadi virus HIV/AIDS hanya menular  melalui jarum suntik bekas HIV/AIDS, hubungan seks dan transfusi darah,”  pungkasnya. [jppn/hidayatullah.com]