


Dari editorial IBD terukir jelas wajah ketakutan Barat akan tegaknya syariah dan hukum Islam

Hidayatullah.com--Berbagai  upaya untuk menyuarakan penentangan dan menghadang perkembangan Islam  yang pesat di seluruh dunia, terutama di Barat, tampak jelas dilakukan  oleh kelompok-kelompok anti-Islam, mulai dari demonstran jalanan hingga  politisi tingkat atas. Arus utama media, yang memang didominasi kelompok  anti-Islam, juga ikut mendukung propaganda mereka.
Investor's  Business Daily (IBD), sebuah media informasi bisnis di Amerika Serikat,  juga merasa perlu ikut terjun memerangi Islam.
Lewat sebuah  editorialnya pada tanggal 16 September 2010, IBD menyuarakan  penentangannya kepada Islam, dengan menurunkan tajuk "Ancaman Syariah".  Sebuah tajuk yang menampakkan wajah takut dunia Barat terhadap Islam.
Sebuah  panel pakar keamanan internasional menyimpulkan bahwa hukum syariah  merupakan sebuah ideologi totalitarian yang dimanfaatkan oleh para  pendukung toleransi untuk menggerogoti keamanan negara Amerika Serikat.  Demikian IBD memulai editorialnya.
IBD menyebut laporan Center  for Security Policy setebal 177 halaman berjudul "Syariah: Ancaman Baru  Bagi Amerika" itu sebagai sebuah analisa obyektif terhadap serangan  Islamofasisme (baca: Islam) terhadap Barat. Di mana menurut mereka,  laporan itu memperingatkan tentang bahaya besar dari orang-orang yang  berusaha menerapkan hukum syariah untuk menggerogoti sistem hukum  Amerika, konstitusi, keamanan nasional, dan juga cara hidup  masyarakatnya.
Laporan yang dirilis hari Rabu (15/9/2010) itu,  antara lain ditulis oleh mantan para pejabat pertahanan, hukum dan  intelijen di era Clinton, seperti R James Woolsey (Direktur CIA) dan  Andrew C. McCarthy (mantan asisten jaksa AS di New York, seorang jaksa  karir bidang kontraterorisme).
Laporan tersebut menyimpulkan,  sistem syariah adalah sistem "totalitarian" dan tidak cocok dengan  konstitusi Amerika Serikat, sistem pembuatan undang-undang yang  demokratis dan jaminan konstitusional atas kebebasan berpikir, kebebasan  individu, dan menyatakan pendapat, termasuk hak untuk mengkritik hukum  syariah itu sendiri.
IBD kemudian menyebutkan beberapa bukti bahwa syariah sudah menyusup ke dalam budaya dan sistem hukum dan keuangan Amerika.
Pada  bulan Juni 2009, tulis IBD, seorang hakim di negara bagian New Jersey  memutuskan bahwa seorang pria yang menyakiti istrinya selama berjam-jam  dan berulangkali memperkosanya, dinyatakan tidak bersalah melakukan  tindak kejahatan seksual, dengan mengutip agama pria itu sebagai  alasannya. Keputusan itu kemudian dibatalkan oleh pengadilan banding.  Sesuatu yang mungkin tidak akan terjadi di masa datang.
Pada  bulan Nopember 2009, seorang siswa SMA dirumahkan guna melindunginya  dari tindak kekerasan, karena dia menulis kritik yang menyoroti  perlakuan istimewa terhadap Muslim keturunan Somalia di sekolahnya. Di  Dearbon, Michigan, misionaris Kristen ditahan karena berdakwah di sebuah  Festival Arab. Di Minnesota, negara bagian mengakomodasi larangan  syariah atas pembayaran riba transaksi pembelian rumah oleh makelar dan  menjualnya kembali kepada Muslim dengan penetapan harga di muka.
Sejak  kapan pemerintah mengatur transaksi keuangan untuk mengakomodasi  ketentuan sebuah agama tertentu? Rupanya dalam konstitusi tidak ada  pemisahan antara masjid dengan negara, sindir IBD. IBD menyimpulkan  bukti-bukti penyusupan syariah ke dalam negara Amerika.
Tidak  cukup dengan mengemukakan bukti-bukti di atas, IBD melanjutkan  editorialnya. “Syariah digunakan di seluruh dunia untuk membenarkan  kebiadaban seperti rajam, penindasan atas wanita, dan eksekusi pelaku  homoseksual. Syariah tidak mendukung kebebasan berbicara, berpikir atau  beragama, bahkan tidak mendukung perlakuan sama di hadapan hukum.”
Laporan  Center for Security Policy itu, tulis IBD, mengutip sebuah dokumen  milik Ikhwanul Muslimin di Amerika Utara tahun 1991, yang memaparkan  proses rahasia Islamic settlement 'kolonisasi Islam' di AS.
“Rencananya  adalah melaksanakan "jihad besar guna menumpas dan menghancurkan  peradaban Barat dari dalam dan 'menyabotase' rumah-rumahnya yang merana  dengan tangan-tangan mereka dan tangan para pengikutnya, sehingga  (peradaban Barat) bisa dimusnahkan." Demikian laporan CSP mengutip  dokumen tersebut.
Kemudian IBD menyinggung masalah pembangunan masjid di dekat Ground Zero dan seorang tokoh Muslim penggagasnya.
IBD  menulis, Imam Feisal Abdul Rauf, yang akan membangun sebuah masjid  diiringi teriakan kemenangan besar Islamofasisme dari kejauhan, yaitu  kehancuran World Trade Center, adalah seorang pendukung sengit hukum  syariah dan perannya dalam menggerogoti Barat.
Rauf pernah  menulis bahwa "jelas sebuah negara Islam akan bisa terwujud lebih dari  sekedar satu bentuk atau cetakan. Negara Islam bisa diwujudkan melalui  sebuah kerajaan atau demokrasi. Masalah terpenting adalah menetapkan  dasar-dasar syariah yang diperlukan untuk memerintah."
Apakah  menjadikan Amerika sebagai sebuah negara Islam merupakan tujuan  utamanya? Tanya IBD seraya mengingatkan bahwa Islam akan mengubah wajah  Amerika.
IBD lantas menutup editorialnya dengan menyinggung acara buka bersama yang digelar Gedung Putih saat Ramadhan lalu.
Dalam  sebuah makan malam iftar di Gedung Putih saat Ramadhan, Presiden Obama  mengatakan bahwa Rauf memiliki hak hukum untuk membangun masjidnya,  tempat di mana Syariah akan disebarkan dan kaum gay dan lesbian Muslim  tidak mendapat tempat. Tapi kita juga punya hak--untuk tetap waspada dan  tidak terbuai ke dalam kepuasan atas nama toleransi.
Editorial IBD itu jelas mewakili ketakutan masyarakat Barat atas berkembangnya Islam. [di/cam/ibd/hidayatullah.com]