


Sidang paripurna DPR diwarnai keributan soal pro-kontra SKB. Menteri Agama justru setuju ditingkatkan menjadi Undang-Undang (UU)

Hidayatullah.com--Rapat  paripurna DPR, Selasa (21/9) ini sempat hujan interupsi. Pro dan kontra  usulan pencabutan surat keputusan bersama (SKB) dua menteri tentang  izin pendirian tempat beribadah menjadi perdebatan. Usulan ini  sebenarnya terkait penusukan anggota Majelis Gereja Huria Kristen Batak  Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi, Jawa Barat, beberapa  waktu lalu.
Adalah anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Anton  Sihombing yang melakukan interupsi pertama. Ia mengaku jemaat HKBP yang  ditusuk adalah adiknya. Ia pun mengeluhkan mendirikan tempat maksiat  lebih mudah dari pada membangun tempat beribadah.
"Karena itu  saya sudah mengumpulkan 60 tanda tangan agar SKB Menteri Agama dan  Menteri Dalam Negeri No 9/2006 dan No 8/2006 yang mengatur tentang  pendirian tempat peribadatan untuk dikaji ulang," kata Anton.
Anggota  DPR dari Fraksi Partai Golkar lainnya Melkias Markus Mekeng menyatakan  masalah larangan rencana pembangunan tempat ibadah adalah persoalan  mendasar dan serius. Karena itu, ia menyarankan agar DPR menginisiasi  membuat UU tentang tempat ibadah.
Menanggapi itu, anggota DPR  asal Fraksi Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno tak sependapat dengan  interupsi tersebut. Baginya mendirikan rumah ibadah tidak bisa serta  merta tanpa ada aturan jelas. Ia berpendapat SKB dua menteri justru yang  membantu menjaga  kerukunan dan tolerensi umat beragama.
"Beribadah  memang harus dijamin, tapi memaksakan kehendak harus dicermati dan  jangan dibiarkan karena justru akan memancing konflik lebih besar. Forum  kerukunan umat beragama harus didorong berdialog lebih intensif," ujar  Teguh.
Hampir senada dengan Teguh, anggota DPR asal Fraksi PKS  Ansori Siregar menyatakan semua unsur kebebasan beribadah hingga  mendirikan tempat beribadah ada di dalam SKB dua menteri. Ia pun  menyarankan agar polemik ini tidak berkepanjangan dan diserahkan saja ke  Komisi VIII DPR.
Jadi UU
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali justru mendukung agar Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pendirian rumah ibadah menjadi undang-undang sehingga ada sanksi yang mengikat bagi yang melakukan pelanggaran.
"Saya kira kalau ditingkatkan menjadi Undang-Undang itu lebih bagus," kata Suryadharma Ali sebelum menggelar rapat kerja bersama Komisi VIII di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/9).
Suryadharma menolak jika SKB menteri harus dicabut. Alasannya, persoalan yang terjadi di Ciketing, Kota Bekasi bukan karena SKB dua menteri tetapi disebabkan karena tidak adanya kepatuhan terhadap aturan.
"Ada usulan SKB dua menteri itu dicabut, dan bagi saya bukan di situ persoalannya. Karena SKB di tempat-tempat lain, oke-oke aja. Ciketing itu sekali lagi, bukan persoalan SKB, bukan persoalan konflik antaragama. Ini harus digarisbawahi. Tetapi persoalan kepatuhan tentang rumah ibadah," katanya.
Suryadharma menjelaskan bila terjadi pelanggaran oleh sekelompok orang terhadap aturan, bukan aturannya yang lantas dicabut.
"Sekarang bagaimana kalau sekelompok orang lagi yang melanggar Undang-Undang atau peraturan, (apakah) lalu peraturan yang diubah.Jadi tidak ketemu logikanya," ujarnya. [cha, dari berbagai sumber/hidayatullah.com]