View Full Version
Senin, 04 Oct 2010

Adian Luncurkan Novel ''Cinta Kebebasan yang Tersesat''

Sastrawan Taufiq Ismail, menilai ini sebuah novel antitesa “Film Berkalung Surban” yang dinilai mencitrakan buruk dunia pesantren

Hidayatullah.com—Dr Adian Husaini, penulis produktif buku-buku pemikiran Islam meluncurkan sebuah novel baru. Buku berjudul; “KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat”, dilaunching hari Sabtu, 9 Oktober 2010 besuk, pukul 19.00 WIB, di arena Indonesia Book Fair, Istora Senayan Jakarta.  

Agak berbeda dengan novel-novel sastra lainnya, KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat”, yang mengambil setting di sebuah pesantren besar di Jawa Timur itu, banyak berisi dialog seru tentang pemikiran Islam.

Novel “KEMI”  berkisah tentang dua orang santri cerdas yang berpisah jalan. Kemi (Ahmad Sukaimi), santri pertama, terjebak dalam paham liberalisme. Ia mengkhianati amanah Sang Kyai. Kemi salah pilih teman dan paham keagamaan. Ujungnya, ia terjerat sindikat kriminal pembobol dana-dana asing untuk proyek liberalisasi di Indonesia. Nasibnya berujung tragis. Ia harus dirawat di  sebuah Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Bogor.

Ini merupakan kisah perang pemikiran santri pesantren menghadapi era global. Dua orang sahabat baik ini akhirnya “pisah” oleh sebuah ideologi pemikiran. Seorang tetap Istiqomah memegang akhlak dan Islam, satunya justru “menjual” Islam, mengkritik al-Quran  justru setelah ia kuliah di sekolah Lintas Agama dan mengenal HAM.

Rahmat, santri kedua, selain cerdas dan tampan, juga tangguh dalam “menjinakkan” pikiran-pikiran liberal. Rahmat disiapkan khusus oleh Kyai Aminudin Rois untuk membawa kembali Kemi ke pesantren.

Meskipun misi utamanya gagal,  Rahmat berhasil “mengobrak-abrik” jaringan liberal yang membelit Kemi. Sejumlah aktivis dan tokoh liberal berhasil ditaklukkan dalam diskusi.

Prof. Malikan, rektor Institut Studi Lintas Agama, tempat Rahmat dan Kemi kuliah, ditaklukkan Rahmat di ruang kelas.  Siti, seorang aktivis kesetaraan gender, putri kyai terkenal di Banten, terpesona oleh kesalehan, kecerdasan, dan ketampanan Rahmat. Siti sadar dan bertobat, kembali ke orang tua dan pesantrennya, setelah bertahun-tahun bergelimang dengan pikiran dan aktivitas liberal. Rahmat juga berhasil menyadarkan Kyai Dulpikir, seorang Kyai liberal terkenal di Jawa Barat. Sang Kyai bertobat dan wafat di ruang seminar.

Kecintaan Siti dan Rahmat pada dunia pendidikan dan dakwah membawa mereka pada keputusan pahit: sepakat untuk berpisah dan tidak mengikatkan diri dalam satu tali perkawinan, meskipun mereka saling mencinta.   

Bisa dikatakan, Novel ini sarat dengan pergulatan pemikiran tingkat tinggi dan pergulatan jiwa dan pikiran para aktivis liberal.

Sementara itu, sastrawan Taufiq Ismail, mengatakan, ini sebuah novel antitesa “Film Berkalung Surban” yang dinilai mencitrakan buruk dunia pesantren.

“Setelah wajah pesantren dicoreng-moreng dalam film Perempuan Berkalung Sorban, novel Adian Husaini ini berhasil menampilkan wajah pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ideal dan tokoh-tokoh pesantren yang berwawasan luas, sekaligus gigih dalam membendung gelombang liberalism,” ujar Taufiq Ismail.

Bisa dikatakan, ini bukan Novel biasa! Novel ini sarat dengan pergulatan pemikiran tingkat tinggi dan pergulatan jiwa dan pikiran para aktivis liberal.

Meski kisah cerita ini memiliki banyak kesamaan dengan tokoh dan fakta-fakta yang terjadi di masyarakat, Adian menampik secara halus bahwa cerita yang ada dalam novel nya adalah asli.

“Namanya juga fiksi. Jika ada kemiripan cerita, bisa saja itu terjadi,”  ujarnya kepada hidayatullah.com. [ad/cha/hidayatullah.com]


latestnews

View Full Version