Dingin hembusan angin malam yang menusuk hingga ke tulang sum-sum tak melunturkan tekat puluhan pemuda bergegas bangun dari tidur, guna bermunajat kepada Sang-Khaliq (Allah), di sepertiga malam.
Tepat pukul dua dini hari, di saat banyak orang masih terlelap, satu per-satu dari pemuda ini bangkit. Nampak juga diantara mereka yang telah bangun dan dengan lembut menggugah teman-teman mereka yang masih terpulas.
“Mas, mas, ayo bangun, sudah waktunya sholatul lail,” ucap salah dari mereka dengan suara lembut, diiringi usapan tangan kasih sayang.
Tak butuh waktu lama, mereka pun akhirnya bangun. Sesekali ia menggeliat ke kanan dan ke kiri, menghasilkan bunyi menarik, “kreek…kreek..”
Silih berganti mereka mensucikan diri di kamar mandi lalu menghadap Allah Subhanahu Wata’ala.
Sunyi sepi malam dengan diiringi syahdu suara imam, melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, membuat para hamba Allah tersebut terhanyut dalam kekhusu’an.
Rembulan yang bersinar cerah, bintang-bintang yang berkelap-kelipan, pohon-pohon jati yang mengelilingi mereka, yang senantiasa menghembuskan angin malam. Bongkahan-bongkahan batu kapur yang berada di sekitar pemukiman dan kerlip lampu-lampu di bawah gunung, menjadi saksi peribadatan mereka malam itu.
Maklumlah, para pemuda tersebut bertempat tinggal di asrama, tepatnya di puncak bukit “kukusan”, Panceng, Gresik, Jawa Timur.
Suasana yang menyejukkan hati serta menentramkan jiwa itu, merupakan sedikit potret aktivitas para mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman Alhakim
(STAIL), di kampus dua, tepatnya di Gunung “Kukusan”, Panceng, Gresik, Jawa Timur.
Di sini, mereka dibina dan diawasi selama 24 jam. Menurut Alim Puspianto, salah satu pengasuh, bahwa tujuan dari diadakannya program pendidikan ini, tidak lain untuk mempersiapkan generasi muda yang siap mengemban amanah dakwah, baik itu dari segi intelektualitas, lebih-lebih spiritualitasnya.
“Sehingga kedepan, risalah Islam bisa tersebar ke seluruh pelosok dunia, khususnya Indonesia, dengan hikmah, sebagaimana yang telah dipraktekkan Rosulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallah,” ujar Alim.
Menurut Alim, upata ini bukanlah suatu yang mustahil. Terlebih, ketika melihat lokasi kampus yang sangat represintatif untuk menggapai hal tersebut; berada di puncak gunung kapur nan jauh dari permukiman, serta dari ‘polusi’ kehingar-bingaran dunia.
Berteman Kalajengking
Memang, secara geografis lokasi kampus yang telah meluluskan empat angkatan ini, cukup menantang nyali. Jauh dari permukiman masyarakat sekitar (sekitar 1 ½ km), dan berada di puncak gunung kapur ‘Kukusan’. Tidak hanya itu, jalan untuk menuju ke sana, juga cukup terjal dan licin, terutama ketika musim hujan datang.
Lain lagi ketika musim panas tiba. terik mata hari luar biasa ganasnya. Ditambah lagi debu-debu kapur yang bertebaran, yang menyesakkan dada.
Selain tantangan alam, binatang-binatang beracun macam kalajengking, kelabang dan ular, acap kali ‘menggoda’ para mahasiswa dan pengasuh di sana.
Musim hujan, merupakan musim ‘panennya’ para awak kampus akan binatang-binatang beracun tersebut karena kalajengking dan kalabang naik ke permukaan tanah.
“Bukan suatu yang mengejutkan, kalau terkadang kita tidur bersama dengan kalajengking atau kelabang dalam satu selimut”, kelakar Alim. Bahkan Pernah suatu hari, lanjut laki-laki bertubuh tinggi besar ini, ada mahasiswa yang sedang beristirahat di atas sebuah gubuk, yang tak jauh dari asrama.
Belum lama tersirap, tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang melilit kakinya. Semakin lama, lilitan itu semakin kencang, sehingga membuatnya tergugah dari tidur. Dan alangkah kagetnya dia, bak tersambar petir di siang bolong, ketika menyadari seekor ular sebesar jempol kaki orang dewasa telah melilit kakinya.
Sejurus kemudian, antara sadar dan tidak, pemuda tersebut memegang kepala si-ular, dan menghantamkannya ke tanah dan batu beberapa kali, hingga binatang melata tersebut menjemput ajalnya.
Sabang Sampai Marauke
Selain memiliki keunikkan yang tak ‘lazim’ seperti kampus-kampus secara umum, masih ada satu ke-khasan lain yang dimiliki kampus yang berlokasi persis di JL. Deandles Gunung Kukusan, Kec. Panceng, Gresik, Jawa Timur ini, yaitu keberagaman mahasiswanya.
Bagaimana tidak, nyaris dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia, ada perwakilan.
Ada mahasiswa berasal dari Kalimantan, Ambon, Padang, hingga Papua. “ Mudahnya, mulai dari Sabang hingga Marauke, semuanya ada di sini”, terang Alim menjelaskan asal para mahasiswanya.
Kebanyakan dari mereka tertarik untuk studi di sana, karena melihat proses pendidikan yang sangat mengedepankan nilai-nilai Islam. Selain itu, tak jarang juga yang mengemukakan keterpesonaannya dengan lokasi pembelajaran yang langka ini, yang mungkin bagi keumuman orang, kurang diminati.
Ali Rasidin Berutu, misalnya, memaparkan bahwa ketertarikannya masuk STAIL, dikarenakan institusi ini memiliki program-program keislaman yang sangat kental, terutama dakwah.
“Cita-cita saya semenjak kecil adalah menjadi da’i. ketika mengetahui STAIL memiliki program tersebut, tanpa pikir panjang saya langsung tergiur untuk bergabung”, papar mahasiswa kelahiran Aceh ini.
Lain lagi dengan Mustafa Reto. Pemuda asal Ende, Flores, mengakui , kalau yang melatarbelakangi untuk memilih STAIL sebagai pelabuhan, dikarenakan keterpesonaannya terhadap lokasi dan proses pembinaan di sana.
“Jujur, saya tahu tentang STAIL, Panceng, dari kakak kelas yang pernah menempuh pendidikan di sini (Panceng). Setelah mendengar kisahnya, akupun tersihir untuk mengikuti jejak beliau,” akunya.
Yang tak kalah menakjubkan, hampir seluruh mahasiswa, kuliah, makan, dan berasrama, tanpa harus dipungut biaya, alias gratis.
Lalu, dari mana biaya operasionalnya? Menurut Alim, seluruh pendanaan saat ini, berasal dari para partisipan dan donatur yang ada.
“Kita sangat apresiatif, sekiranya ada para muzakki yang dengan lapang dada menyisihkan sebagian hartanya untuk program yang kita rancang ini. Insya Allah akan banyak manfaatnya bagi umat,” paparnya dengan penuh harap.
Pengkaderan
Menurut penjelasan Alim, ada dua hal mendasar yang sangat ditekankan dalam membina para mahasiswa, yaitu; pendidikan dan pengkaderan. Dua hal ini, tidak bisa dipisahkan antar satu dan yang lainnya. Seluruh mahasiswa harus mengikuti keduanya, tanpa terkecuali.
Pendidikan sangat dibutuhkan mengingat masih rendahnya nilai Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki umat Islam saat ini. Terlebih, bila memperhatikan tantangan umat masa depan yang tentu lebih besar dan berbahaya lagi, di banding saat ini. Maka, diharapkan, dengan proses pendidikan yang telah mereka tempuh, akan lahir di masa mendatang, para cendikiawan muslim yang memiliki wawasan luas, dan yang lebih penting, menjunjung tinggi nilai-nilai al-Quran dan As-Sunnah.
Adapun pengkaderan ditujukan agar para mahasiswa memiliki loyalitas juang tinggi terhadap lembaga, dan Islam, secara umumnya, dengan ilmu yang telah mereka kuasai. Pihak kampus sangat mewas diri, jangan sampai para alumninya hanya mahir dalam tataran koknisi saja, sedangkan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, itu nihil.
“Impian kita, kelak, mereka mampu menjadi lentera-lentera umat, yang senantiasa memberikan pencerahan, sesuai dengan kemampuan yang telah mereka miliki,” terang Alim.
Karena itu, lanjut laki-laki asal Pekalongan ini, seusai mereka menempuh studi dalam kurun waktu empat tahun (strata satu), mereka langsung diterjunkan ke seluruh pelosok Nusantara untuk menyemaikan dakwah. Bahkan, di gunung-gunung, di pedalaman dan pelosok negeri.
“Hingga kini, sudah ratusan kader kita yang telah mengabdikan diri di tengah-tengah masyarakat. Kita sebar mereka ke seluruh pelosok Indonesia untuk memberi pencerahan pada umat,” tandas Alim, sebelum mengakhiri obrolan menyenangkan dini hari itu. Ke depan, Halim berharap banyak para aghniya' dan kaum Muslim ikut mengulurkan dana membantu kampus yang masih terbatas ini. "Bantuan kaum Muslim akan ikut memberi andil para calon-calon dai pedalaman ini, " [rbn/hidayatullah.com]