Hingga awal 2011 ini, dua negara Arab yang paling berpengaruh di Libanon (Arab Saudi dan Suriah) masih berupaya untuk mengatasi ketegangan politik di negeri itu menyusul dikeluarkannya keputusan yang masih bersifat hipotesis oleh MKI atas keterlibatan Hizbullah, agar tidak menjurus kepada konflik bersenjata yang memang sangat ditunggu-tunggu oleh musuh bersama (Zionis Israel).
Iraq sebagai negeri yang masih ``berdarah``, belum ada pertanda akan segera keluar dari lingkaran setan kekerasan meskipun pelaksanaan Pemilu legislatif telah berjalan cukup mulus. Karena pasca Pemilu terjadi krisis pembentukan pemerintahan baru yang berlangsung sekitar 6 bulan hingga akhirnya terbentuk pemerintahan yang dipimpin lagi oleh Nuri Maliki yang ditengarai belum sesuai dengan aspirasi banyak pihak.
Pemerintahan periode kedua Mailiki diragukan kemampuannya untuk mengatasi banyak persoalan terutama korupsi, aksi kekerasan dan perbaikan tarap hidup rakyat. Maliki yang mengusung kepentingan salah satu sayap politik Syiah di negeri Babilonia itu sulit mengatur kroni-kroninya yang dicurigai memanfaatkan hasil minyak untuk kepentingan mereka.
Di Yaman, pemerintah masih berusaha untuk membangun kembali kehancuran yang ditimbulkan akibat perang dengan pemberontak al-Houthi dari kelompok Syiah di utara. Selain itu juga disibukkan oleh perang melawan milisi al-Qaidah yang ditengari menjadikan negeri ini basis di semenanjung Arab. Masalah separatisme di selatan juga salah satu persoalan yang butuh penanganan khusus.
Menjelang tutup tahun, terjadi pula kekisruhan politik di Mesir menyusul pemilu legislatif pada November 2010 antara partai berkuasa dengan oposisi. Pemilu tersebut akhirnya menghasilkan parlemen satu warna yang diisi hampir seluruhnya oleh partai berkuasa yang keabsahannya masih ditentang oleh oposisi.
Tak bertepiTitik-titik api di dunia Islam pada 2010 belum ada pertanda akan segera redup seperti di Afganistan, Palestina dan Somalia. Kekerasan dan perang berkepanjangan di negera-negara tersebut seolah-olah tidak ada tepinya meskipun berbagai upaya telah dilakukan karena inti permasalahannya adalah intervensi asing untuk mengusung kepentingan negara-negara besar yang nota bene bekas penjajah.
Di Afganistan misalnya perang tidak akan berakhir selama ada pendudukan asing. Upaya untuk menghancurkan Taliban hampir dipastikan gagal karena rakyat dapat melihat langsung pihak mana sebagai penyebab hancur leburnya negeri itu, dalam hal ini penyebnya tak lain adalah pasukan asing dari NATO.
Karena itu, Sekjen NATO, Anders Fogh Rasmussen pada awal 2010 mencoba untuk menggiring pasukan dari negara-negara Islam untuk ambil bagian dalam perang di Afganistan agar terkesan perang tersebut bukan perang agama (Islam melawan Kristen Barat), namun perang antara masyarakat internasional melawan teroris.
Namun respon dunia Islam sejauh ini dingin-dingin saja atas ajakan tersebut. Apalagi citra siapa teroris sesungguhnya di kalangan publik dunia Islam makin menjurus kepada negara-negara besar bekas penjajah Barat, sementara kelompok teroris dari segelintir kaum Muslimin sejatinya adalah bentukan mereka (Barat) yang dapat dijadikan dalih untuk melakukan intervensi. Intinya, publik Muslim sangat sulit (baca: tidak bisa) lagi dibohongi.
Sedangkan situasi di Palestina selama 2010, tidak banyak berubah meskipun Presiden AS, Barack Obama menjanjikan kemerdekaan dalam setahun namun nyatanya janji tetaplah tinggal janji. Gaza terus diembargo dan upaya-upaya sejumlah badan kemanusiaan manca negara untuk menembus blokade zionis tidak sebanding dengan derita berkepanjangan sekitar 1,5 juta warga Gaza yang hidup bagaikan dalam penjara terbesar di dunia.
Begitu juga dengan rekonsiliasi antar
faksi Palestina bagaikan benang kusut yang sulit dirapikan karena banyaknya kepentingan baik di kalangan dunia Arab sendiri maupun kepentingan penjajah dalam hal ini Israel yang didukung mutlak oleh AS dan dunia Barat pada umumnya. Opsi perlawanan atas penjajah yang diakui hukum internasional, dianggap sebagai aksi teroris sehingga seolah-olah penjajah yang menjadi korban dari bangsa yang terjajah.
Sayang persepsi ini (penjajah sebagai korban bangsa terjajah) justeru mendapat dukungan banyak negara akibat propaganda media massa zionis internasional. Karena itu, harapan terwujudnya rekonsiliasi masih jauh disebabkan kesenjangan sikap antar faksi Palestina yang bertikai masih lebar.
Kenyataan tersebut diatas membuat penjajah zionis makin mantap melanjutkan pencaplokannya atas sisa-sisa wilayah yang diakui hukum internasional sebagai milik bangsa Arab Palestina dengan dalih pemukiman baru Yahudi. Tak terkecuali, kota Al-Quds yang didalamnya ada tanah suci dan Masjid Al-Aqsha bakal dilahap semua dimana beberapa hari lalu, sebuah hotel bersejarah juga diambrukkan untuk membangun pemukiman.
Karena itu tidak berlebihan bila analis Arab, Dr. Fauzi Al-Asmar menyebutkan bahwa perdamaian yang diharapkan di Timteng sudah hilang saat berpisah dengan tahun 2010. ``Kita melepas 2010 dan sebentar lagi menjemput 2011. Banyak pihak yang berharap perdamaian di Timteng akan segera menjelma, namun kenyataannya justeru hilang,`` paparnya.
Lalu bagaimana nasibmu Somalia yang sudah hancur lebur akibat perang saudara sejak 1991? Terpilihnya Presiden baru, Sheikh Sharif Ahmed pada awal Februari 2009, dari Persatuan Mahkamah Syariah ternyata tidak menghasilkan rekonsiliasi yang diharapkan, bahkan sebaliknya memunculkan perpecahan di kalangan kelompok tersebut dari sayap yang menentangnya.
Sebagaimana diketahui, selama beberapa tahun kekuasaan Mahkamah Syariah (yang tidak diakui internasional), sebenarnya telah mampu mewujudkan stabilitas. Namun campur tangan Ethiopia pada awal 2006 untuk mendukung pemerintahan Presiden Abdullah Yusuf Ahmed yang didukung Barat menyebabkan perang baru yang lebih dahsyat yang akhirnya menyebabkan pasukan Ethiopia hengkang lalu terpilihnya Syeikh Sharif.
Situasi di salah satu negeri Muslim di Tanduk Afrika itu kurang mendapat perhatian masyarakat internasional termasuk dunia Islam karena disibukkan oleh isu-isu lain baik isu dalam negeri masing-masing maupun isu regional dan global yang lebih penting. Karenanya, tidak bisa berharap perang saudara di negeri ini akan segera berakhir.
Andalusia AfrikaSituasi pada 2010 itu tentunya akan berdampak pada 2011 dimana banyak persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam akan terus pending (menggantung) meskipun mungkin ada sebagian kecil persoalan yang dapat teratasi. Bahkan mengawali 2011 ini muncul letupan-letupan di sejumlah negara.
Di Aljazair dan Tunisa misalnya, kerusuhan menandai penyambutan 2011 akibat krisis ekonomi yang menyebabkan pengangguran meningkat di dua negara kawasan Arab Maghribi itu. Dilaporkan sudah puluhan orang tewas terutama di Tunisia akibat bentrokan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan.
Namun isu yang paling besar pada 2011 ini adalah lepasnya Sudan Selatan dari negeri induknya Republik Sudan lewat suatu referendum yang telah dimulai pada 9 Januari lalu. Hampir semua indikasi menunjukkan bahwa wilayah selatan yang luasnya diperkirakan 28 % (700 ribu km2) dari luas Republik Sudan yang totalnya mencapai 2,5 juta km2, akan menjadi negara baru pasca referendum.
Masalah Sudan selatan merupakan masalah regional paling rumit di Afrika dan dunia Arab yang muali meletus pada 1955 atau setahun sebelum kemerdekaan Sudan dari Inggris, lalu sempat teratasi pada 1972. Masalah ini menyebabkan pembangunan di negeri terluas di benoa Afrika tersebut terganggu dan menjadi alasan intervensi Barat terutama sejak meletusnya kembali perang saudara pada 1983.
Sejatinya isu ini adalah isu Afrika Muslim karena wilayah ini merupakan daerah interkasi atau persimpangan antara Afrika Arab dan Afrika Negro sejak lama. Tidak ada data yang pasti tentang jumlah penduduk dan komposisinya meskipun diperkirakan mencapai 10 juta jiwa diantaranya 24 % Muslim, 17 % menganut Kristen dan sisanya 59 % animisme namun diklaim menganut atau terpengaruh agama Kristen oleh Barat.
Jalan menuju pemisahan wilayah selatan itu terbuka lebar lewat Perjanjian Nevasha, Kenya bulan Januari 2005 yang memberikan hak bagi warga selatan untuk memilih pisah atau tetap dalam negara kesatuan Sudan. Perjanjian ini dimotori (baca: ditekan) oleh Barat melalui wakil-wakilnya AS, Italia dan Norwegia agar pemerintahan pusat menerimanya.
Yang anehnya, Liga Arab yang paling berkepentingan atas keutuhan kesatuan wilayah Sudan tidak ikut serta dan cukup sebagai penonton sambil berangan-angan agar Sudan tetap bersatu. ``Sudan benar-benar sendirian tanpa peran serta Liga Arab,`` papar Abdul Latif Mahna, analis Arab yang menyebut pemisahan tersebut ibarat jatuhnya Andalusia di Spanyol pada abad 15 M dari tangan Arab.
Menurutnya, tanggung jawab terbesar atas lepasnya Sudan Selatan yang ditamsilkannya sebagai Andalusia Afrika ada di pundak dunia Arab karena membiarkan Sudan berjuang sendiri tanpa melakukan aksi nyata yang kuat menolak politik pecah-belah Barat.
Target pemisahan memang sangat kentara. Berdasarkan data yang dimunculkan oleh Komisi Tindak Lanjut pelaksanaan Perjanjian Nevasha, pemerintah pusat telah melaksanakan komitmennya dari persetujuan tersebut sekitar 85 %, sementara komitmen pihak selatan kurang dari 23 %. Meskipun demikian, yang ditonjolkan dalam media internasional adalah pemerintah pusat mengingkari komitmennya.
Karena itu, Zahir Majid salah seorang kolumnis Arab di harian al-Watan, Oman, Sabtu (8/1) tanpa ragu-ragu menyebut ``berdirinya Israel di Sudan Selatan`` sambil menambahkan ``akhirnya Israel sukses dengan impiannya untuk menguasai air Sungai Nil setelah menguasai Sungai Yordan dan Libanon``.
Menurut Majid, berdirinya Sudan Selatan nanti bukan semata-mata faktor keberhasilan ``permaianan`` AS dan Israel namun lebih disebabkan kelemahan dunia Arab yang akhirnya setiap negara Arab menjadi arena permaianan mereka. ``Sesuatu yang paling sulit dihadapi dunia Arab dewasa ini bukan upaya musuh untuk memecahbelahnya, tapi sikap membisu baik di tingkat pemerintah maupun publik seperti kebisuan alam kubur,`` paparnya.
Memang gambaran diatas bukan sebatas untuk disesali atau ditangisi bagi para tokoh dan publik dunia Islam terutama kalangan generasi mudanya. Justeru setidaknya sebagai suntikan semangat untuk berjuang terus mengatasi berbagai krisis yang sengaja diciptakan musuh dan lebih khusus lagi agar tidak ada lagi Andalusia-Andalusia baru yang pecah dari tubuh dunia Arab dan Islam di belakang hari. [Sana`a, 7 Safar 1432 H/hidayatullah.com]