View Full Version
Selasa, 08 Feb 2011

Gayus Tambunan dalam Perspektif Psikologi Islam


 

Selasa, 08 Februari 2011

Oleh: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi

MARAKNYA kasus korupsi dan mafia kasus di Indonesia, menyiratkan betapa bangsa Indonesia mengalami tingkat kesehatan mental mengkhawatirkan. Reza Indragiri Amriel, pakar Psikologi Forensik, dalam wawancaranya dengan TvOne menduga seorang Gayus Tambunan yang tersirat tanpa penyesalan mengidap suatu penyakit mental yang dalam psikologi disebut Psikopat.

Alhasil jika kita melihat fenomena yang berkembang, sebenarnya Gayus hanyalah satu kasus dari ratusan kasus psikopat yang mengemuka di Indonesia. Mengingat kasus korupsi di Indonesia kadang dilakukan oleh orang yang sama dan berlangsung berulang-ulang tanpa ada penyesalan berarti dalam hatinya.

Antara Definisi dan Realita

Seperti dikutip dalam beberapa sumber, dalam kajian psikologi, psikopat dikategorikan sebagai suatu gejala kelainan kepribadian yang sejak dulu dianggap berbahaya dan mengganggu masyarakat. Dr. Hervey Cleckley, psikiater yang dianggap salah satu peneliti perintis tentang psikopat, menulis dalam bukunya “The Mask of Sanity” (1947, dalam Hare, 1993), menggambarkan psikopat sebagai pribadi yang “likeable, charming, intelligent, alert, impressive, confidence-inspiring, an a great success with the ledies”, tetapi sekaligus juga “irresponsible, self destructive, and the like”. Demikian pula Dr. Robert Hare, dalam bukunya “Without Conscience: The disturbing world of the Psychopaths among us“ (1993).

Namun jika anda masih bingung, secara harfiah psikopat dapat dikategorikan dengan sakit jiwa. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya tergolong antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya. Namun definisi secara literal ini tentu juga mengandung dua kerancuan dan tidak bisa dijadikan ukuran. Pertama, karena secara psikologis, inidividu psikopat tergolong berbeda dengan orang sakit jiwa pada umumnya yang tidak sadar akan perbuatannya. Kedua, arti literal psikopat seperti di atas bisa dikatakan terlalu sederhana jika kita terima sebagai suatu bahan ilmiah dalam melakukan pengkategorian definisi psikopat.

Alhasil untuk mengurai pengertian yang lebih jernih, terlebih dahulu kita mesti melihat bagaimana realita riil dari seorang psikopat. Psikopat sebenarnya tak sama dengan gila, karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya (Bandingkan dengan skizofrenia/psikosis atau lihat Film Beautiful Mind yang diperankan Russel Crowe).

Dalam kasus kriminal misalnya, psikopat dikenali sebagai pembunuh, pemerkosa, dan koruptor. Namun, ini hanyalah 15-20 persen dari total psikopat. Selebihnya adalah pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai bertutur kata, mempesona, mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan.

Bahkan menurut hasil penelitian dikatakan bahwa orang-orang psikopat memiliki IQ yang tinggi. Ia mampu menyembunyikan perasaannyan untuk tampil biasa tanpa ada pretensi untuk jahat dalam interogasi. Memiliki kepribadian ganda yang mempesona dan memiliki kemampuan untuk berkelit dalam satu warna sifat ke sifat lainnya.

Islam dan Refleksi Kasus Gayus

Islam telah menguraikan penyakit ini dengan baiknya dalam al Qur’an yang jauh lebih “fair” dari tinjauan Barat.

Di dalam surat al Baqarah misalnya, Allah menyinggung persoalan psikopat pada ayat ke 204. Ayat ini menitikberatkan pada karateristik inidividu psikopat yang terjebak dalam double personality mendalam. Merasa tidak bersalah atas sifatnya yang merugikan orang lain.

“Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.”

Di surat Al Munafiqqun ayat 4, Allah juga meminta kepada kita agar waspada dari tampilan seorang yang menipu namun memendam misi palsu. Orang-orang yang pandai bicara dan beretorika akan tetapi berdusta dalam perilaku.

“Dan apabila kami melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata, kamu mendengarkan perkataan meteka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap teriakan-teriakan keras yang ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh yang sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka, semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka bisa dipalingkan dari kebenaran?”
 
Menariknya individu psikopat selalu yakin bahwa dengan segala kecerdasan kamuflasenya, mereka mampu menipu manusia, tapi yakinlah bahwa Allah tidak akan pernah bisa ditipu. Dan Allah telah menggariskannya hingga suatu saat akan membuka kedok mereka.

“Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari.” (Al Baqarah ayat 9)

Kasus seperti Gayus sudah dengan baik ditulis oleh al Qur’an. Karakter manipulatif yang melukai harga diri dan perasaan. Namun kita juga mesti ingat sifat manipulatif Gayus juga ditopang dari kultur lingkungan yang juga manipulatif di Kementerian Keuangan. Sebab salah satu karakteristik manusia adalah mudahnya mencontoh di mana tempat ia beraktivitas. Banyak kita dapati rekan-rekan Muslim yang pada awalnya hanif ketika masuk pada sistem yang manipulatif, ia akan terombang-ambing di dalamnya.

Hal ini pula yang sempat dituturkan oleh  Rasulullah SAW:

“Fitnah yang menyebar atas hati manusia bagaikan pengepungan beruntun. Setiap hati yang menyerapnya, maka akan timbul padanya noda hitam dan hati yang mengingkarinya akan tumbuh padanya titik putih. Dari sini mulai tampak dua jenis hati; yang putih jernih, tidak akan sedikit pun tertimpa bahaya fitnah selamanya, dan yang hitam pekat bagaikan gelapnya malam, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, ia hanya mengikuti hawa nafusnya.” (HR. Muslim)

Menariknya, jika dilihat secara psikologis, Gayus sebenarnya memiliki potensi kecerdasan dengan nilai IQ diatas rata-rata.

Anda tidak percaya? Baiklah kita lihat catatan kecerdasan pria muslim berumur 31 tahun ini. Pertama, ia masuk dalam catatan juara pertama di SMAN 40 Jakarta. Dilanjutkan dengan torehan nilai terbaik, ketika mengikuti seleksi masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Itu belum usai, ternyata Gayus juga menorehkan tinta emas sebagai salah satu Pegawai terbaik di Departemen Keuangan. Namun pertanyaannya adalah mengapa Gayus yang sebenarnya punya potensi untuk dekat kepada Allah, justru menjadikan kecerdasannya sebagai senjata untuk memperkaya dirinya?

Islam sudah menjelaskan, bahwa status takwa tidak dapat diraih jika hanya bermodal kecerdasan. Terlebih kita sekarang berada pada zaman fitnah modern seperti sekarang ini dimana tata hukum Islam tidaklah tegak. Di mana kecerdasan bisa jadi benalu, parasit, kartu mati dalam memperkukuh status dunia seorang hamba.

Menurut Ibnu Qayyim yang dikutip oleh Salim Bazemool dalam bukunya “Terapi Penyakit Hati” mengatakan, bahwa “Orang-orang yang telah datang dan pergi menuju Allah SWT, mereka sepakat bahwa hati tidak diberi cita-cita, sampai seseorang itu kembali menuju Allah SWT, dan hati tidak akan sampai kepada tuhannya kecuali seseorang benar, sehat dan bersih. Keadaan sehat, benar, dan bersih tidak akan tercapai bila penyakitnya tidak berbalik. Di sinilah jiwa membutuhkan obat”.

Langkah kedua adalah menyadari betapa peran kalbu sangat penting dalam menentramkan hidup kita. Proses interaksi kalbu itulah yang mengantarkan hati pada kondisi dan kualitas hati yang sebenarnya, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Nu’man Ibnu Basyir.

“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.”

Karenanya, aktivitas seperti i’tikaf, berdzikir, shalat, dan puasa menjadi bagian penting dalam proses membersihkan hati kita dari penyakit psikopat. Yakinlah dengan mengingat Allah hati kita menjadi tentram.

Akhirnya, individu psikopat harus berani membenturkan egoisme dirinya dan mesti sadar atau berfikir ulang kapan ia akan berhenti dalam perjalanan split personalitnya. Yakinlah sepandai-pandainya kita menipu manusia, Allah tidak akan bisa kita tipu, dan sejujurnya kita lah yang menipu diri kita sendiri. Wallahu’alam bishshawab.

Penulis pernah berkecimpung di bidang psikologi klinis saat menjadi konselor pada Rumah Sakit Jiwa Soeharto Herrdjan Grogol dan Koordinator Litbang Lembaga Anak Berkebutuhan Khusus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 


latestnews

View Full Version