Senin, 28 Februari 2011 SIAPAPUN orangtua melihat buah hatinya tergeletak tak berdaya karena sakit 16 tahun, tentu sedih. Itulah yang dialami Iryani (46). Putri sulung perempuan yang saban hari pekerjaannya mencuci pakaian ini dinyatakan dokter terserang kanker otak, sejak 16 tahun lalu. Ia mengaku shock mendengar vonis doker itu. Namun ia berusaha tabah. “Saya kuat-kuatin,” kata Iryani.
Umur Nurul Hikmah, demikian nama anak itu, kini sudah masuk 24 tahun. Sebagai ibu, Iryani jujur mengatakan tak tahan melihat penderitaan anak pertamanya itu, yang hanya bisa berbaring tak berdaya. Kadang ia hanya bisa menangis dan berdoa agar anaknya segera diberikan kesembuhan dan normal seperti sedia kala.
Namun di sisi lain, Iryani juga bersyukur. Sebab, selama sakitnya yang bertahun tahun itu, anaknya tidak pernah mengeluh. Bagi Iryani dan Yahdi (suaminya), atau bagi siapapun, penantian selama 16 tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun mereka tetap berusaha bersabar dan menerima segalanya kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Kalau bukan karena Allah, mungkin saya sudah gila,” imbuh Iryani, sambil menitikkan air mata. Ia mengucapkan itu seraya tersenyum dan mengelus kaki anaknya.
Hingga kini Yahdi, Iryani, dan Yandi (anak kedua) tak bosan-bosannya menjaga dan mendampingi Nurul. Ada kalanya mereka menggantikan pakaian dalam Nurul saat sedang datang bulan, membersihkan buang air yang kadang kala bercampur darah, menyuapi makan, dan memandikannya.
Syukurnya, Nurul bukan anak yang lekas putus asa. Di pembaringannya, ia tetap istiqamah menjalankan shalat 5 waktu, puasa Senin Kamis, dan menunaikan shalat Tahajjud sambil berbaring. Zikir pun ia tak lekang, terutama saat rasa sakit menyerang kepalanya. Saking kuatnya ia menekan tasbih, mungkin karena menahan rasa sakit yang hebat, bulir-bulir tasbihnya yang setiap saat dipilinnya itu menjadi hancur. Karena belum ada ganti tasbihnya, ia berdzikir memakai tangan. Ada bekas di jari-jarinya, barangkali juga karena tekanan yang begitu kuat. “Saya ibadahnya hanya bisa begini, mudah-mudah Allah menerima ibadah dan doa saya,” tutur Nurul mengiba.
Sakalipun tak berdaya. Semangat hidupnya tak meredup. Bahkan ia pun masih punya hasrat untuk menikah suatu ketika. “Iya, hasrat ada. Apalagi kalau mendengar teman-teman saya yang dulu, sudah pada nikah dan punya anak,” kata Nurul lemah. “Saya mau sembuh, biar pun tak 100 persen. Yang penting bisa jalan,” sambungnya, suaranya bersih.
Nurul dirawat di rumah ibunya di Jl Al-Busyro, RT 04 Rw 01, Desa Citayam, Kota Depok, Jawa Barat. Iryani tak membawa putrinya ke rumah sakit, karena tak puang uang.
Maklum, Iryani dan Yahdi terolong keluarga miskin. Yahdi perkerjaannya serabutan. Terkadang jadi ojek, lain hari menjadi tukang bangunan, lain kali lagi jadi tukang batu.
Sedangkan Iryani, sebagai tukang cuci di Perumahan Asri Permai Komplek Pertanian Citayam Depok, setiap hari berangkat pagi, pulang kalau sudah tengah hari. Ia masih mampu mencuci pesanan 2 sampai 3 rumah. Jenis layanan pencucian yang ia terima macam macam, ada selimut dan segala jenis pakaian. Sebulan dalam 1 rumah ada yang member Rp 300 ribu.
Selain itu, ia kadang disuruh seterika baju orang. “Sekali menggosok pakaian ada yang memberi Rp 20 atau Rp 30 ribu,” kisah Iryani. Dari situlah andalan sumber keuangan mengalir, termasuk untuk sekolah anak bungsunya, Yandi Sulaiman (16 tahun) yang kini duduk di bangku SMK, dan untuk makan sehari hari. */Sahid