Selasa, 08 Maret 2011 Hari Sabtu, (5/3), saya melihat siaran TV. Mata saya terbelalak melihat segerombolan orang (dari wajahnya, kemungkinan dari Indonesia timur) tengah mengacung-acungkan golok panjang di keramaikan Jakarta yang padat. Seseorang, menghadap sebuah mobil Alphard hitam tepat di depannya dan menghancurkan kaca depan dengan sangat-sangat ganas hingga pecah. Dalam tayangan lain, di seberang jalan, seseorang lagi, juga dengan pedang panjangnya, mengacung-acungkan senjatanya mengejar seseorang yang tengah jalan. Cobalah Anda bayangkan, pemandangan ini di tengah keramaian, di tengah lalu-lalang banyak orang. Bagaimana jika kejadikan itu sedang terjadi pada Anda? Belakangan, dari media saya mengetahui, polisi mengamankan 11 pria terkait insiden kericuhan di Kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Mereka diketahui menyerang kendaraan pengurus PSSI Andi Darussalam Tabusala. Hasil penyelidikan, 11 pria tersebut pengawal Nurdin Halid. "Itu mereka orang-orang yang ditugaskan mengawal Nurdin Halid. Itu Pak Nurdin Halid yang minta mereka," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Baharudin Jafar dikutip detikcom, Sabtu (5/3). Kabarnya, para pengrusakan itu dibayar rata-rata 300-700 ribu. Dan orang yang diduga memberikan bayaran kepada para pengawal Nurdin berinisial E, yang kini dalam pengejaran polisi. Sedang mobil Toyota Alphard itu adalah milik Andi Darussalam, yang juga Direktur Liga Indonesia. Andi sudah melaporkan kasus ini ke Polsek Tanah Abang dan juga Mapolda Metro Jaya. Berdasarkan rekaman gambar dari sejumlah media, polisi juga sudah mengumpulkan bukti. Hanya saja yang membuat saya terkejut, polisi membebaskan 11 pria yang sempat diamankan aparat di tahanan Reserse Mobil Polda Metro Jaya tersebut. Dari pemeriksaan para saksi, katanya, ke-11 orang itu dinyatakan tidak secara langsung merusak mobil Direktur Utama Liga Indonesia itu. "Tidak cukup bukti untuk menahan 11 orang itu sehingga sebelum 1 x 24 jam penangkapan, 11 orang itu sudah dikembalikan." Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Baharudin Djafar, Senin (7/3) di Jakarta. FPI Kasus seperti ini mengingatkan saya pada headline pagi Koran Kompas, Kamis, 23 September 2008, dengan tulisan cukup menyeramkan. "Negara Tidak Boleh Kalah", menanggapi desakan media massa nasional agar bersikap tegas pada FPI yang bentrok dalam peristiwa Monas dengan kelompok massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). "Saya minta hukum ditegakkan, pelaku-pelaku diproses secara hukum dan berikan sanksi hukum secara tepat. Negara tidak boleh kalah dengan perilaku-perilaku kekerasan," ujar Presiden dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 2 Juni 2008. Koran nasional berlokasi di Jakarta ini memuat habis-habisan penyerangan AKKBB dan meminta polisi bertindak tegas. Begitu pula koran dan media lain. Sampai Tempo keliru memasang foto Munarman “mencekik” anak buahnya sendiri. Dan benar, beberapa jam setelah pernyataan SBY ini, tak kurang 2000 polisi dikerahkan menyerbu rumah Habib Rizieq dan menangkapi anggota FPI. Habib, yang dalam aksi dengan AKKBB tak ikut dilapangan, bersama anak buahnya akhirnya dipenjara. Sementara pelaku AKKBB, Guntur Romli dan intel yang memprovokasi massa dengan mengacung-asungkan pistol untuk memprovokasi FPI, eh malah, tak tersentuh hukum. Karena "Negara Tak Boleh Kalah", puluhan orang, termasuk Munarman dan Habib Rizieq, dituntut 2 tahun penjara. Sebaliknya, aktivis AKKBB, termasuk Guntur, malah bisa seminar di kafe-kafe dan hotel mewah. Mungkin karena semua ini, karena "Negara Tak Boleh Kalah". Pertanyaan saya, andai, 11 orang yang menggunakan senjata tajam dan mengganggu ketertiban umum dan yang membuat rasa cemas orang lewat itu anggota FPI, mungkin, ceritanya bisa lain. Media seperti Kompas, TV dan lain-lain pasti bikin diskusi, debat --bahkan bisa memutar tayangannya-- secara berulang-ulang, agar bisa meningkatkan emosi yang melihat. Tak hanya 11 orang itu saja yang diamankan, boleh jadi, markas PSSI --jika benar itu orang suruhan Nurdin-- akan dikepung polisi. Dan semua orang, mahasiswa, anggota DPR, pengamat, ormas akan mendesak PSSI dibubarkan. Tapi karena itu bukan FPI, jadi ya lain cerita. Inilah negeriku, negeri yang sukar bagi saya memahami mana nilai adil dan rasa keadilan. Inilah negeri, di mana media bisa berkuasa senaknya tentang apa saja, dan bisa membuat alur cerita apa saja.
Tentu adalah perasaan takut, cemas dan was-was.