Hidayatullah.com--Sebenarnya siapa sih yang paling berjasa dalam keluarga? Pernahkah pertanyaan itu terlintas dalam benak Anda ketika penat mendera dan emosi memuncak? Ya, kelelahan memang kadang memicu emosi dan membuat ketajaman berpikir kita memudar. Terutama bila sudah menyangkut ego, tentang siapa yang lebih banyak berkontribusi.
Setiap orang pada dasarnya memang ingin diperhatikan dan dimengerti. Ketika kelelahan mendera dan ada pihak lain yang menuntut perhatian dari kita, di saat itulah ego dan keinginan menjadi satu. Memuncak dan menuntut timbal balik yang kita harapkan.
Namun, tariklah nafas sejenak dan perhatikan kembali, sebenarnya sebesar apa kebutuhan kita terhadap timbal balik dari orang lain tersebut.
Berteman dengan Lelah
Sebuah komentar menarik saya dapatkan dari seorang pedagang sayur yang sangat sederhana ketika seorang ibu bertanya kepadanya, apakah ia tidak lelah menjalani aktivitasnya. Sebab, selain sebagai seorang pedagang sayur yang sudah harus berbelanja di pasar sejak jam sepuluh malam dan mengemas aneka sayur-mayur hingga pagi menjelang lalu melayani pembeli, ia juga masih menggarap sawah miliknya sendiri. Ia berkata, “Orang hidup memang harus cape’ Bu, lha orang yang sudah meninggal saja masih cape’ menghadapi malaikat.”
Saya tersenyum mendengar ucapan si bapak penjual sayur tersebut. Namun, ada kesadaran lain yang menggelitik saat menyadari bahwa ada sesuatu yang bermakna lebih jauh dalam kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa, kelelahan memang begitu dekat dengan kita bahkan rasa lelah tak kenal henti menemani dalam pergulatan kehidupan. Namun, alangkah indahnya, bila kelelahan tersebut nantinya mengantarkan kita pada istirahat yang panjang dan menyenangkan di akhirat kelak.
Karena itu, bisakah kita “aminkan” dalam hati bahwa sesungguhnya kita membutuhkan semua kegiatan yang melelahkan itu. Bukan untuk siapa-siapa, bukan untuk orang lain tetapi untuk diri kita sendiri. Bahwa dengan seluruh aktivitas yang melelahkan itu, kita akan mendapatkan tabungan yang akan menjadi tiket istirahat dalam kehidupan yang kekal, juga dalam kebahagiaan yang kekal.
Bahwa, tak perlu menanyakan siapa yang paling keras bekerja untuk keluarga. Bahkan tak perlu menakar jasa siapa yang paling berharga untuk keluarga. Karena, sesungguhnya, kita justru harus bersyukur kita masih memiliki kesempatan dan diberi kesempatan oleh Allah dan orang-orang yang kita cintai untuk mengumpulkan bekal akhirat kita.
Bahkan, kita harus berterima kasih untuk setiap “jasa wajar” yang kita lakukan, orang-orang tercinta disisi kita tersebut justru membalasnya dengan cinta dan perhatian yang melimpah. Yang selama ini, mungkin masih seringkali luput terlihat.
Sungguh, sebenarnya kita tak membutuhkan timbal balik dari orang-orang yang begitu kita cintai karena memang sudah seharusnya begitulah kewajiban kita. Alangkah indahnya jika kita bercermin pada sikap Luth a.s. terhadap kaumnya dengan berkata;
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan aku sekali-kali tidak meminta upah atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.” (QS. Asy-Syu’araa:180).
Hal senada juga ditegaskan oleh utusan-utusan-Nya yang lain seperti Nuh a.s, Syua’ib a.s. dan tentu Muhammad saw.
Sejatinya begitu pulalah kita. Apa yang kita usahakan di muka bumi ini untuk orang-orang yang kita cintai, sejatinya hanyalah untuk mengharapkan kebaikan dari Allah saja. Berterimakasihlah kepada mereka yang selama ini telah kita manfaatkan kehadirannya untuk mendapatkan kebaikan tersebut.
Sungguh, kehidupan di dunia ini hanyalah sebentar saja. Tataplah wajah-wajah orang yang kita cintai tersebut dan lihatlah betapa banyak kebaikan yang terpancar dari wajah mereka. Jadikanlah kehadiran mereka sebagai semangat yang terbesar dalam kehidupan kita. Keinginan mereka sebagai pemacu kerja-kerja terbaik kita, karena memang merekalah satu dari alasan-alasan terpenting dalam kehidupan kita.
Tumbuhkan semangat dalam keletihan yang mendera bahwa ada kenikmatan tersendiri yang menjadi bayaran. Sesuatu yang tak dapat dihitung dengan kalkulasi manusia. Bahwa, kelelahan itu sesungguhnya akan mendatangkan kebahagiaan, manakala kita melihat orang-orang yang kita cintai berbahagia. Bahwa kita tak akan bisa merasakan kebahagiaan sendiri, tanpa melihat orang-orang di sekitar kita berbahagia dari apa yang kita usahakan dan membuat kita kelelahan tersebut.
Kekuatan itu dari Allah
Walau demikian, kelelahan memang sesuatu yang wajar dalam kehidupan kita. Ada waktunya keletihan menjadi kelemahan yang membuat amal-amal kita menurun dan semangat meredup. Namun demikian, hanya keimananlah yang membedakan bagaimana seseorang menghadapi kelelahannya dan mengatasinya. Karena itu, sejatinya kekuatan itu memang hanya datang dari Allah saja. Yang mampu meneguhkan dan membuat langkah kita senantiasa terayun, meski dalam kondisi yang sangat menyulitkan sekalipun. Karena itu, Rasulullah yang mulia pun mengajarkan kita untuk senantiasa memohon kepada-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas ra,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keinginan yang berlebihan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari rasa takut dan kikir. Aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan paksaan orang yang menganiaya.” (HR.Bukhari)
Inilah teladan dari utusan-Nya yang tak pernah berhenti memberikan yang terbaik kepada ummatnya dan beribadah kepada Rabb-Nya disaat terlelah sekalipun.
Cintanya bahkan tak memudar saat sakit yang luar biasa mendera disakaratul mautnya. Alangkah indahnya bila teladan ini pun senantiasa menjadi pengingat kita di saat lelah dan emosi mulai memuncak. Karena Beliau pun mewasiatkan, “Siapa yang saat lemahnya tetap berada dalam sunnahku, maka dia telah beruntung. Sementara siapa yang beralih pada selain itu maka berati dia telah celaka.” (Musnad Imam Ahmad).
Kartika Trimarti, ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat
Red: Cholis Akbar