Oleh: Wahyu Ichsan
BARU-BARU ini, Amnesty International (AI) meminta Pemerintah Pusat mencabut hukuman cambuk yang diberlakukan di Nanggroe Aceh Darussalam. Permintaan itu didasari oleh peningkatan penggunaan hukum cambuk di Serambi Mekkah tersebut.
Sam Zarifi, Direktur Asia Pasifik Amnesty International, melalui siaran pers yang diterima pada Ahad, 22 Mei 2011, mengatakan “Tampaknya pihak berwenang Aceh semakin meningkatkan penggunaan hukum cambuk yang melanggar hukum internasional”.
Sam juga menuturkan, korban cambuk mengalami rasa sakit, takut, malu, dan bisa membuat cedera jangka panjang atau permanen. "Pemerintah Indonesia harus menghentikan ini, yang termasuk perilaku kejam, tidak manusiawi, merendahkan, dan sering termasuk dalam penyiksaan,” ujarnya. (Serambinews.com)
Amnesty juga menilai, hukuman cambuk melanggar Konvensi PBB Melawan Penyiksaan, yang telah diratifikasi Indonesia sejak 1998. Komite Melawan Penyiksaan juga telah mengajukan kekhawatiran soal tak dijaminnya hak-hak dasar orang-orang yang ditahan berdasarkan qanun (hukum syariah) Aceh. Termasuk hak atas bantuan hukum, dan mereka sering mengalami praduga bersalah.
Pada akhir tahun 2010 Human Rights Watch (HRW) pun pernah melakukan hal yang sama terhadap penerapan Syariat Islam di Aceh. Dalam laporannya yang berjudul “Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dan Penerapan Syariah di Aceh Indonesia,” menyebut, dua aturan Perda Syariah mengenai larangan khalwat serta aturan mengenai busana Muslim, pada pelaksanaanya telah melanggar HAM dan konstitusi Indonesia.
Dalam konferensi pers pada Rabu (1/12/2010) HRW memuat berbagai pengalaman masyarakat Aceh yang pernah dituduh melakukan pelanggaran atas Perda Syariah. (Serambinews.com)
Dalam rekomendasinya Human Rights Watch mendesak pemerintah lokal di Aceh dan pemerintah pusat Indonesia agar mencabut kedua aturan tersebut. Sejak masih dalam draft, perda yang sering disebut terinspirasi oleh syariah itu telah mendapat kecaman dari para aktivis liberal dan sekuler dengan mengusung ide hak asasi manusia (HAM). Aturan ini dianggap terlalu multitafsir dan berpotensi melanggar hak asasi, terutama terhadap perempuan.
Apa yang dilakukan Amnesty International dan Human Right Watch sesungguhnya adalah “serangan terhadap ajaran Islam”. Kewajiban hukum cambuk, memakai busana muslimah dan larangan berkholwat dikenal merupakan bagian syariat Islam.
Maksud dari serangan ini adalah untuk memberikan gambar buruk dari syariah Islam.
Serangan sistematis ini sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan The Rand Corporation tentang beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam. Antara lain perihal pelanggaran demokrasi dan HAM dalam praktik poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, isu minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri. (lihat Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, The Rand Corporation, halaman 1-24).
Mungkin terdapat kelemahan dari perda tersebut dalam praktiknya. Namun yang harus diperbaiki seharusnya adalah praktiknya, bukan menyerang syariah Islamnya. Apalagi kelemahan penerapan syariah Islam di Aceh justru karena belum diterapkan seluruhnya dalam segala aspek. Solusinya, seharusnya adalah penerapan seluruh syariah Islam secara total dalam segala aspek dan bukan hanya di Aceh tapi di seluruh Indonesia. Bukan malah dicabut. Penerapan syariah Islam juga harus diterapkan secara adil dan konsisten pada setiap warga negara atas prinsip persamaan di depan hukum.
Kalau AI dan HRW benar-benar jujur, di Indonesia penyimpangan dari penegakan hukum sangatlah sering terjadi. Seperti penyiksaan di tahanan, penangkapan yang direkayasa, makelar kasus, suap-menyuap sampai penembakan hingga mati tanpa ada peringatan sebelumnya. Praktik penyimpangan seperti itu justru terjadi dalam penerapan hukum-hukum sekuler, bukan syariah Islam. Kenapa AI dan HRW tidak mengusulkan agar hukum sekuler di Indonesia dicabut? Termasuk sangat mengherankan, AI dan HRW tidak kritis terhadap tindakan Densus 88 yang banyak dipersoalkan dalam global war on terrorist (GWOT). Perang yang sesungguhnya merupakan ala Amerika dan untuk kepentingan Amerika .
HAM dan Islam
Serangan AI dan HRW terhadap syariah Islam, semakin menunjukkan bahwa ide HAM adalah ide berbahaya bagi umat Islam. Ide yang didasarkan pada liberalism (kebebasan) ini berbahaya dalam beberapa aspek. Kebebasan beragama (freedom of religion), bukanlah semata-mata ketidakbolehan memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu. Tapi kebebasan untuk murtad dari Islam, bahkan untuk tidak beragama sama sekali.
Atas dasar kebebasan juga melegalkan keyakinan dan praktik yang menyimpang dalam Islam. Dengan alasan HAM, Ahmadiyah yang sesat karena menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi baru setelah Rosulullah Muhammad saw atau Lia Eden yang mengaku Jibril dibela habis-habisan.Dengan alasan yang sama sholat dengan dua bahasa dan tidak menghadap kiblat, dibela oleh aktifis liberal. Semua ini jelas untuk menghancurkan aqidah umat Islam.
Dalam bidang sosial dengan alasan kebebasan bertingkah laku sebagai ekpresi kebebasan individu, HAM melegalkan praktik yang menyimpang dari Islam seperti seks bebas, homoseksual, lesbian, dan pornografi. Akibatnya, kemaksiatan pun meluas di tengah masyarakat. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2010 menunjukkan sebanyak 51 persen remaja di Jabodetabek tidak perawan lagi karena telah melakukan hubungan seks pranikah. Hal serupa juga terjadi di kota besar lainnya. Di Surabaya tercatat 54 persen, Bandung 47 persen, dan 52 persen di Medan sudah tidak perawan. Bersamaan dengan itu jumlah pengidap penyakit HIV/AIDS pun meningkat.
Sementara dalam bidang politik ide HAM juga digunakan sebagai political hammer (palu politik) untuk menyerang perjuangan penegakan syariah Islam yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Tidak hanya itu HAM juga mengancam stabilitas dan kesatuan politik negeri-negeri Islam termasuk Indonesia. Lepasnya Timor Timur tidak bisa dilepaskan dari propaganda hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Ancaman disintegrasi dengan alasan yang sama juga bisa terjadi di Papua dan Aceh. Sudan saat ini terancam disintegrasi yang akan mengadakan referendum menentukan nasib sendiri di Sudan Selatan awal 2011.
Dalam bidang ekonomi, liberalisasi ekonomi telah menjadi jalan perampokan terhadap kekayaan negeri-negeri Islam atas nama kebebasan pemilikan. Tambang minyak, emas, perak, batu bara yang sebenarnya merupakan milik rakyat, dirampok atas nama kebebasan investasi dan perdagangan bebas.
Secara global, kredibilitas AI dan HRW pun patut dipertanyakan ketika tidak sungguh-sungguh mengecam dan mencegah praktis pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan AS dan Negara-negara Barat lainnya di Afgahnistan, Irak, dan Pakistan.
Kebrutalan ini telah banyak terekspose dalam ribuan dokumen rahasia Wikileaks. AI dan HRW juga cendrung tidak banyak berbuat ketika Negara Zionis Israel menyerang jalur Gaza dalam membunuh sekitar 1500 rakyat Palestina hanya dalam waktu lebih kurang 2 minggu. Meskipun terus melakukan kejahatan kemanusian sistematis, negara Zionis Yahudi ini nyaris tidak tersentuh.*
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh – Jakarta, Saat ini Mahasiswa Pascasarjana di The Islamic College – Universitas Paramadina
Red: Cholis Akbar