View Full Version
Jum'at, 03 Jun 2011

Liberalis: Ahl Bid'ah, bukan Mujtahid!

Oleh: Asmu’i 

Selasa 24 Mei 2011 kemarin, atas undangan Markaz al-‘Alamiy Li Al-Wasathiyyah yang berada di bawah naungan Kementrian wakaf Kuwait, saya dan beberapa teman mengikuti Daurah Wasathiyah di Negara Kuwait. Kajian mendalam yang dilaksanakan dalam bahasa Arab ini dimaksudkan agar kita bisa menempatkan makna washatiyah dalam ber-Islam. Apakah ia modernisme sebagaimana yang dipahami dan diperjuangkan oleh orang-orang liberal, dengan ciri kemustian dekonstruksi agama, baik dalam masalah furu’iyah maupun ushuliyah, yang menyangkut dalil-dalil qath’iyyah dan dzanniyah sekaligus, sehingga sesuai dengan konteks.

Atau, apakah wasathiyah dalam beragama adalah pemahaman dan pengamalan agama yang mengakui adanya perbedaan pada ranah furu’iyah dan seputar dalil-dalil dzanniyah semata, sedangkan perkara ushuliyah dan yang berkaitan dengan dalil-dalil qath’iyyah tidak, dengan prinsip irtibath bi al-Ashl wa It-tishal bi al-‘Ashr.

Materi pertama yang kami terima adalah fiqh al-I’tilaf wa al-Ikhtilaf. Kajian ini diberikan oleh Prof. Dr. Abu al-Fath al-Bayanuni. Dalam masalah ikhtilaf beliau menegaskan bahwa dalam Islam, perbedaan yang diterima (maqbul) sejauh menyangkut masalah-masalah furu’iyah semata. Seperti, lanjut beliau, tentang sifat-sifat Allah swt, di mana baik salaf (seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibn Taimiyah), Imam Al-Asy’ari dan Imam Maturidi sepakat bahwa Allah swt mempunyai sifat-sifat.

Perbedaan yang terjadi di antara mereka hanya pada kaifiyati (cara) menetapkan dan menjelaskannya saja. Sementara itu, dalam masalah-masalah ushuliyah, lanjut beliau, umat Islam dari kalangan Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah seluruhnya tidak ada yang berbeda.

Selain itu, masih menurut beliau, ulama sepakat tidak membenarkan ijtihad dalam ayat-ayat yang qat’i dilalah. Ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh la ijtihad fi mawrid al-nas (tidak ada ijtihad pada perkara yang mempunyai nash qath’i). Seperti tentang wajibnya sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, menutup aurat bagi Muslim, haramnya pernikahan antara Muslimah dengan lelaki non-Muslim, haramnya zina, lesbianisme dan homo seksualisme dll.

Tentu, bagi orang-orang liberal keterangan di atas salah bahkan menyesatkan. Sebab bagi mereka, selama bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat Barat hari ini, maka Islam harus dirubah, hatta ajaran agama yang berasal dari nash-nash qath’iyyah dan menyangkut masalah ushuliyah.

Pemikir asal Sudan, Abdullah Ahmed An-Na’im misalnya, berani menyatakan bahwa syari’ah sama dengan fikih, dimana kedua-duanya adalah produk pikiran manusia semata. Sehingga bersifat relatif, bisa dirubah dan disesuaikan kapan pun jika tidak sesuai dengan kebutuhan syahwat manusia postmo (baca: Toward an Islamic Reformation). Padahal ulama Islam, seperti Sayyid Quthb, dengan tegas membedakan keduanya (baca: Social Justice in Islam).

Dalam masalah sholat, beberapa waktu yang lalu, tokoh kebanggaan kaum Liberal, yang juga Profesor Studi Islam di Virginia Commonwealth University, Aminah Wadud memimpin sholat sekaligus sebagai khatib Shalat Jum'at.

Di Indonesia sendiri, gugatan atas ketetapan masalah-masalah ushuliyah juga nyaring terdengar. Dalam hal shalat, beberapa kalangan liberal mendukung pelaksanaan shalat dengan dwi bahasa (Arab dan Indonesia), yang pernah dipraktekkan sebuah "aliran sesat" di Jawa Timur. Dalam masalah Haji, seorang tokoh masyarakat justru menyarankan agar waktu pelaksanaan Ibadah Haji yang selama ini dilakukan pada ayyam al-tasyriq bulan Zhul Hijjah dirubah.

Mengingat besarnya tantangan-tantangan di atas, dalam kesempatan daurah ini, maka Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M. Phil., selaku salah satu pembimbing kami, menyampaikannya langsung kepada Syeikh Al-Bayanuni bahwa di berbagai dunia Islam, termasuk di Indonesia, agar Islam sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Barat, orang-orang liberal mengubah kaidah ushuliyah: al-Ibrah bi umumillafdz, la bi khususi al-sabab (perintah itu karena adanya kata-kata umum dan bukan karena sebab khusus) menjadi al-Ibrah bi khususi al-sabab la bi umumillafdz (perintah itu karena adanya sebab khusus dan bukan karena kata-kata umum).

Maksud dari sebab khusus di situ adalah konteks budaya. Sehingga perintah dan larangan dalam al-Qur’an harus dipahami dalam konteks budaya ketika ia diturunkan, dan disesuaikan dengan tuntutan manusia postmo hari ini.

Padahal, larangan memakan daging babi, berjudi, berzina, pembagian warisan laki-laki dua kali lipat perempuan, dan meminum khamr tidak berdasarkan konteks budaya. Jika cara pikir liberal diterapkan, maka banyak sekali hukum Islam yang harus didekonstruksi.

Bagi orang-orang liberal, dekonstruksi hukum dan syari’ah Islam tidak masalah. Sebab sebagaimana yang disampaikan oleh DR. Hamid, mereka lebih mementingkan maqashid daripada syari’ah. Alasannya, hukum Islam ditetapkan untuk menciptakan mashlahah kepada umat manusia. Karena itu, bagi mereka, setiap tindakan yang mengandung mashlahah pasti mengandung syari’ah.

Jadi, kelompok liberal itu memisahkan antara syari’ah dan maqasid syari’ah. Mashlahah yang orang-orang liberal maksud itu juga bukan yang ada dalam syari’ah sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama, tapi nilai-nilai postmo masyarakat Barat yang bersifat relatif-pluralis. Buktinya, bagaimanapun mereka menolak penerapan nilai-nilai Islam walau itu berasal dari tuntutan umat Islam itu sendiri.

Menurut ’Abdul Majid al-Najjar, itulah akar kesalahan orang-orang liberal, yakni memisahkan antara maqshad (obyektif) dan hukum yang menjadi wasilah kepada obyektif/tujuan. Padahal keduanya adalah satu.

Syeikh Yusuf al-Qardhawi juga menegaskan hal ini. Menurut beliau, di mana ada hukum syara’ disana ada mashlahah (haithuma wujida al-shar’ fa thamma al-mashlahah).

Sedangkan Syeikh Al-Bayanuni sendiri mengibaratkan hubungan antara syari’ah dan maqashid syari’ah bagaikan jasad dan ruh. Keduanya adalah satu kesatuan, tidak seharusnya dipisah-pisahkan. Kelompok liberal yang lebih mementingkan maqashid daripada syari’ah sama artinya dengan lebih mengutamakan ruh daripada jasad. Mereka lebih melihat keduanya sebagai dua hal yang berbeda secara tajam, sehingga jatuh pada kesalahan.

Oleh sebab itu, Syeikh Al-Bayanuni menegaskan bahwa tidak semua perbedaan dalam beragama benar atau syari’i. Ia benar (diterima) selama berada pada tempat yang benar dan disampaikan oleh yang ahli (al-ikhtilāf maqbūl fī mahallihi wa ahlihi).

Berada pada tempat yang benar maksudnya, kita harus melihat dulu, apakah perbedaan itu seputar masalah-masalah furu’iyah atau ushuliyah; pada dalil qath’iyyah atau dzanniyah. Selain itu, apakah yang berbicara atau menetapkannya adalah orang-orang yang punya otoritas di bidangnya atau bukan.

Tulisan ini menunjukkan bahwa orang-orang liberal itu tidak berpegang pada kaedah-kaedah dasar/prinsip (ushul) agama dalam memahami, menjelaskan dan mengamalkan Islam. Mereka sesungguhnya merubah dan mendatangkan kaedah-kaedah yang benar-benar baru atau menyalahi nash-nash al-Qur’an atau Al-Hadith tanpa dasar ilmu yang mendalam.

Dengan demikian, kelompok liberal bukanlah para mujtahid, tapi ahl bid’ah yang nyata. Wallahu a’lamu bi as-shawab.

Penulis adalah Mahasiswa pada Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Akidah


Red: Cholis Akbar


latestnews

View Full Version