Hidayatullah.com--Pasca kasus pembunuhan polisi dan ledakan di kompleks Ma’had Umar bin Khattab Bima melahirkan masalah baru. Setelah peristiwa ledakan tersebut, penjagaan di wilayah Bima NTB mulai diperketat. Kriteria lain, menurut Suhaimi, sebuah Ponpes terbuka untuk umum, artinya siapa saja boleh menjadi santri dan juga terbuka untuk dikunjungi baik silaturrahmi maupun mengikuti pengajian. "Pergilah ke tengah masyarakat. Hiduplah bersama mereka. Belajarlah dari mereka. Buatlah rencana bersama mereka. Bekerjalah dengan mereka. Mengajar seraya menunjukkan. Belajar seraya mengerjakan. Bukan keterpisahan melainkan keterpaduan,” ujarnya. Sementara itu, Ustad Abrori, pimpinan Pesantren Umar bin Khattab (UBK) Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) telah ditangkap di kediaman orang tuanya, di desa Khananga, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Jumat lalu, sekitar pukul 12.30 WITA oleh anggota Polda NTB.*/Zulkifli Sasaki, NTB
Kepala Kanwil Kemenag NTB Drs.H. Lalu Suhaimi Ismy dalam keterangannya kepada kontributor hidayatullah.com menyampaikan penyesalannya atas kejadian tersebut.
“Saya menyayangkan akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab citra Ponpes menjadi tercoreng. Selama ini Ponpes di Indonesia telah melahirkan ulama besar termasuk di NTB seperti Almagfurlah Maulana Syeikh TGKH Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan (NW) yang merupakan organisasi kemasyarakatan (Ormas) terbesar di NTB yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah," ujarnya.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa Ma’had Umar bin Khattab lebih tepat disebut “kelompok” karena pondok pesantren mempunyai beberapa syarat untuk bisa dikatakan sebagai Pondok Pesantren yakni harus ada seorang Kiai yang menetap di pondok, ada masjid/mushalla (santren), memiliki santri sesuai tingkat usianya seperti madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah atau madrasah aliyah.
Lebih jauh, ia meminta kelompok-kelompok Muslim bisa hidup di tengah masyarakat.