Selasa, 10 Juli 2012
TULISAN ini bukan ditujukan kepada orang Suriah yang mampu menceritakan bahkan lebih baik daripada tulisan ini. Tulisan ini ditujukan kepada saudara-saudaraku bangsa Arab (sumber asli tulisan) yang setelah lewat setahun revolusi masih ada yang bertanya: kenapa kalian berontak kepada pemerintah al Assad? Bagaimana revolusi tersebut terjadi?
Orang Suriah hendaknya tidak buang waktu membaca tulisan ini, kecuali untuk membacakannya kepada siapa pun yang bertanya. Adapun orang selain Suriah yang hendak membaca tulisan ini, maka hendaknya dibantu untuk memahami realitas revolusi Suriah sesungguhnya. Walaupun saya tidak bisa menjanjikan bahwa mereka akan paham sepenuhnya. Sebab, bagaimanapun tidak sama antara yang menyaksikan langsung dengan yang sekadar membaca. Dunia menyebut Suriah sebuah republik. Padahal pemerintahan republik memilih presidennya lewat pemilihan umum yang mengganti presidennya secara berkala dalam beberapa tahun. Namun, kenapa presiden Suriah justru dilahirkan dari rahim istri presidennya? Lantas kenapa presiden Suriah tidak pernah berganti? Partai Ba’ats yang sosialis merebut kekuasaan di Suriah lewat kudeta berdarah pada bulan Maret 1963. Tapi sejatinya kudeta tersebut bukanlah kudeta partai politik atas sebuah pemerintahan, selain upaya seseorang bernama Hafiz al Assad, yang dengan dukungan sekelompok bersenjata menggulingkan kekuasaan. Di depan publik, Hafiz al Assad tampil sebagai bagian dari kelompok revolusi bersenjata. Tetapi sesungguhnya dialah aktor intelektual di balik kudeta tersebut. Dalam beberapa tahun kemudian, al Assad berhasil menyingkirkan satu persatu rekan-rekan seperjuangannya. Terakhir, dia berhasil melibas kawan dekatnya, Shalah Jadid di akhir tahun 1970. Setelah itu, dia mengumumkan dirinya sebagai pemimpin dan presiden bagi Suriah (1971). Tiga puluh tahun di bawah kekuasaan al Assad adalah masa sulit dalam sejarah Suriah. Setelah dia wafat pada medio 2000 silam, Bashar al Assad mewarisi kekuasaan bapaknya, tak ubahnya kekuasaan monarki. Namun karena usia Bashar waktu itu (35 tahun) belum cukup untuk menjadi presiden oleh konstitusi, maka hanya ada dua opsi: mencari calon presiden yang lain atau mengamandemen konstitusi. Namun karena di di Suriah seluruhnya tidak ada pemuda yang layak untuk jabatan presiden selain Bashar, maka amandemen konstitusi menjadi pilihan yang paling ringan. Apalagi karena parlemen Suriah terdiri dari para pakar hukum terkemuka di dunia. Tidak heran jika amandemen tersebut cuma butuh waktu lima menit. Dan jadilah Bashar yang sebelumnya putra mahkota sebagai “raja baru Suriah”. (Menang lewat referendum yang sarat rekayasa dengan dukungan 97,3% suara [!]) II SEJAK penggulingan kekuasaan oleh partai Ba’ats di tahun 1963, Suriah memberlakukan undang-undang darurat. Selama empat puluh delapan tahun, bangsa Suriah hidup di bawah tekanan dan penderitaan oleh undang-undang tersebut. Kehormatan dan kebebasan mereka terampas. Seluruh negara jatuh ke dalam genggaman sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan: keluarga al Assad dan para kroninya. Lembaga-lembaga negara, pranata ekonomi, keamanan, militer . . . semua dipegang oleh lingkaran kelompok itu. Hanya ratusan manusia yang secara de facto memiliki negeri yang bernama Suriah beserta seluruh sumber daya yang ada di dalamnya. Merekalah yang menguasai dan mengendalikan dua puluh juta manusia lainnya. Seorang penulis pernah berniat menulis tentang kondisi saat itu. Dia tidak mendapatkan tajuk yang lebih tepat selain: Mazra’ah/Kebun al Assad. Ya, benar. Sebab Suriah di era tersebut telah berubah menjadi sekadar sebuah kebun. Manusia Suriah lebih rendah statusnya daripada seekor binatang. Semenjak setengah abad silam, setiap bayi yang lahir di Suriah menambah jumlah budak dan tawanan rezim. Bayi tersebut lahir dalam sebuah negeri yang diliputi horor, diskriminasi dan perampasan harkat serta martabat. Sidang pembaca paham benar arti istilah “ketenteraman” dan “martabat” di negeri Saudara hidup. Tapi bangsa Suriah hanya bisa mendengarnya sebagai sebuah dongeng. Setiap anak di dunia diberi susu sejak kecilnya, kecuali di Suriah. Anak-anak di Suriah diberi “susu” horor dan penistaan. Sejak ketika seorang anak di Suriah belajar untuk berbicara, dia akan diberitahu untuk tidak menanyakan atau menggugat apa pun. “Jangan sampai engkau sekalipun menunjuk kepada aparat keamanan atau menyebut intel. Jangan sekalipun engkau menyebut nama presiden, kecuali diawali dan diikuti dengan pujian.” III Di Suriah, terdapat patung-patung dan poster presiden yang jika hendak dibagikan kepada seluruh penduduk dunia akan cukup. Jika Anda berjalan-jalan di Suriah, Anda akan selalu menemukan patung di antara dua patung lainnya, poster di antara dua poster lainnya. Bangsa Suriah telah meringkas sejarah mereka pada profil presiden mereka. Sebelum al Assad, bangsa Suriah bukanlah siapa-siapa. Suriah mengangkat al Assad ke semi-tuhan, dia dinobatkan sebagai pemimpin seumur hidup. Media dan perangkat pendidikan semuanya ditujukan untuk mengindoktrinasikan dusta besar: al Asadan/dua singa, bapak dan anaknya. Pemimpin terbesar, paling bijaksana sepanjang zaman. Mereka adalah karunia Tuhan kepada bangsa Suriah, khusus dan hanya buat bangsa Suriah. Teriakan awal pemuda yang menuntut revolusi terbatas pada tuntutan kebebasan “Hurriyyah, Hurriyyah”, dan “Bangsa Suriah tidak Boleh Direndahkan”. Bangsa Arab lainnya tidak memahami arti teriakan tersebut, sebab mereka belum pernah kehilangan kebebasan dan harga diri, seperti bangsa Suriah. Bahkan bangsa Palestina pun tidak. IV Di Suriah, semua unsur intelijen adalah raja dan pemilik, sedangkan seluruh rakyat Suriah adalah budak dan gembalaan. Al Assad memberikan itu semua kepada intelijen setelah dia berhasil dengan kudetanya. Intelijen bisa melakukan apa saja terhadap rakyat Suriah, yang penting bahwa tidak ada yang berani meyentuh dan menggugat kekuasaan al Assad. V Tiba-tiba dunia Arab meledak oleh revolusi. Musim semi telah tiba. Rakyat Tunis keluar ke jalan-jalan raya (17/12/2010), disusul rakyat Mesir (25/1/2011), kemudian rakyat Yaman (11/2/2011) dan Libya (17/2/2011). VI Api telah terlanjur membakar. Pengamat tidak bisa menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dari atas. Padahal, nyala api terus menjalar di bawah permukaan. Lima hari setelah peristiwa itu, sebuah demonstrasi kecil berkumpul di depan kedutaan besar Libya, memprotes kekerasan berdarah terhadap saudara-saudara kita, pendukung revolusi yang melawan diktator kejam Moammar Khadafi. Tulisan ini adalah hasil kerjasama hidayatullah.com dengan Majalah Internasional Al-bayan
Bangsa Suriah diperbolehkan menista Tuhan, tetapi tidak boleh menista “tuhan” palsu mereka. Itu terjadi sebelum segalanya terbuka dan tersingkap. Tapi setelah rahasia itu terbongkar, ternyata pengikut setia al Assad memang sujud kepada poster-posternya dan memaksa para tawanan untuk sujud kepadanya. Bahkan para tawanan itu disiksa dan dipaksa untuk mengucapkan persaksian: tiada tuhan selain Bashar(!). Maha Tinggi Allah dari segala sekutu. Dan semoga Allah menimpakan siksanya kepada Bashar, hamba-hambanya dan pengikutnya.
Demi Allah, aku bersumpah, bahwa bangsa Palestina yang hidup di bawah penjajahan Zionisme Yahudi lebih bebas dan lebih memiliki harga diri daripada bangsa Suriah. Bangsa Suriah yang hidup di bawah penjajahan partai Ba’ats al Assad selama empat puluh tahun lamanya.
Sejak saat itu, perangkat intelijen dan keamanan punya nota perbudakan terhadap semua rakyat Suriah. Mereka bisa merampas kemerdekaan, kehormatan, bahkan nyawa siapa saja tanpa koreksi dan protes dari siapa pun. Tidak perduli orang tua, anak-anak, pria dan wanita, Arab dan Kurdi, Muslim dan Nasrani. Setiap penduduk Suriah berarti berstatus budak.
Andai aparat keamanan itu bersikap sebagaimana gembala kepada binatang gembalaannya, realitasnya tidak. Rakyat Suriah lebih rendah daripada binatang.
Di Suriah, aparat keamanan bisa menyerobot masuk ke rumah penduduk kapan saja, siang atau malam, dan membawa pergi siapa yang mereka inginkan. Anda tidak bisa menyanggah atau bertanya. Orang yang ditahan tidak tahu alasan dia ditahan, atau mungkin alasan dia dibunuh.
Adapun keluarganya, tahun-tahun berlalu dan mereka tidak tahu nasib keluarga mereka. Awalnya mereka berharap bahwa dia akan pulang, kemudian berharap bahwa mereka bisa mengunjunginya di penjara, kemudian berharap bisa melihatnya walau hanya sekejap, lantas berharap mendengar informasi tentangnya, informasi apa saja . . . . Harapan yang semakin lama semakin redup dimakan waktu, hingga akhirnya harapan itu cuma satu: hidupkah dia gerangan atau telah gugur.
Rakyat Suriah telah terbiasa kehilangan anak-anak mereka dan mereka diam. Mereka terlanjur lazim dengan keputusasaan terhadap keluarga mereka yang ditahan. Mereka sudah biasa mengubur keluarga mereka yang tewas atau meninggal sambil tutup mulut.
Apakah pembaca pernah mendengar penjara Tadmur, “Bastille” Suriah yang menyeramkan? Tanyakan kepada gurun pasir yang luas membentang di belakangnya, berapa ratus ribu nyawa yang lenyap di dalamnya? Manusia-manusia yang tak berdosa, bahkan manusia-manusia saleh dan jujur. Semoga Allah merahmati mereka semua.
Orang-orang bertanya, bukankah rakyat Suriah lebih pantas untuk protes? Sebab, kondisi mereka jauh lebih buruk dan pemerintahan mereka jauh lebih korup. Tetapi apakah mereka akan melakukan revolusi? Orang-orang bersilang pendapat. Tapi mayoritas berkata, tidak mungkin! Benar, rakyat Suriah lebih butuh kepada kebebasan, tapi mereka terlalu lemah untuk menuntut itu. Sebab pemerintahan Suriah paling sadis dan represif di dunia saat ini.
Awal Februari, sejumlah tuntutan “malu-malu” di Damaskus dan Halab mendesak agar rakyat berdemo. Beberapa kesepakatan waktu telah dibuat, namun tidak mendapatkan respons yang memadai. Para aktivis frustrasi dan putus asa.
Manusia menginginkan dan Allah berkehendak, dan Allah memutuskan apa yang Dia kehendaki. Allah mengatur kehendaknya di luar kemampuan dan perkiraan manusia. Tanggal 17 Februari, seorang polisi di pusat ibukota bertindak sewenang-wenang kepada seorang pedagang di pasar tua Hurayqah. Polisi itu memukul si pedagang.
Sontak, orang-orang dipasar berkumpul dan protes. Tanpa rencana dan koordinasi sebelumnya. Demonstrasi pertama selama setengah abad kurang dua tahun! Dalam waktu singkat, ribuan manusia bergerombol dan meneriakkan yel-yel: “Bangsa Suriah tidak Boleh Direndahkan”. Keadaan sangat riuh sampai-sampai menteri dalam negeri turun tangan langsung mengendalikan situasi. “Shabiha”, geng bersenjata piaraan rezim Bashar, dan aparat keamanan menerobos ke tengah demonstrasi dan berusaha merebut kendali. Mereka berteriak, “Allah, Suriah, Bashar.”
Padahal demonstrasi tersebut tidak berarti apa-apa dibanding dengan demonstrasi-demonstrasi pada bulan-bulan berikutnya. Hanya saja, demonstrasi tersebut merupakan peristiwa luar biasa dalam perspektif rakyat Suriah. Untuk pertama kalinya rakyat Suriah berkumpul dalam jumlah besar untuk melakukan protes terhadap salah satu simbol rezim. Baru kali itu mereka berbicara tentang harga diri dan identitas rakyat Suriah. Istilah yang telah lama hilang dalam perasaan kolektif mereka.
Film dokumentasi tentang demonstrasi tersebut di-upload ke Youtube dan informasinya segera menyebar bagaikan api yang membakar ilalang. Tidak sampai sepekan hingga film tersebut ditonton ratusan ribu manusia.
Demonstrasi itu tidak berlangsung lama, sebab pihak keamanan membubarkannya dengan keras. Dan ketika demonstrasi tersebut berulang keesokan harinya, para pendemo mulai dipukuli bahkan ditahan.
Beberapa hari jelang Februari berlalu, terjadilah peristiwa yang ditakdirkan menjadi salah satu terminal revolusi. Seorang anak di Dir’a mencoret di dinding slogan yang mereka contek dari Arab Spring di negeri Arab lainnya: “rakyat ingin menurunkan pemerintah”.
Pernahkan Pembaca budiman mendengar tentang Dir’a sebelum ini? Dir’a adalah ibukota Hawran, negeri yang melahirkan ulama-ulama besar semacam Imam Nawawi dan Ibnu Katsir. Negeri ini pula yang memecahkan revolusi besar melawan pendudukan Prancis.
Peristiwa kecil itulah yang sesungguhnya melahirkan revolusi. Belasan anak yang usianya tidak lebih dari 15 tahun diseret dari rumah mereka masing-masing pada malam hari itu. Mereka digiring ke tahanan dan disiksa. Organ tubuh mereka dibakar dan kuku mereka dicabut. Tubuh mereka digebuk hingga remuk.
Para orang tua dari anak-anak itu datang memelas. Meraka memohon kepada pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka dilepaskan. Namun, pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar ke seluruh Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau bawa kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”
Kesabaran tetap ada batasnya. Rakyat Suriah telah cukup bersabar hingga laut kesabaran itu telah kering. Dan bubuk mesiu yang terjilat api pasti akan meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi penduduk Dir’a, sedangkan apinya adalah jawaban pejabat pemerintah tadi. Meledaklah revolusi!*
Bersambung . . . .
Red: Cholis Akbar