Selasa, 10 Juli 2012
PARA orangtua dari anak-anak itu datang memelas. Meraka memohon kepada pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka dilepaskan. Namun, pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar ke seluruh Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau bawa kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”
Kesabaran tetap ada batasnya. Rakyat Suriah telah cukup bersabar hingga laut kesabaran itu telah kering. Dan bubuk mesiu yang terjilat api pasti akan meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi penduduk Dir’a, sedangkan apinya adalah jawaban pejabat pemerintah tadi. Meledaklah revolusi! VII Tuntutan untuk melakukan demonstrasi pada hari Selasa (15/3/2011) tersebar lewat situs-situs jejaring sosial di internet. Pada hari H, demonstrasi kecil terjadi di Damaskus, Halab, Dir’a, dan Dirzur. Para demonstran berteriak, “Kemana engkau bangsa Suriah.” VIII Sesungguhnya krisis Suriah bisa saja berhenti sampai di situ. Apa yang dituntut oleh para demonstran? Menurunkan pejabat keamanan dan mengajukannya ke pengadilan, mengganti gubernur yang korup dan melepaskan anak-anak yang ditawan bersama sejumlah tawanan politik. Di samping itu, membatalkan undang-undang darurat yang telah menghimpit kehidupan rakyat selama setengah abad. IX Hari-hari berikutnya semakin memanas. Kendati pejabat-pejabat pemerintahan silih berganti muncul di layar televisi dengan pernyataan yang penuh kamuflase. Janji untuk menghukum pejabat yang melanggar, militer yang melampaui batas, dan upaya melakukan investigasi yang indipenden. Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. X Sejak awal rezim Suriah berupaya membunuh “janin” revolusi sebelum dia lahir dan tumbuh besar dan kuat. Lantaran itu, demo-demo pertama dihadapi dengan senjata, dan korban mulai berjatuhan di mana-mana. Strategi yang ditempuh tentara rezim umumnya adalah menggunakan penembak jitu yang bersembunyi di gedung-gedung tinggi kota. Kadang juga dengan tembakan senjata mesin oleh tentara yang berlindung. XI Memasuki pekan keenam, rezim Bashar mengeluarkan kartunya yang terakhir. Tentara mulai menyerang distrik-distrik tertentu. Dimulai dengan pemutusan listrik dan air serta pasokan makanan. Namun demikian, rakyat tidak pernah menyerah. Setelah lewat beberapa waktu, tentara baru memasuki kota dengan menembak dan memburu warga satu persatu. Tidak puas dengan itu, bom mortir menyusul setelahnya. Namun itu semua tidak menyurutkan rakyat. Hingga saat ini dunia menyaksikan keteguhan dan ketabahan rakyat Suriah dengan revolusi mereka. XII Ketika rezim memutuskan untuk membendung revolusi dengan peluru, sesungguhnya rezim telah melakukan dua kesalahan besar. Pertama, yang eksesnya segera yaitu jatuhkan korban dari rakyat sipil yang menjadi bahan akar bagi tumbuhnya perlawanan baru. Setiap korban akan melahirkan kemarahan yang lebih banyak. Sehingga semakin banyak korban yang jatuh, semakin banyak rakyat yang bergabung ke barisan revolusi. XIII Pembaca pernah mendengar tentang kemanan pemerintah yang menertibkan gelombang protes rakyat dengan semprotan air, gas air mata, dan peluru karet. Tapi pembaca mungkin belum pernah mendengar pemerintah yang menghadang demonstrasi rakyat dengan senapan mesin, sniper yang menjadikan anak-anak dan wanita sebagai target. XIV Ketika revolusi mulai pecah, hampir semua yang rakyat Suriah duga bahwa rezim akan lakukan telah menjadi kenyataan. Pasukan keamanan dan perangkat intelijen paling kejam, ratusan ribu loyalis partai Ba’ats, pemuda partai dan Shabiha (gang bayaran piaraan rezim), tentara dengan segala perlengkapan perangnya; semua itu telah dikerahkan rezim untuk menghentikan perlawanan rakyat. Rakyat Suriah telah mempersiapkan diri. Mereka siap menghadapi sebuah rezim yang mereka kenal dengan baik. Rezim yang selama hampir setengah abad menindas rakyat. XV Belasan ribu korban nyawa telah berjatuhan, puluhan ribu yang hilang, di atas itu adalah orang-orang yang ditawan rezim, lebih seratus ribu orang yang mengungsi ke negara-negara tetangga, dan jumlah yang lebih besar lagi terlantar di dalam Suriah sendiri. (Laporan Syrian Network for Human Rights [27/6/2012] menyebut korban tewas 14.863 rakyat sipil termasuk wanita dan anak-anak dan 1.277 militer). Tulisan ini adalah hasil kerjasama hidayatullah.com dengan Majalah Internasional Albayan
Esok harinya, sekitar 100 pemuda dan pemudi berdemonstrasi di jantung kota Damaskus. Mereka berkumpul di depan kantor kementrian dalam negeri menuntut kebebasan, reformasi politik, dan agar tawanan politik dibebeskan dari penjara. Ratusan aparat keamanan bersenjata pentungan membubarkan demonstrasi dan menangkap sebagian aktivis. Beberapa perempuan dijambak rambutnya serta seret menuju mobil tahanan.
Jumat (18/3/2011) sejumlah demonstrasi terjadi di beberapa kota di Suriah. Dir’a menjadi kota yang paling panas. Khususnya setelah insiden penangkapan anak kecil yang disusul oleh pernyataan pejabat keamanan tadi. Sekam yang membara tinggal menunggu untuk disiram dengan bahan bakar. Dan pemerintah Suriahlah yang melakukannya.
Penguasa merespon demonstrasi dengan sejata berpeluru tajam. Empat syahid jatuh korban. Itulah bahan bakar yang membakar bara emosi rakyat.
Sabtu keesokan harinya, warga Dir’a melayat dan mengiringi jenazah para syuhada. Syekh Ahmad al Shayashinah menyerukan kepada rakyat Suriah, “Sejak hari ini, wajib hukumnya bagi setiap rakyat Suriah yang mampu untuk keluar berdemonstrasi. Sikap berpangku tangan adalah khianat terhadap darah para syahid.”
Petugas keamanan meneror Syeikh Ahmad dan meminta dia menenangkan gerakan protes. Syeikh Ahmad menolak. Akibatnya dia dipukuli petugas.
Ahad (20/3/2011), rombongan manusia mengalir dari segala penjuru Hawran menuju Dir’a. Mereka berteriak, “Bangkitlah Hawran, bangkitlah Hawran!” Beberapa aparat mencoba menenangkan kumpulan manusia itu, namun nihil. Rakyat menuntut agar pejabat keamanan yang membalas dengan penghinaan itu dihukum mati. Untuk pertama kalinya selama beberapa dekade publik mengajukan tuntutan untuk menghukum mati seorang pejabat yang sewenang-wenang.
Untuk pertama kalinya pula, massa berkumpul bukan untuk meneriakkan “Bashar sebagai pemimpin untuk selamanya,” atau “kami akan berkorban dengan darah dan nyawa.” Bukan. Teriakan yang menggoncang bumi Hawran saat itu adalah “Bashar barrah, barrah (keluar); Suriah hurrah, hurrah (merdeka).” Ketakutan terhadap rezim akhirnya menguap sudah. Dugaan banyak orang selama ini terhadap rakyat Suriah menjadi tidak terbukti.
Pada hari yang sama, Hasan Nashrullah berpidato, “Pemerintahan yang mirip Husni Mubarak yang diprotes rakyatnya, maka kami akan bersama rakyatnya. Akan tetapi jika pemerintahan itu menolak dan timbul masalah, maka persoalannya jadi lain. Kami akan berdiri bersama mereka, dan berkata, ‘Tuntaskan urusan kalian sendiri.”
Setelah pidato Hasan Nashrullah, demonstran Suriah di Dir’a membakar posternya dan protes, karena mereka juga menghadapi intimidasi dan penindasan. Nashrullah dan Hizbullata jatuh dari mata rakyat Suriah, dan hampir saja Iran yang bermain di belakangnya turut kolaps. Proyek raksasa yang dibiayai Iran selama sepertiga abad jatuh sudah.
Adapun menurunkan pemerintahan yang ada, masih merupakan mimpi di siang bolong. Kenapa rezim tidak berusaha memenuhi tuntutan yang ringan itu? Kalaupun rezim yang ada belum mau melaksanakan tuntutan rakyat, kenapa para demonstran harus dihadapi dengan senjata?
Segera saja gerakan revolusi mengarah ke mogok massal yang dimulai di Dir’a dengan berkumpul di masjid Jami’ al ‘Amri. Sebagaimana rakyat segera menangkap bahwa mogok massal dan berkumpul di tempat terbuka merupakan “dosa besar” di mata rezim Bashar.
Pagi itu (23/3/2011), ledakan memecah udara Dir’a. Tentara loyalis rezim memulai serangannya ke Jami’ al ‘Amri. Para pemuda tidak beranjak dari tempat berkumpul mereka. Tentara mulai menembak dengan rentetan senapan mesin dan melempar bom. Korban dari rakyat sipil mulai berjatuhan. Puluhan tewas sebagai syuhada serta ratusan lainnya luka berat. Dan ketika aliran manusia mengalir menuju Jami’ al ‘Amri, mereka dihadang dengan tembakan dan korban yang jatuh bertambah. Militer melarang ambulans menolong korban yang jatuh. Bahkan korban yang berhasil dibawa pergi dicegat oleh tentara di jalan dan dibawa ke mobil tahanan.
Informasi tentang demo besar-besaran dan sikap rezim segera tersebar ke distrik-distrik lain di Hawran. Rakyat keluar ke jalan-jalan dan protes. Dengan marah, mereka berjalan menuju Dir’a. Sebagaimana sebelumnya, militer mencegat mereka dengan timah panas.
Hari itu berakhir dengan 52 korban nyawa. Hawran tidak mungkin lagi mundur ke belakang. Dia telah memasuki titik yang tak mungkin dihentikan kecuali dengan runtuhnya rezim Bashar.
Bashar tampil di televisi dengan pidatonya yang membosankan. Beberapa orang ditampilkan mendukung Bashar. Rakyat telah terbiasa dengan drama dan teriakan rekayasa yang ditampilkan di media resmi pemerintah. Rakyat membalasnya dengan demonstrasi yang pecah di mana-mana.
Seorang pejabat, lewat konferensi pers yang disiarkan media menegaskan bahwa presiden telah melarang keras tentara menghadapi demonstrasi rakyat dengan senjata. Hari Jumat, dunia menjadi saksi betapa instruksi presiden itu dilaksanakan. Ketika ribuan demonstran yang berasal dari Kufr Syams dan Shinmin mendekati kantor keamanan militer, pintu dibuka dengan hujan peluru senjata mesin yang berhambur menyambar tubuh para domonstran. Puluhan nyawa melayang di tempat.
Senin (28/3/2011) rakyat Suriah telah membuka mata mereka. Rakyat telah sadar bahwa rezim yang ada memilih jalan kekerasan dan darah. Rezim siap membantai rakyatnya sendiri demi menghentikan arus demonstrasi.
Recep Tayyip Erdogan, perdana menteri Turki muncul di layar televisi, “Kita tidak mungkin berpangku tangan terhadap apa yang terjadi di Suriah.” Sejak itu, dia memang tidak pernah lagi berlepas tangan terhadap nasib saudara-saudaranya di Suriah.
Rezim Suriah rupanya belajar dari revolusi Tunisia dan Mesir. Rezim menyimpulkan bahwa sikap ragu-ragu pihak keamanan dan militerlah yang menjadikan gerakan revolusi tumbuh dan terus berkembang. Rezim tidak mau melakukan “kesalahan” yang sama. Maka sejak awal demonstrasi, rezim Suriah telah mengerahkan segala kekuatan yang dia miliki. Oleh karena itu, kita tidak pernah mendengar adanya penggunaan peluru karet atau gas air mata kecuali sangat sedikit.
Setiap hari terjadi demo, mogok missal; dan jawaban yang diberikan oleh rezim Bashar tidak berubah. Peluru panas dan senjata berat menghadapi demonstrasi damai rakyat. Pekan demi pekan, jumlah korban nyawa terus bertambah. Setiap pekan korban berjatuhan, 83 syahid, 63 syahid, 78 syahid, 55 syahid, bahkan Jumat (22/4/2011) 225 syahid, dan Jumat (29/4/2011) 336 syahid.
Rezim penguasa menghadapi perlawanan rakyat dengan militer. Pemukiman penduduk dihujani bom-bom dan rudal. Banyak korban yang jatuh akibat reruntuhan gedung. Mereka termasuk belasan ribu nyawa yang melayang sejak awal revolusi. Makanya, sebagian pengungsi tidak punya apapun selain baju yang melekat di badan.
Tentara memperlakukan pemukiman penduduk seperti tentara pendudukan, bahkan lebih kejam dari itu. Mereka menjarah rumah-rumah penduduk dan menyembelih manusia seperti menyembelih binatang. Ribuan wanita, bahkan anak-anak di bawah umur mereka permalukan. Adapun penangkapan dan penyiksaan, terlalu panjang dan mengerikan untuk diceritakan.
Kedua, ekses yang sejak hari pertama hingga kini terus menimpa kubu rezim pemerintahan Suriah. Yaitu dilema dan frustrasi yang menjebak aparat tentara dan keamanan. Ketika mereka mendapat instruksi dari atasan untuk menembak dan membunuh warga yang tidak bersenjata sama sekali. Setiap personil tentara hanya punya dua pilihan. Dia memilih untuk taat pada perintah itu, dan itu berarti dia membunuh hati nurani dan kemanusiaan dalam dirinya sendiri. Atau dia menolak untuk melaksanakan perintah itu, dan dia terancam untuk dibunuh atas perintah atasannya.
Dilema dan frustrasi ini semakin hari semakin menjalar dalam tubuh tentara rezim. Kondisi psikologis yang sangat mempengaruhi kekuatan mereka. Tidak heran bila hampir setiap waktu kita mendengar informasi adanya tentara yang desersi. Mereka adalah tentara yang memilih suara hatinya dan menyadari dirinya sebagai bagian dari rakyat.
Salah satu yel yang sering diteriakkan oleh demonstran selama ialah “Rakyat dan tentara adalah tangan yang satu”. Puluhan ribu tentara desersi dan bergabung dengan revolusi saat ini menyebar di seluruh Suriah dan merupakan salah satu kekuatan yang terus berkembang dalam tubuh revolusi.
Pembaca budiman mungkin tidak pernah mendengar ada penguasa yang mencegah kendaraan ambulance untuk masuk ke daerah jatuhnya korban untuk membantu, atau militer yang menyerbu rumah sakit-rumah sakit dan menawan para perawat dan dokter serta menjadikan mobil ambulance itu sebagai mobil tawanan, atau membunuh pasien serta membiarkan mereka terdampar di jalan sampai menemui ajalnya.
Saudara mungkin tidak pernah membaca ada pasukan pemerintah yang sengaja menyimpan pasien luka di kulkas jenazah hingga dia wafat. Atau penyiksaan terhadap anak-anak dengan mematahkan lehernya dan organ tubuhnya yang lain, atau tawanan yang dikupas kulitnya serta dicabut matanya.
Anda bisa jadi belum pernah membaca pemerintah yang menjawab tuntutan rakyat dengan menginstruksikan kepada aparatnya untuk menyerbu pemukiman penduduk kemudian menyiksa dan membunuh mereka satu persatu. Atau menghadapi domonstrasi rakyat dengan tank dan persenjataan berat.
Semua yang kami kemukakan itu adalah realitas rezim Suriah saat ini. Itulah tindakan yang telah dilakukannya terhadap rakyat dan perlawanan bangsa Suriah. Dan itu masih terus berlangsung hingga saat tulisan ini dibuat.
Akan tetapi rakyat Suriah tidak pernah menyangka bahwa Hizbullata (bukan: Hizbullah) Libanon akan turut campur tangan dengan membela rezim dan mengirim milisinya untuk memerangi rakyat Suriah. Rakyat Suriah tidak mengira bahwa milisi Syiah Iraq akan mengirim pasukannya demi mempertahankan rezim sektarian Bashar, dengan membantai rakyat Suriah. Revolusi rakyat tidak pernah menduga bahwa Iran akan secara terbuka membela mati-matian rezim diktator Bashar dengan mengirim suplai bantuan logistik, persenjataan, dan garda nasional untuk memerangi rakyat Suriah. Namun itu semua adalah nyata.
Revolusi tidak pernah mengira bahwa Rusia akan berdiri si samping rezim Suriah dengan bantuan senjata dan teknologi, dan dukungan politik di percaturan politik dunia. Tapi itulah kenyataanya.
Rakyat Suriah hanya bisa mengandalkan diri mereka sendiri setelah Allah. Mereka mengira bahwa dunia akan berpihak kepada mereka dan mencegah rezim melakukan genosida terhadap rakyatnya sendiri, karena revolusi damai yang mereka lakukan, tapi ternyata rakyat Suriah keliru. Rakyat Suriah mengira bahwa Turki dan negara-negara tetangga yang lain tidak akan menonton begitu saja dan akan mencegah rezim Bashar untuk semakin tenggelam dalam pembantaian rakyat. Tetapi perkiraan itu salah. Revolusi menyangka bahwa Amerika dan negara-negara Barat pada akhirnya akan memberi bantuan, dalam bentuk apa pun itu. Namun persangkaan itu meleset.
Rakyat Suriah menduga bahwa bangsa Arab dan kaum Muslim akan mengguncang dunia dengan revolusi dan banjir demonstrasi menentang tindakan rezim, bila dia mengulangi tindakannya yang tidak manusiawi. Namun, itu semua tinggal dugaan kosong.
Namun, pejuang Suriah bertekad bahwa mereka akan terus melanjutkan revolusi dengan izin dan pertolongan Allah, dan tidak akan berhenti hingga rezim Bashar jatuh.
Demikianlah kisah revolusi rakyat Suriah. Setiap kisah harus ada akhirnya, dan rakyat kami telah bertekad bahwa akhir revolusi harus mereka tuliskan sendiri sebagaimana mereka telah menuliskan awalnya.
Suatu hari nanti, anak cucu Saudara akan membaca sejarah bahwa bangsa Suriah pernah melakukan revolusi melawan “tukang pukul” yang aniaya dan arogan, serta mengira dirinya akan bertahan selama-lamanya. Mereka akan membaca bahwa thagut tersebut telah melepas anjing-anjing dan piaraannya untuk meneror dan menyiksa rakyat. Namun para pahlawan telah menyiapkan diri mereka untuk kemungkinan yang paling terburuk. Maka mereka tidak goyah dan tidak surut.
Pahlawan-pahlawan itu justru berkata kepada thagut, “Bapakmu telah mencuri negeri kami dan memperbudak bapak-bapak kami. Mereka hidup terhina dan mereka diam. Kemudian kami lahir sebagai budak dan juga hidup terhina. Beberapa waktu kami telah diam. Hingga ketika anak-anak kami mulai bergerak dalam rahim istri-istri kami dan mereka hampir saja lahir ke dunia, kami memutuskan bahwa perbudakan ini tidak boleh diwariskan dari kakek ke anak hingga ke cucu. Maka kami bersumpah, bahwa anak-anak kami tidak akan lahir ke dunia kecuali kami, rakyat Suriah, telah merebut kemerdekaan.”
Kemudian anak cucu Saudara akan membaca akhir dari kisah revolusi. Para pahlawan itu telah memenuhi janji mereka, anak mereka tidak lahir kecuali mereka telah merdeka.*/Diadaptasi dari Mujahid Ma’mun Diraniyah, Suriyah: Qisshah al Tsawrah, laporan disampaikan pada konferensi al Hamlah al Islamiyah li Nushrah Suriyah, Turki.
Red: Cholis Akbar