View Full Version
Jum'at, 21 Sep 2012

Ada Restu Amerika dalam Pembantaian Sabra Shatila


 

Jum'at, 21 September 2012

Hidayatullah.com—Sebuah dokumen yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya tentang hubungan antara Amerika Serikat dan Israel pada saat terjadi pembantaian atas warga Palestina di Sabra dan Shatila, Libanon, 30 tahun lalu diungkap oleh seorang reporter Amerika.

Isi dokumen yang mengejutkan itu ditungkan dalam artikel dan dimuat koran Prancis terkemuka, Le Monde. Di dalamnya tergambar jelas bahwa Washington menolak untuk menekan keras Israel pada saat pembantaian itu terjadi di pada pertenghan September 1982.

Perselisihan antara para pejabat Amerika Serikat dengan Israel mengenai serangan atas pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila berlangsung sejak 30 tahun lalu hingga hari ini.

Dalam rekaman, Duta Besar AS Morris Draper memperingatkan para pejabat Israel tentang “posisi dasar” Amerika Serikat ketika itu. “Menurut kami kalian tidak perlu masuk –di Beirut– kalian harus keluar,” kata Draper, dikutip Al Arabiya (20/9/2012).

Ariel Sharon yang ketika itu menjabat menteri pertahanan Israel menjawab, “Apakah kalian sudah memikirkannya atau tidak … Jika terdapat masalah keamanan -Israel- dalam taruhan, maka itu adalah tanggungjawab kami. Kami tidak ingin orang lain memutuskannya untuk kami.”

Silat lidah kedua pejabat negara yang bersekutu erat itu terekam dalam dokumen bertanggal 15 September – 20 September 1982.

Pembantaian Sabra-Shatila yang memakan korban tewas hingga 3.000 orang Palestina terjadi pada 16-18 September 1982 tanpa henti. Baca kisah sebelumnya, “Sabra Shatila dalam kenangan penyair Gaza".

Pekan ini, seorang peneliti AS di Columbia bernama Seth Anziska yang memiliki akses atas arsip-arsip Israel, menulis sebuah artikel untuk New York Times. Dalam artikel itu Anziska menyoroti politik Libanon di Washington sekitar masa itu dan hubungan Israel-Amerika Serikat.

Dalam dokumen, Draper memperingatkan bahwa orang-orang yang mengkritik akan berkata, “Tentu saja, IDF [militer Israel] akan tinggal di Beirut Barat dan mereka akan membiarkan orang Libanon membunuhi orang Palestina di kamp-kamp mereka.”

Sharon menjawab, “Jadi, kita akan bunuh mereka. Mereka tidak akan dibiarkan tinggal di sana. Kalian (AS) tidak akan menyelamatkan mereka. Kalian tidak akan menyelamatkan kelompok-kelompok teroris internasional ini.”

Draper menjawab Sharon, “Kami tidak tertarik untuk menyelamatkan orang-orang ini.”

Sharon lalu bersumpah, “Jika kalian tidak ingin orang Libanon yang membunuh mereka (orang Palestina), maka kami yang akan membunuh mereka.”

Percakapan lain yang mengejutkan adalah bahwa Amerika Serikat sudah menyiapkan “jalan keluar” bagi Organisasi Pembebasan Palestina PLO untuk keluar dari Beirut sebelum pembantaian itu terjadi.

“Jadi tidak perlu kalian (Israel) masuk (ke Beirut),” kata Draper. “Kalian harus tetap di luar,” imbuhnya.

Tetapi Sharon justru menjawab, “Jika itu berhubungan dengan keamanan kami, kami tidak pernah memintanya. Kami tidak akan pernah memintanya. Jika ini menyangkut eksistensi dan keamanan, maka ini adalah tanggungjawab kami sendiri dan kami tidak akan pernah memberikannya kepada siapapun untuk memutuskannya.”

Pertemuan pejabat Amerika Serikat dan Israel itu pun akhirnya berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan koordinasi jadwal penarikan pasukan setelah tahun baru Yahudi Rosh Hashana.

Pada 18 September 1982 presiden Amerika Serikat ketika itu, Ronald Reagen, mengumumkan “kemarahan dan kejijikannya terhadap pembunuhan tersebut.”

Menteri Luar Negeri George P. Shultz kemudian mengakui bahwa Amerika Serikat sebagian bertanggungjawab atas peristiwa berdarah itu, karena “kami membiarkan Israel dan Libanon melaksanakan ucapannya … Sekarang kami mendapatkan pembantaian ini.”

Cuplikan dokumen di atas menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak berusaha mencegah pembunuhan atas rakyat Palestina yang mengungsi di Libanon ketika itu. Bahkan pejabat AS menyatakan bahwa negaranya tidak tertarik untuk menyelamatkan orang-orang Palestina yang akan dibunuh Libanon atau Israel.

Setelah pembantaian itu terjadi, Amerika Serikat baru kemudian mengirimkan anggota marinirnya ke Libanon. Tetapi sebagian dari mereka tewas akibat bom yang menghantam baraknya.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menolak memberikan komentar, saat stasiun televisi Al Arabiya edisi bahasa Inggris mengontaknya.*

Rep: Ama Farah
Red: Dija


latestnews

View Full Version