Senin, 14 Januari 2013
Hidayatullah.com--Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, banyak orang yang lebih tahan terhadap gratifikasi uang, dibandingkan gratifikasi seksual.
"Itu fakta, gratifikasi seksual itu kadangkala lebih dahsyat daripada gratifikasi uang. Itu ada banyak," kata Mahfud di Menara Bidakara, Jakarta, Minggu (13/01/2013).
Ia melanjutkan, banyak orang yang kebal dengan uang tapi tidak kebal dengan tawaran seksual. Pada masa orde baru, kalau ada pejabat melakukan pemeriksaan ke daerah, yang disediakan sajian seksual.
"Nah sekarang banyak sekali orang kuat terhadap korupsi. Tapi meminta perempuan nakal atau wanita simpanan. Banyak yang laporan ke saya sebagai fakta," jelasnya, seperti diberitakan Waspada.
Mahfud mengatakan, untuk perihal tersebut belum ada aturan Undang-Undang, karena masih dalam pembahasan diskusi-diskusi tentang tindak pidananya.
"Sekarang rumusan tindak pidana itu susah. Kalau tindak pidana asusila bisa, tapi kan pidananya asusila kecil. Kalau mau ditindak pidana penyuapannya, penyuapan itu biasanya materiil," jelasnya lagi.
Saat ini masih didebatkan bagaimana menghukum orang yang menerima gratifikasi seksual, sebagai tindak pidana bukan sekedar asusila. Sebab hal tersebut bisa terjadi di dalam tugas, sehingga harus dimasukan dalam tindak pidana.
"Menurut saya (tindak pidana gratifikasi seksual) perlu, karena dalam faktanya, ada yang tidak mau terima suap uang, takut melakukan pelanggaran, tapi tidak takut melanggar kalau minta perempuan 'nakal'. Itu banyak sekali," tandasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera membuat aturan tentang gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual. Kalau perlu, aturan itu bahkan dibuat dalam bentuk UU.
"Gratifikasi seks bisa dijerat dengan kasus korupsi karena seks masuk kategori pemberian. Bisa diukur dengan uang, karena seks tidak ada yang gratisan," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho.
Sejauh ini, Emerson mengakui, belum ada aturan yang jelas mengenai batasan gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual tersebut. Karena itu, rekomendasi UNCAC terhadap pasal gratifikasi harus lebih disempurnakan lagi karena gratifikasi tidak harus dalam bentuk uang tunai, tetapi juga dalam bentuk lain, seperti potongan harga ataupun kesenangan.
Indonesia, menurut Emerson, dalam hal ini dapat belajar dari Singapura yang mulai menerapkan hukuman untuk pemberian gratifikasi berupa pelayanan seks.
"Intinya gratfikasi seks harus jadi perhatian KPK, karena kalau menunggu DPR agar dibuat dulu Undang-undangnya tidak akan bisa diharapkan, karena siapa tahu mereka pelakunya," demikian Emerson.*
Rep: Insan Kamil
Red: Syaiful Irwan