Jika terjadi gerhana bulan atau matahari disunnahkan mengumandangkan ash-shalah al-jaami'ah (اَلصَّلاةُ الْجَامِعَةُ) "mari shalat berjama'ah".
Dari Abdullah bin 'Amr radliyallah 'anhu, dia mengatakan, "ketika terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka diserukanlah:إِنَّ الصَّلاةَ جَامِعَةٌ "sesungguhnya shalat ini dilakukan secara berjama'ah."
Jika orang sudah berkumpul di masjid, maka imam shalat dua rakaat bersama mereka (berjama'ah), sebgaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
Dari 'Aisyah radliyallah 'anha, dia berkata, "pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah terjadi gerhana matahari. Lalu beliau pergi ke masjid dan orang-orang pun berbaris di belakang beliau, kemudian beliau bertakbir. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaca bacaan (surat) yang panjang. Lantas bertakbir dan melakukan ruku' dengan panjang. Kemudian beliau mengucap, سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ , lalu bangkit dan tidak melakukan sujud. Kemudian beliau membaca bacaan yang panjang, namun tidak sepanjang bacaan pertama. Kemudian bertakbir lalu melakukan ruku' dengan ruku' yang panjang, namun tidak sepanjang ruku' pertama. Setelah itu beliau mengucap: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ kemudian beliau sujud.
Pada rakaat kedua, beliau melakukan seperti pada rakaat pertama. Hingga beliau juga melakukan empat ruku' dalam empat sujud dan matahari pun telah tampak kembali sebelum beliau selesai." (HR. Muttafaq 'Alaih)
Khutbah Sesudah Shalat
Jika imam selesai salam, disunnahkan baginya berkhutbah di hadapan jama'ah. Menasihati mereka, mengingatkan, dan mendorong mereka untuk berbuat amal shalih.
Dari 'Aisyah radliyallah 'anha, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat pada hari di mana terjadi gerhana matahari. . . kemudian dia menyebutkan tatacara shalat tersebut. Lalu melanjutkan, "kemudian beliau salam, sedangkan matahari telah tampak kembali. Beliau lantas berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau mengatakan bahwa gerhana matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah gerhana itu terjadi karena mati atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka bergegaslah untuk shalat." (HR. Muttafaq 'Alaih)
Dari Asma' radliyallah 'anha, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh membebaskan budak pada saat terjadi gerhana matahari." (HR. Muttafaq 'Alaih)
Dari Abu Musa radliyallah 'anhu, dia berkata: "ketika terjadi gerhana matahari, tiba-tiba Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dengan terkejut. Beliau khawatir jika hari itu terjadi kiamat. Beliau mendatangi masjid kemudian mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku', dan sujud yang terpanjang yang pernah aku lihat. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam lantas berkhutbah, "ini adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan oleh-Nya. Bukan lantaran mati atau lahirnya seseorang. Namun, dengan peristiwa itu Allah ingin mempertakutkan hamba-Nya. Jika kalian melihat hal itu terjadi, maka bersegeralah untuk mengingat Allah, berdoa, beristighfar kepada-Nya." (HR. Muttafaq 'Alaih)
Pengertian secara lahiriah dari sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam, "maka bersegeralah . . . . dan seterusnya," menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut. Jadi, hukum shalat gerhana adalah fardlu kifayah. Sebagaimana dikatakan Abu 'Awanah dalam kitab shahihnya (II/398), "penjelasan tentang wajibnya shalat gerhana." Kemudian beliau menyebutkan beberapa hadits shahih tentang masalah tersebut. Hal itu juga tampak dilakukan Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya. Dia berkata (II/38), "Bab perintah shalat ketika terjadi gerhana matahari dan bulan . . ." lalu dia menyebutkan sejumlah hadits berkenaan dengan masalah tersebut.
Al-Hafidz rahimahullah berkata dalam Fat-hul Baari (II/527), "pendapat jumhur menyebut bahwa ia adalah sunnah mu'akkadah. Abu 'Awanah rahimahullah menyatakannya dalam kitab shahihnya sebagai sesuatu yang wajib. Dan saya tidak menjumpai pendapat seperti itu pada ulama selainnya. Hanya saja, apa yang diriwayatkan dari Malik rahimahullah, bahwa beliau memperlakukannya sebagaimana shalat Jum'at. Dan az-Zain bin Munir menukil dari Abu Hanifah bahwa dia mewajibkannya. Begitu pula beberapa pengarang kitab madzhab Hanafiyyah. Mereka menyatakannya sebagai hal yang wajib." (Tamamul Minnah –hal. 261- dengan sedikit pengubahan)