View Full Version
Selasa, 01 Sep 2009

25 Fatawa Ramadhan Bagi Muslimah (3)

Puasa Wanita Hamil dan Menyusui

Soal (18) : Apa yang yang harus dilakukan oleh wanita hamil atau menyusui ketika mereka tidak berpuasa di bulan Ramadlan?

Jawab : Wanita hamil dan menyusui tidak boleh berbuka (tidak berpuasa) di siang Ramadlan kecuali adanya udzur (halangan). Jika mereka tidak berpuasa karena udzur, mereka harus mengqadla' puasanya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184) keduanya termasuk kategori sakit.

Jika udzur keduanya khawatir terhadap bayinya, bagi mereka qadla' dan memberi makan satu orang miskin untuk satu hari yang ditinggalkannya, berupa gandum, beras, kurma, atau yang lainnya dari makanan pokok. Sebagian ulama berpendapat, tidak ada kewajiban bagi keduanya kecuali hanya qadla' dalam kondisi apapun, karena kewajiban memberi makan (fidyah) tidak ada satu dalilpun dari al-Kitab dan as-Sunnah. Asal hukum adalah lepas dari tuntutan sehingga adanya dalil yang membebaninya. Ini pendapat madzhab Abu Hanifah, pendapat yang kuat. (Ibnu Utsaimin: Fatawa Islamiyyah)

 

Soal (19) : Saya hamil di bulan Ramadlan maka saya tak puasa. Sebagai gantinya, saya berpuasa sebulan penuh dan bersedekah. Kemudian saya hamil lagi yang kedua di bulan Ramadlan, maka saya tak puasa. Sebagai gantinya, saya berpuasa sebulan, sehari demi sehari, selama dua bulan dan saya tak bersedekah. Apakah dalam hal ini diwajibkan bagi saya untuk bersedekah?

Jawab : Jika wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa, lalu ia berbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadla' puasa. Keadaannya saat itu seperti keadaan orang sakit yang tidak kuat puasa atau seperti orang yang khawatir dirinya mendapat bahaya jika tetap berpuasa. Allah Ta'ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184). (Fatawa Lajnah Daimah)

 

Soal (20) : Wanita hamil atau menyusui, jika khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya pada bulan Ramadlan, lalu berbuka, apa konsekuensinya? Apa ia berbuka, memberi makan dan mengqadla'? Atau berbuka, mengqadla', dan tak usah memberi makan? Atau berbuka, memberi makan dan tak perlu qadla'? mana yang benar dari ketiga hal ini?

Jawab : Jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya atau janinnya bila tetap berpuasa Ramadlan, dia boleh berbuka. Wajib atasnya qadla' saja, kondisinya saat itu seperti kondisi orang yang tak kuat puasa atau khawatir terjadi apa-apa pada dirinya. Allah Ta'ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184).

Begitu juga wanita yang sedang menyusui, jika khawatir terhadap dirinya bila menyusui anaknya di siang Ramadlan, atau khawatir terhadap anaknya jika ia tetap puasa dan tidak menyusuinya, dia berbuka dan wajib baginya qadla' saja. Wa billahi at taufiq. (Fatawa Islamiyyah: Lajnah Daimah)

 

Soal (21) : Seorang wanita melahirkan pada bulan Ramadlan, belum mengqadla' (mengganti)-nya sesudah Ramadlan karena khawatir terhadap anak yang disusuinya, kemudian hamil lagi dan punya anak lagi di Ramadlan berikutnya, apa boleh dia membagikan uang sebagai pengganti puasa?

Jawab : Kewajiban bagi wanita ini adalah berpuasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkannya di bulan Ramadlan walau sesudah Ramadlan yang kedua. Karena dia meninggalkan qadla' pertama dan kedua disebabkan adanya udzur (panghalang syar'i). Saya tidak mengetahui apakah dia merasa payah untuk puasa pada musim paceklik sehari demi sehari jika masih menyusui. Sesungguhnya Allah akan memberikan kekuatan untuknya, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap dirinya dan susunya. Hendaknya dia bersungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya untuk mengqadla' Ramadlan yang telah lalu sebelum datang Ramadlan yang kedua. Jika dia tidak berhasil menyelesaikannya, tidak apa-apa dia mengakhirkan sampai Ramadlan yang ke dua. (Ibnu Utsaimin: Fatawa Islamiyyah)

Qadla' Ramadlan

Soal (22) : Apa hukum mengakhirkan qadla' puasa hingga sesudah Ramadlan baru?

Jawab : Siapa yang berbuka (tidak puasa) pada bulan Ramadlan karena safar, sakit, atau semisalnya, maka dia wajib mengqadla'nya sebelum datang Ramadlan berikutnya. Antara dua Ramadlan adalah kesempatan yang lapang dari Rabb kita. Jika ia mengakhirkannya hingga datang Ramadlan berikutnya maka ia wajib qadla' dan memberi makan seorang miskin dari setiap harinya, sebagaimana yang difatwakan oleh sebagian sahabat Nabi SAW. Memberi makan : setengah sha' dari makanan pokok suatu negeri, yaitu sekitar 1,5 Kg kurma, beras, atau lainnya. Jika mengqadla sebelum Ramadlan berikutnya tidak ada tanggungan memberi makan (fidyah). (Syaikh Ibnu Baaz)

 

Soal (23): Saya seorang gadis yang terpaksa berbuka 6 hari dari bulan Ramadlan dengan sengaja disebabkan kondisi ujian. Ujian dimulai pada bulan Ramadlan. Materinya sangat sulit. Kalau aku tidak berbuka tak mungkin bisa konsentrasi belajar, materi ujiannya karena sangat sulit. Saya mohon nasehat, apa yang harus kulakukan supaya Allah mengampuniku, Jazakumullah khairan?

Jawab : Kamu harus bertaubat dari semua itu dan mengqadla' (mengganti) hari-hari yang engkau tinggalkan (tidak puasa) tadi. Allah akan mengampuni orang bertaubat kepada-Nya. Dan hakikat taubat yang dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan adalah meninggalkan dosa karena mengagungkan Allah SWT, takut akan siksa-Nya, menyesali apa yang telah dilakukannya, dan tekad yang benar untuk tidak mengulanginya. Jika maksiat itu berupa kedzaliman terhadap sesama hamba kesempurnaan taubat dengan meminta kehalalan dari hak mereka. Allah Ta'ala berfirman :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (QS. An-Nuur: 31)

 

Soal (24) : Saya seorang wanita yang sakit. Pada Ramadlan yang lalu saya tak berpuasa. Karena sakit yang saya alami, saya tak bisa mengqadla'nya, apa yang harus saya lakukan sebagai kaffarah-nya? Kemudian, saya juga tak mampu berpuasa Ramadlan tahun ini, apa yang harus saya lakukan sebagai kaffarah-nya?

Jawab : Orang sakit yang menyebabkan sulit  baginya untuk berpuasa disyari'atkan untuk tak berpuasa. Jika Allah memberinya kesembuhan, dia harus mengqadla' puasanya itu berdasarkan firman Allah :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)

Dan Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadlan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit. Karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah bagi orang yang sakit serta orang yang musafir. Dan Allah suka jika rukhshah-Nya itu dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadla' puasa, semoga Allah memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat. (Fatawa Shiyam : Syaikh Ibnu Baaz)

 

Soal (25) : Istri saya sakit di bulan Ramadlan yang lalu. Dia bisa berpuasa 22 hari. Setalah itu penyakitnya semakin parah sehingga dia tak mampu menyempurnakan puasanya yang 8 hari terakhir. Kemudian dia meninggal dunia beberapa hari sesudah bulan Ramadlan. Apa yang harus kami lakukan untuk sisa harinya itu?

Jawab : Wanita yang mengalami sakit di bulan Ramadlan ini dan meninggalkan puasa karena sakit, lalu penyakitnya bertambah parah hingga ia wafat, maka tidak ada sesuatu apapun yang dikenakan padanya. Sebab puasa yang dia tinggalkan bukan karena kelalaian. Begitu juga qadla yang dia tinggalkan juga bukan karena kelalaian. Sakit yang dideritanya menjadi dinding pembatas antara dirinya dengan puasa, maka tiada kewajiban apapun baginya dalam itu berdasarkan firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 186) (Fatawa Lajnah Daimah)


latestnews

View Full Version