Itikaf merupakan amalan yang disyariatkan dalam Islam terutama disepuluh malam terakhir dibulan Ramadhan.
Kita dianjurkan untuk lebih bersungguh-sungguh meningkatkan amal ibadah di waktu tersebut dan itu tidak dapat dilakukan dengan sempurna kecuali dengan mengurangi makan minum yang berlebihan, tidur yang berlebihan, pembicaraan yang berlebihan, serta pergaulan dengan manusia yang berlebihan, sehingga kita dapat memusatkan perhatian dalam ibadah, taqarrub dan munajat kita dengan Allah Ta’ala. Dari inilah disyariatkan itikaf yang tujuannya pemusatan penghadapan diri kita kepada Allah Ta’ala di bulan Ramadhan.
Itikaf hukumnya sunah bagi laki-laki menurut ijma' ulama maupun bagi perempuan menurut jumhur ulama berdasarkan hadits riwayat Aisyah radhiallahu anha :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله عز وجل ثم اعتكف أزواجه من بعده . رواه البخاري ( 1921 ) ومسلم ( 1171 )
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beritikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat kemudian istri-istri beliau melanjutkan itikaf. (HR Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas menunjukkan kalau wanitapun disyariatkan untuk itikaf sebagaimana istri-istri beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam beritikaf setelah beliau wafat.
Namun itikaf bagi wanita disyaratkan dalam keadaan suci dari haidh maupun nifas menurut pendapat jumhur ulama.
Begitu pula disyaratkan mendapat izin suaminya karena itikaf hukumnya sunah sedangkan tinggal bersama suami untuk melayaninya adalah wajib maka perlu izin dari suami.
Disyaratkan juga aman dari fitnah maka tidak sah itikaf wanita di sebuah masjid yang tidak ada tempat khusus bagi wanita karena menyebabkan ikhtilat yang mendatangkan kemungkaran, sebagaimana maklum bahwa kaidah menghindarkan dari kerusakan didahulukan dari mendatangkan maslahat. Wallahu a’lam
(Abu Roidah, Lc / voa-islam.com)