Setiap lewat jalan Jarak Surabaya yang lebih terkenal dengan nama kawasan Dolly, hati ini miris. Para perempuan berpakaian minim banyak berseliweran di jalan-jalan atau pun di wisma-wisma yang transparan disana. Karena kawasan itu adalah jalan pintas dengan tingkat kemacetan tinggi, tak jarang ‘transaksi’ itu tertangkap mata dan telinga.
Namun, semua pemandangan tersebut sirna ketika Ramadhan tiba. Semua wisma bertuliskan TUTUP dan biasanya ditulis dengan huruf yang menyolok mata. Tapi yang membuat prihatin adalah kelanjutan dari kata ‘tutup’ itu tadi yaitu ‘selama Ramadhan’. Mengapa hanya di bulan Ramadhan saja?
Saya pun berandai-andai, seandainya kata tutup itu diikuti kata ‘selamanya’ alangkah indahnya. Andai tutup itu permanent ada disana, dan tak pernah ada lagi lokalisasi yang begitu terkenal hingga mancanegara, sungguh tenangnya. Perempuan-perempuan itu dibina untuk kembali menjalani hidup normal, laki-laki hidung belang dan para mucikari pun diarahkan agar kembali ke jalan yang benar. Bisakah?
Mengapa Ramadhan?
Ya, itu pertanyaan yang seharusnya ada pada setiap diri kita. Mengapa hanya Ramadhan, tempat-tempat maksiat tutup? Karena segera setelah Ramadhan berakhir, tempat-tempat itu buka seperti sedia kala bahkan dengan bernafas sangat lega karena Ramadhan akhirnya pergi juga. Seolah-olah Ramadhan adalah penjara dan pengekang kebebasan mereka.
Mengapa hanya Ramadhan, tempat-tempat maksiat tutup? Karena segera setelah Ramadhan berakhir, tempat-tempat itu buka seperti sedia kala bahkan dengan bernafas sangat lega karena Ramadhan akhirnya pergi
Makna Ramadhan sebagai latihan pengendalian diri seakan tak ada artinya lagi. Bahkan tutupnya tempat maksiat selama Ramadhan banyak dikritisi oleh pihak pro maksiat sebagai kebijakan yang tidak adil. Oke, saya setuju kebijakan ini tak adil tapi dengan alasan yang berbeda.
Bila mereka yang pro maksiat beralasan bahwa makan apa mereka yang berkecimpung di dunia hitam bila Ramadhan tutup, maka saya sebaliknya. Bila Ramadhan tutup saja mereka masih bisa hidup dan bernafas, maka di luar bulan Ramadhan pun seharusnya tempat maksiat tersebut tetap tutup dan yakinlah bahwa mereka juga masih akan tetap hidup kecuali memang ajal telah tiba.
Mengapa Ramadhan? Tak ada yang salah dengan bulan suci ini. Bila pun terpaksa ada yang salah, mengapa Ramadhan hanya satu bulan saja? Seharusnya seluruh bulan adalah Ramadhan sehingga tak ada lagi kesempatan bagi lokalisasi dan tempat maksiat untuk tumbuh dan berkembang. Mungkinkah?
Ramadhan memang diciptakan Allah sekali saja dalam setahun di antara 11 bulan lainnya. Tapi meskipun cuma sekali, bukan berarti lantas kita boleh bermaksiat dan berbuat dosa di bulan lainnya, kemudian bertobat dan berlagak suci ketika Ramadhan datang. Bukan itu maksud datangnya Ramadhan.
Ramadhan hadir adalah sebagai titik awal bagi manusia. Yang namanya titik awal, maka berarti ada lanjutannya. Seluruh amal dan ibadah di bulan Ramadhan, hendaknya tak berhenti ketika bulan berganti. Bila begitu kondisinya, lantas apa bedanya kita dengan orang-orang munafik? Orang-orang munafik itu apabila di depan orang mukmin, mereka berpura-pura beriman. Tapi ketika di belakang, mereka pun menusuk tanpa perasaan. Persis dengan buka tutupnya lokalisasi yang hanya di bulan Ramadhan saja.
Lalu bagaimana?
Tak ada satu masyarakat normal yang bangga ketika daerahnya menjadi terkenal karena bisnis esek-esek. Dan ketika kota Surabaya terkenal karena Dolly dan bisnis lokalisasi di mancanegara, sungguh terlalu. Meningkatnya jumlah wisatawan karena iming-iming bisnis ini, saja saja dengan merendahkan harkat dan martabat diri sendiri. Hal yang hampir mirip dengan menjual tubuh molek kontestan Indonesia di ajang Miss Universe dengan alasan sebagai daya tarik wisata.
Kembali pada momen Ramadhan. Bulan suci ini seharusnya menjadikan semua kembali ke fitroh di penghujungnya. Fitroh adalah ibarat seorang bayi mungil yang bari lahir dan belum kenal dosa. Fitroh adalah kembali kepada harkat diri kemanusiaan manusia sebagai hamba Allah. Fitroh adalah kembali kepada ketundukan terhadap syariat-Nya setelah sekian lama membangkang dengan sok tahu merasa tahu untuk mengatur dirinya sendiri.
Ternyata, dengan kebijakannya, pemerintah berhasil memaksa para cukong dan mafia bisnis esek-esek untuk tutup di bulan Ramadhan. Bahkan tak jarang, polisi melakukan razia atau sidak bagi pelaku yang membangkang buka di bulan Ramadhan. Ini artinya sangat mudah bagi pemerintah untuk menutup bisnis semacam ini. Bila pada bulan Ramadhan saja bisa, seharusnya di bulan lain juga pasti bisa. Hanya dibutuhkan itikad baik saja untuk menjadikan semua ini menjadi nyata.
Khatimah
Saya teringat sebuah riwayat yang menceritakan bagaimana sedihnya Rasulullah ketika akan berpisah dengan Ramadhan. Padahal saat itu, Rasulullah dikelilingi oleh para sahabat yang setia terhadap Islam dan kehidupan pun diatur dengan Islam pula. Rasulullah sedih karena bulan penuh ampunan dan rahmat dari Allah akan segera berlalu.
Sungguh tak bisa dibayangkan, kesedihan yang tentu akan berlipat ganda apabila beliau tahu bahwa berlalunya Ramadhan saat ini itu sama artinya dengan berlalunya kebaikan.
Sungguh tak bisa dibayangkan, kesedihan yang tentu akan berlipat ganda apabila beliau tahu bahwa berlalunya Ramadhan saat ini itu sama artinya dengan berlalunya kebaikan. Berakhirnya Ramadhan adalah awal bukanya kembali tempat-tempat maksiat plus para penggiat di dalamnya. Usainya Ramadhan adalah usai pula SK tentang keharusan tutup bagi tempat-tenpat tersebut. Tak ada lagi kewajiban polisi untuk menggerebek atau merazia karena tempat-tempat tersebut umumnya mempunyai izin praktek. Bahkan, negara pun diuntungkan dari pajak yang mengalir deras dari kegiatan esek-esek tersebut. Naudzhubillah.
Kesedihan kami, kaum muslimin yang berusaha meraih predikat muttaqin selama Ramadhan semakin mendalam. Kesalehan kami hanya sebatas individu. Masyarakat kami masih acuh tak acuh apalagi negara kami. Dan sungguh, semakin Ramadhan di penghujung semakin risau dan sedih diri ini. Sebelas bulan berikutnya, sajian maksiat beroperasi legal dan saya pun kembali ‘menikmati’ sajian legal tersebut di tengah kemacetan jalan. Duh…Ramadhan, andai semua bulan seperti dirimu.
(Ria Fariana, medio penghujung Ramadhan 2009)