Oleh: Badrul Tamam
Bersiwak termasuk sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentangnya dan anjuran melaksanakannya. Dan terdapat beberapa hadits yang menunjukkan anjuran bersiwak ini, di antaranya hadits ‘Aisyah radhiyallaahu 'anha, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
اَلسِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak dapat membersihkan bau mulut dan mendatangkan keridlaan Allah.” (HR. Al-Nasai dan Ahmad. Imam al-Bukhari juga menyebutkannya dalam Shahihnya secara ta’liq dengan bentuk memastikan keabsahannya).
Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Kalau saja aku tidak khawatir memberatkan umatku, niscaya telah aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap kali shalat.”
Bersiwak termasuk sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentangnya dan anjuran melaksanakannya.
Namun demikian, di tengah-tengah umat, bersiwak ini malah menjadi masalah, cibiran dan omongan. Sebabnya, sebagian orang yang mengamalkan sunnah bersiwak melakukannya sebelum shalat berjamaah atau di majelis-majelis yang berada tengah-tengah kerumunan orang banyak dengan terang-terangan. Sehingga sebagian orang merasa jijik dengan perbuatan tersebut dan tidak nyaman berdekatan dengannya.
Karenanya perlu kiranya kita mengetahui bagaimana Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersiwak, di depan manusia sehingga mereka bisa melihatnya ataukah beliau sengaja menutupinya dari pandangan orang karena takut membuat mereka tidak nyaman? Lalu kemudian bagaimana hukum bersiwak di depan umum yang bisa dilihat oleh orang banyak?
Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih menuliskan persoalan ini dalam situs Thariq Islam, bahwa pendapat para ulama tentang bersiwak di hadapan orang banyak terbagi menjadi dua bagian:
Pendapat Pertama, bersiwak disunnahkan dalam segala kondisi, baik di hadapan orang ataupun tidak. Inilah pendapat Jumhur ulama. Pendapat ini diperkuat dengan alasan bahwa tampat yang paling utama dianjurkan bersiwak saat shalat sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Abu Hurairah di atas, di mana Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Kalau saja aku tidak khawatir memberatkan atas umatku atau atas manusia, niscaya telah aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap kali shalat.” Hadits ini mencakup seluruh macam shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, dengan berjamaah atau sendirian.
Pendapat ini juga dikuatkan dengan hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau pernah bersiwak di hadapan sahabatnya. Imam Al-Bukhari (244) dan Muslim (254) meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu 'anhu yang berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dan aku dapati beliau sedang bersiwak dengan tangannya, beliau berkata, “Uk, uk” sedangkan siwak masih berada di mulut beliau yang seolah-olah beliau mau muntah.” (Beliau sampai seperti muntah karena benar-benar dalam bersiwak.
Demikian tadi bersiwaknya beliau shallallaahu 'alaihi wasallam di hadapan manusia, sampai-sampai sebagian ulama membuat bab berdasarkan pelaksanaan beliau di atas, “Bab Bersiwaknya Imam di hadapan rakyatnya.” Al-Hafidz Ibnul Hajar dalam syarh hadits ini mengatakan, “Di dalamnya terdapat anjuran untuk bersiwak, dan bahwa bersiwak tidak khusus untuk gigi. Bersiwak termasuk dari bab pembersihan dan pengharum, bukan saja untuk menghilangkan kotoran. Hal ini berdasarkan keadaan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang tidak bersembunyi (saat bersiwak) dan juga karena mereka membaut bab atasnya, “Bersiwaknya imam di hadapan rakyat.” (Fath al-Baari: 1/356)
Ibnu Daqiq al-‘Ied berkata, “Para fuqaha telah menyebutkan makna ini dalam banyak tempat, dan dia itu yang mereka namakan dengan muru’ah (kehormatan). Dan disebutkan hadits ini untuk menjelaskan bahwa bersiwak bukan termasuk sesuatu yang harus ditutupi (disembunyikan) dan ditinggalkan seorang pemimpin di hadapan rakyat, (bersiwak) termasuk dari bab ibadat dan qurubaat, wallahu a’lam.” (Al-Ihkam: 1/111)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Syarah Riyadhus Shalihin juga berpendapat demikian. Beliau bempendapat, boleh bersiwak di depan orang banyak. Hal ini bukan perbuatan yang menjauhkan kepribadian atau yang lainnya. (Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, Pustaka Imam al-syafi’i: IV/35)
Pendapat Jumhur: Bersiwak disunnahkan dalam segala kondisi, baik di hadapan orang ataupun tidak.
Pendapat kedua, tidak disunnahkan bersiwak di hadapan orang banyak. Ini merupakan pendapat imam Malik dan menjadi pendapat madhabnya. Dari sini, beliau berpendapat, tidak boleh bersiwak di masjid karena bersiwak termasuk bab menghilangkan kotoran-kotoran dan juga menghilangkan (menurunkan) harga diri di hadapan mereka sebagaimana telah dinukil dari al-Fudhail bin ‘Iyadh.
Tidak diragukan lagi bahwa sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah menolak dan membatalkan pendapat ini, sebagaimana hadist-hadits di depan.
Namun jika orang yang bersiwak menganggap perbuatannya sebagai sesuatu yang kotor atau malu kalau di lakukan di depan orang banyak,atau khawatir mereka merasa tidak nyaman karena melihat bersiwak dengan cara itu maka lebih baik dia menjauh.
Sesungguhnya asal dari bersiwak bukan perkara yang kotor dan menjijikkan yang harus dijauhkan dari hadapan manusia, tapi bersiwak merupakan bagian dari bersuci yang telah dinampakkan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Amal ini masih tetap berlaku di tengah-tengah umat. Namun jika orang yang bersiwak menganggap perbuatannya sebagai sesuatu yang kotor atau malu kalau di lakukan di depan orang banyak, atau khawatir mereka merasa tidak nyaman karena melihat bersiwak dengan cara itu, maka lebih baik dia menjauh. Hal ini dikuatkan oleh keterangan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (3/353) yang menjelaskan hadits Abu Musa al-Asy’ari yang lalu dengan perkataannya, “Bab yang menyebutkan bolehnya imam bersiwak di hadapan rakyat jika tidak menyakiti mereka (membuat mereka tidak enak) dengannya.” Wallahu a’lam.