Oleh: Badrul Tamam dan Abu Raidah
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Malam ini, kamis (16/6/11) dini hari diperkirakan akan ada gerhana bulan total selama 3 jam 20 menit, yakni dari pukul 01.22 WIB - 05.02 WIB. Masyarakat Indonesia memiliki peluang besar untuk bisa menyaksikan fenomena alam yang menjadi bagian dari tanda kebesaran Allah sang pencipta, dengan mata telanjang, jika suasana tetap cerah. Karena itu kami mengajak untuk melaksanakan shalat gerhana.
Apa itu Shalat Gerhana?
Shalat gerhana adalah shalat yang dilaksanakan ketika terjadi gerhana matahari atau bulan. Seringnya, untuk gerhana matahari diistilahkan dengan shalat kusuf, sedangkan untuk gerhana bulan dengan shalat khusuf. Namun terkadang kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama. Artinya kusuf bisa digunakan untuk gerhana matahari dan bulan, begitu juga khusuf.
Fenomena gerhana merupakan dua tanda di antara tanda kebesaran Allah. Terjadi bukan karena lahirnya seseorang, sembuh dari sakit parahnya, atau karena kematiannya. Namun keduanya terjadi semata-mata karena kehendak Allah untuk menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya dan untuk menakut-nakuti hamba-Nya.
Fenomena gerhana merupakan dua tanda di antara tanda kebesaran Allah. Terjadi bukan karena kematian lahirnya seseorang, sembuh dari sakit parahnya, atau karena kematiannya.
Diriwayatkan dari Al Mughirah bin Syu'bah radliyallah 'anhu berkata: "Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim (putra beliau). Lalu orang-orang berkata, "terjadinya gerhana matahari karena kematian Ibrahim." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اَلشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اَللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ, فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا, فَادْعُوا اَللَّهَ وَصَلُّوا, حَتَّى تَنْكَشِفَ
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Maka jika kalian melihatnya bersegeralah berdoa kepada Allah dan shalat sehingga kembali terang." (Muttafaq 'alaih)
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهِمَا عِبَادَهُ
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Tapi, Allah Ta'ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan keduanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Terjadinya gerhana menjadi sebab turunnya adzab kepada manusia. Dan Allah hanya akan menakut-nakuti hamba-Nya dengan sesuatu ketika mereka durhaka kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang bisa menghilangkan rasa takut dan mencegah turunnya musibah, yaitu beristighfar, berdzikir, bertakbir, bershadaqah, membebaskan budak, dan shalat gerhana.
Terjadinya gerhana menjadi sebab turunnya adzab kepada manusia. Dan Allah hanya akan menakut-nakuti hamba-Nya dengan sesuatu ketika mereka durhaka kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.
Bersegera melakukan shalat ketika melihat gerhana
Tidak semua tanda-tanda kebesaran Allah yang dinampakkan di muka bumi disikapi dengan shalat. Berbeda dengan kejadian gerhana, karena di dalamnya terdapat sesuatu yang menimbulkan rasa takut pada diri manusia, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mendirikan shalat dengan sifat khusus. Beliau bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَقُومُوا فَصَلُّوا
"Sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian salah seorang manusia. Tapi keduanya adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah, maka jika kamu melihat keduanya segeralah berdiri lalu shalat." (Muttafaq 'Alaih)
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلَاةِ
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya. Maka jika kamu melihatnya bersegeralah melakukan shalat." (Muttafaq 'Alaih)
Hukum Shalat Gerhana
Dari penjelasan hadits di atas menunjukkan bahwa shalat kusuf atau shalat gerhana benar-benar disyariatkan. Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, wajib ataukah sunnah.
Dari penjelasan hadits di atas menunjukkan bahwa shalat kusuf atau shalat gerhana benar-benar disyariatkan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa shalah gerhana hukumnya sunnah mu'akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi shalat wajib hanya yang lima waktu saja. (Lihat: Subulus Salam: II/135)
Imam an Nawawi rahimahullah berkata, "para ulama bersepakat dalam kontek ijma' bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah." (Syarh An Nawawi 'Ala Shahih Muslim: (VI/451)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "shalat gerhana hukumnya sunnah mu'akkadah karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakannya dan memerintahkannya." (Al Mughni: III/330)
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "jumhur ulama bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu'akkadah." (Fath Al Baari: II/527)
Berbeda dengan Abu 'Awaanah, secara tegas dalam kitab Shahihnya mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib. Aku (Ibnu Hajar) tidak melihat selainnya berpendapat demikian, kecuali keterangan yang diriwayatkan dari Malik, dia memberlakukan shalat gerhana seperti halnya shalat jum'at. (Fath Al Baari: II/527)
Terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan. (Subulus Salam: II/135)
Al Allaamah As Sa'di rahimahullah berkata, "sebagian ulama berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya wajib karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan dan memerintahkannya." (Al Mukhtaraah Al Jaliyyah Min Al Masaail Al Fiqhiyyah: 73)
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata, "sebagian ulama berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya wajib, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:إِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَصَلُّوْا "Jika kalian melihat peristiwa itu, maka shalatlah."
Dalam kitab Ash Shalah, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang kuat, yaitu pendapat yang menyatakan hukumnya wajib. (Kitab Ash Shalah karya Ibnul Qayyim: 15)
DR. Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani pernah mendengar pendapat yang disampaikan oleh guru beliau, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, "shalat gerhana hukumnya sunnah mu'akkadah, namun ada juga yang mengatakan hukumnya wajib. Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat yang kuat."
Namun yang jelas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melaksanakan dan memerintahkannya. Bahkan, ketika tejadi gerhana, beliau keluar dengan tergesa-gesa seraya berseru bahwa gerhana itu terjadi untuk menakut-nakuti manusia. Beliau lalu menyampaikan khutbah yang luar biasa, bahwa surga dan neraka pernah dinampakkan kepada beliau.
Menurut Syaikh Al Qahthani, semua ini menjadi indikasi wajibnya shalat gerhana. Seandainya, shalat gerhana tidak wajib, sehinga umat manusia tidak berdosa karena meninggalkannya padahal Nabi telah memerintahkannya, niscaya hal ini perlu ditinjau kembali. (Ensiklopedi Shalat: III/16)
Bagaimana gerhana ini bisa menjadi sarana untuk menakut-nakuti manusia, sedangkan terjadinya peristiwa itu dianggap sebagai kejadian biasa? Di mana letak adanya rasa takut?
Bagi kaum muslimin yang menyaksikan kejadian gerhana tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Dan terus menerus menyibukkan dirinya dengan perdagangan masing-masing, tenggelam dalam permainan, atau sibuk dengan ladangnya. Justru inilah yang dikhawatirkan menjadi penyebab turunnya adzab dengan terjadinya gerhana, sebagaimana yang telah diingatkan dalam hadits.
Kemudian Syaikh Sa'id Al Qahthani menyimpulkan, bahwa pendapat wajibnya shalat gerhana lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah." (Ensiklopedi Shalat: III/16)
. . .bahwa pendapat wajibnya shalat gerhana lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah. . . (DR. Sa'id al Qahthani)
Tata Cara Shalat Gerhana
Sebagaimana kita mengetahui bahwa gerhana matahari dan bulan merupakan fenomena alam yang tidak seperti biasanya, maka Allah Ta’ala mensyariatkan atas kita melalui lisan Nabi-Nya yang mulia shallallahu alaihi wasallam shalat gerhana yang mungkin memiliki tata cara yang tidak lazim bagi kita yang disebut shalat kusuf atau khusuf.
Para ulama telah bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melaksanakan sholat gerhana satu kali seumur hidup. Dan secara umumnya jumlah rakaatnya dua rakaat dengan empat kali ruku'.
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang tata cara shalat gerhana di antaranya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ مُنَادِيًا الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ فَاجْتَمَعُوا وَتَقَدَّمَ فَكَبَّرَ وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
Dari Aisyah bahwa telah terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu beliau mengutus seorang untuk menyeru “Asholatu Jami'ah,” maka mereka berkumpul dan beliau maju bertakbir dan shalat dua rakaat dengan empat ruku' dan empat sujud. HR Muslim
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَأَطَالَ الْقِيَامَ جِدًّا ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ جِدًّا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَأَطَالَ الْقِيَامَ جِدًّا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ جِدًّا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ تَجَلَّتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَإِنَّهُمَا لَا يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَكَبِّرُوا وَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ إِنْ مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرَ مِنْ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا وَلَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata: telah terjadi gerhana matahari di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu beliau berdiri melaksanakan shalat dengan memanjangkan sekali berdirinya kemudian rukuk dengan memanjangkan sekali rukunya lalu bangkit dari ruku dan memanjangkan sekali berdirinya namun lebih pendek dari yang pertama kemudian rukuk dengan memanjangkan rukuknya namun kurang dari ruku' yang pertama kemudian beliau sujud kemudian beliau melakukan hal yang sama dalam rakaat kedua, kemudian beliau selesai shalat ketika matahari telah kelihatan kembali, lalu beliau berkhutbah dengan bertahmid dan memuji Allah kemudian berkata: “Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kebesaran Allah tidak akan terjadi gerhana karena kematian atau lahirnya seseorang, maka jika kalian menyaksikannya bertakbirlah dan berdoalah kepada Allah dan shalatlah dan bersedekahlah, wahai umat Muhammad tidaklah seorang pun lebih cemburu dari Allah ketika hambanya laki maupun perempuan berzina, wahai umat Muhammad seandainya kalian mengetahui apa yang aku tahu niscaya kalian banyak menangis dan sedikit tertawa ketahuilah apakah aku telah menyampaikan ?” (HR Muslim).
Dari hadits-hadits di atas ulama menyimpulkan tata cara shalat gerhana sebagai berikut:
Pertama: shalat gerhana dilaksanakan di masjid, tidak ada azan maupun iqomah sebelumnya, hanya panggilan “Asholatu Jamiah” yang dikumandangkan di pasar-pasar maupun jalan-jalan.
Kedua: bahwa shalat gerhana dua rakaat dengan empat ruku', yakni setiap rakaat dua ruku'.
Sebagian ulama mengatakan jumlah rakaatnya empat rakaat, atau enam rakaat, atau delapan rakaat, atau sepuluh rakaat.
Namun perlu dipahami bahwa gerhana hanya terjadi satu kali di zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam oleh karenanya para ulama besar mentarjihkan riwayat Aisyah yang menjelaskan bahwa shalat gerhana dua rakaat dengan empat sujud, adapun riwayat yang lain maka telah dilemahkan Imam Ahmad, Bukhari, dan Syafi’i. Demikian juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ketiga: bahwa disyariatkan memanjangkan berdiri, rukuknya dan sujudnya sehingga shalat selesai ketika gerhana berlalu. Ulama memperkirakan panjang berdirinya adalah sepanjang surat Al Baqarah. Bahwa panjang berdiri dan ruku' pada rakaat kedua lebih pendek dari yang pertama.
Keempat: bahwa shalat dimulai ketika mulai gerhana dan selesai dengan berlalunya gerhana. Namun ketika shalat selesai sedangkan gerhana masih ada, maka disunnahkan untuk berdoa dan beristigfar.
Kelima: disyariatkan setelah shalat untuk berkhutbah, namun para ulama berselisih dalam hal ini:
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah berpendapat bahwa shalat gerhana tidak ada khutbahnya.
Imam Syafi’i, Ishaq dan kebanyakan ahli hadits berpendapat bahwa khutbah hukumnya mustahab.
Yang kuat adalah tergantung keperluan, apabila diperlukan maka diadakan khutbah, sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, namun apabila tidak diperlukan, cukup dengan doa, istigfar dan shalat saja. [PurWD/voa-islam.com]