Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Animo umat Islam Indonesia –khususnya- untuk umrah di bulan Rajab sangat tinggi. Bahkan, jumlah jamaah umrah sudah melebihi kuota yang tersedia. Akibatnya, sebagian jamaah terancam tidak bisa berangkat di bulan ini. Kondisi ini tidak lepas dari keyakinan sebagian jama’ah akan keutamaan umrah di bulan Rajab. Benarkan umrah di Bulan Haram (Rajab) ini memiliki keutamaan lebih dibanding dengan bulan-bulan selainnya?
Menurut penuturan sejumlah ulama, tidak ada dalil shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menerangkan keutamaan khusus umrah di bulan Rajab. Tidak pula ada anjuran dan dorongan khusus untuk mengerjakan umrah di dalamnya. Yang ada adalah keutamaan khusus umrah di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan haji; yakni syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah.
Tidak pula ditemukan keterangan pasti bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan umrah pada bulan Rajab. Sebaliknya, ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anha mengingkari akan hal itu.
Pernah disampaikan kepada ‘Aisyah bahwa Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma berkata: "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah melakukan umrah sebanyak empat kali, salah satunya di bulan Rajab." Maka Aisyah berkata,
يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَهُوَ مَعَهُ وَمَا اعْتَمَرَ فِي رَجَبٍ قَطُّ
“Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah sepakat dengan Ibnu Umar tentang jumlah umrahnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yaitu empat kali. Namun beliau tidak sepakat dengan Ibnu Umar tentang penetapan bulan umrahnya Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Aisyah menganggap Ibnu Umar lupa, karenanya beliau Radliyallah 'Anha menyatakan bahwa Ibnu Umar senantiasa ikut serta menemani Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam umrahnya, namun beliau tidak pernah berumrah pada bulan Rajab.
Ibnul 'Aththar –murid dari Imam al-Nawawi Rahimahumallah- berkata,
ومما بلغني عن أهل مكة زادها الله شرفاً اعتياد كثرة الاعتمار في رجب , وهذا مما لا أعلم له أصلاً , بل ثبت في حديث أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : عمرة في رمضان تعدل حجة
"Kabar yang sampai kepadaku tentang penduduk Makkah (semoga Allah menambah kemuliaan Makkah) tentang kebiasaan mereka memperbanyak (menyeringkan) umrah pada bulan Rajab, dan kebiasaan ini adalah persoalan yang saya tidak mengetahui dasar (dalil)nya. Tetapi telah tetap dalam hadits bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Umrah di bulan Ramadhan menyamai haji.” (Al-Musajalah Baina Al-'Izz bin Abdissalam wa Ibnus Shalah, hal. 56.)
Sesungguhnya seorang muslim yang baik tidak akan menghususkan suatu ibadah yang diikat dengan waktu atau tempat tertentu kecuali yang telah diterangkan dan ditetapkan oleh syariat. Karenanya, sejumlah ulama mengategorikan takhsis (penghususan) bulan Rajab dengan umrah adalah salah satu bentuk Ibtida’ Fi al-Dien (Mengada-ada perkara baru dalam agama Islam).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah dalam fatawa-nya (6/131) berkata: Adapun penghususan sebagian hari dari bulan Rajab dengan beberapa amal, ziarah, dan selainnya maka tidak ada dasarnya. Al-Imam Abu Syamah dalam kitab “Al-Bida’ wa al-Hawadits” menetapkan: bahwa penghususan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu yang tidak diistimewakan oleh syariat itu tidak boleh. Karena tidak ada keutamaan satu waktu atas selainnya kecuali yang dilebihkan oleh syariat dengn satu bentuk ibadah, atau keutamaan semua amal kebaikan di dalamnya atas waktu selainnya. Karenanya, para ulama mengingkari penghususan bulan Rajab dengan memperbanyak umrah di dalamnya.”
Namun -perlu dicatat di sini- kalau seseorang pergi umrah pada bulan Rajab tanpa meyakini keutamaannya yang lebih atas umrah di selainnya maka itu tidak mengapa. Mungkin karena sempatnya atau baru terkumpul dana pada bulan ini. Maka dia akan mendapat pahala dan keutamaan umrah secara umum. Wallahu Ta’ala A’lam.
. . . sejumlah ulama mengategorikan takhsis (penghususan) bulan Rajab dengan umrah adalah salah satu bentuk Ibtida’ Fi al-Dien . . .
Nasihat Bagi Para Dai
Pada hari ini banyak dai yang melestarikan beberapa perkara bid'ah musiman, seperti bid'ah di bulan Rajab. Sebenarnya sebagian mereka tahu perkara itu tidak disyariatkan, namun dengan alasan takut orang-orang tidak sibuk dengan ibadah kalau perkara bid'ah itu ditinggalkan, maka perkara bid'ah itu terus dilestarikan. Padahal perkara bid'ah adalah dosa yang paling berbahaya sesudah syirik. Ditambah cara dakwah dan metode merubah sangat berbahaya, menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Wajib bagi seorang da'i untuk menyeru manusia hanya kepada sunnah yang tanpanya istiqamah tidak bisa tegak.
Sufyan al-Tsauri berkata, "Para Fuqaha' berkata, "Perkataan tidak bisa tegak tanpa amal. Perkataan dan amal tidak bisa tegak tanpa niat. Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa tegak kecuali sesuai dengan sunnah." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/333)
Wajib bagi mereka untuk mempelajari sunnah dan mengajarkannya serta menyeru dirinya dan orang di sekitarnya untuk menerapkannya, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Siapa yang menjalankan satu amalan (ibadah) yang tidak ada perintahnya dari kami, maka dia tertolak." (Muttafaq 'alaih)
Abul 'Aliyah pernah berkata kepada murid-muridnya, "Pelajarilah Islam, jika kalian sudah mempelajarinya jangan benci kepadanya. Dan tetaplah di atas shiratal mustaqim (jalan yang lurus), sesungguhnya shiratahl mustaqim adalah Islam. Jangan menyimpang dari shiratal mustaqim, baik ke kanan maupun ke kiri. Peganglah sunnah Nabi kalian dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini yang menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara para pelakunya." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/338)
Terakhir, para du'at hari ini dan segenap umat Islam dituntut untuk mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam semata dalam setiap perkaranya secara sempurna sebagaimana dituntut untuk mengikhlaskan amal semata-mata LILLAH TA'ALA. Hal ini menjadi syarat mutlak jika mereka mengharapkan keselamatan, keberuntungan, kemuliaan dan mendapatkan pertolongan Allah 'Azza wa Jalla. Wallahu Ta’ala A’lam. [PurWD/voa-islam.com]