Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Menempati puncak rukun Islam menjadi bukti keutamaan ibadah haji yang agung. Selain itu, haji menjadi sarana penghapus kesalahan dan ampunan atas dosa, serta sebab masuk surga. Tentunya ini bagi siapa yang mengerjakannya dengan sempurna (mabrur).
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
“Kerjakanlah secara urut antara haji dan umrah, maka keduanya menghilangkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat besi, emas dan perak. Dan tidak ada pahala untuk haji mabrur selain surga.”(HR. Al-Tirmidzi dan beliau berkata: hadits hasan gharib. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini hasan shahih)
Masih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا ، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Antara umrah yang satu dan umrah lainnya, itu akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tertera juga dalam Shahihain, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang menunaikan haji karena Allah, dia tidak berbuat rofas dan tidak melakukan kefasikan maka (diampuni dosanya) ia akan kembali seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya.”(HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu)
Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan tentang makna hadits di atas, “Apabila seseorang berhaji dan menjauhi apa-apa yang Allah haramkan, berupa rafats yaitu behubungan suami istri, fusuq yaitu menyelisihi ketaatan, dan tidak meninggalkan apa-apa yang Allah wajibkan, serta tidak melakukan apa yang Allah haramkan. Maka apabila dia menyelisihi hal ini berarti dia berbuat fusuq/fasiq. Kesimpulannya, apabila seseorang berhaji, dan tidak berbuat kefasikan dan rafats maka ia kembali dari haji dalam kondisi bersih dari dosa. Sebagaimana seseorang keluar dari perut ibunya tanpa membawa dosa, maka orang yang haji dengan memenuhi syarat ini maka dia menjadi bersih dari dosa.” (Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/21)
Mendasarkan kepada beberapa hadits di atas ada sebagian orang menyengaja untuk bermaksiat sebelum berangkat haji dengan niatan dosa-dosa yang dikerjakannya itu akan diampuni dan dihapuskan. Apakah haji yang diawali dengan perilaku-perilaku semacam ini menghantarkan kepada kemabruran?
Haji yang menghasilkan pahala besar (surga) dan ampunan dosa adalah haji yang mabrur. Haji yang pelaksanaannya benar secara niat (ikhlas) dan kaifiyat (tata cara)-nya. Oleh karenanya, ia harus luruskan niat hanya berharap pahala dari Allah dan balasan terbaik di sisi-Nya. Untuk bisa benar melaksanakan ibadah haji sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, haruslah ia memahami hukum-hukum berkaitan dengan haji, umrah, dan selainnya.
Imam al-Nawawi Rahimahullah berkata dalam Al-majmu’, “Apabila ia hendak pergi haji atau perang maka ia wajib mempelajari tatacaranya, karena tidak sah ibadah dari orang yang tidak mengetahuinya.” Kemudian beliau menganjurkan kepada orang yang hendak haji untuk membawa buku yang menerangkan secara jelas tentang manasik secara lengkap. Ia kaji dan ulang-ulangi sepanjang jalan sehingga benar-benar menguasainya. Dikhawatirkan bagi orang-orang awam yang tidak menguasai tata cara berhaji, ia tidak menyempurnakan syarat dan rukunnya sehingga hajinya menjadi tidak sah.
Imam Nawawi juga memperingatkan agar jangan mengandalkan kebanyakan orang di Makkah untuk diikuti. Khawatir dirinya tertipu karena merasa mengikuti orang-orang yang dikiranya paham tentang manasik, ternyata mereka jahil juga.
. . . Haji yang menghasilkan pahala besar (surga) dan ampunan dosa adalah haji yang mabrur. Haji yang pelaksanaannya benar secara niat (ikhlas) dan kaifiyat (tata cara)-nya. . .
Orang yang akan berangkat haji hendaknya juga segera bertaubat dari segala dosa dan kesalahan. Ia tinggalkan perbuatan dosa dan menyesalinya, serta bertekad tidak mengulangi dosa-dosa tersebut. Jika ia masih memiliki sangkutan dengan manusia, baik berupa dosa atau mengambil haknya, hendaknya ia segera minta maaf dan mengembalikan hak-hak mereka sebelum safar.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
"Barangsiapa yang pernah menzalimi saudaranya dari kehormatan atau sesuatu (miliknya) hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman itu pada hari ini, sebelum datang hari kiamat yang saat itu tidak ada manfaatnya lagi dinar dan dirham, jika ia mempunyai amal shalih maka akan diambil sekadar dengan kezalimannya, dan jika tidak memiliki kebaikan maka keburukan saudaranya akan diambil dan dibebankan kepadanya." (HR. Al-Bukhari dan lainnya)
Sumber modal hajinya juga harus diperhatikan, tidak membayar biaya haji dan perbekalannya kecuali dari jalan yang halal. Karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak menerima ibadah haji hamba-Nya kecuali dari melalui jalan halal dan baik.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sebagaimana yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: 'Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' Dan Allah juga berfirman: 'Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'" Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan dikenyangkan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do'anya?" (HR. Muslim)
Kalau kita perhatikan ayat haji di Surat Al-Baqarah: 197, kita temukan arahan Allah bagi para hujjaj agar mereka menyiapkan bekal materi dalam pelaksanaan ibadah haji supaya tidak meminta-minta dan menengadahkan tangan kepada orang. Kemudian Allah ingatkan akan bekal terbaik yang harus lebih dipersiapkan, yaitu bekal takwa. Yaitu mejadikan hari-harinya dalam ketaatan; melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Siapa yang bisa demikian maka ia akan memperoleh haji mabrur yang berbuah ampunan atas dosa-dosa dan dimasukkan surga. Bekal takwa ini yang akan menjadikan mudah urusan-urusannya, mendapat jalan keluar dari kesulitan-kesulitannya, dan menjadi sebab datangnya pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Wallahu A’lam. [PurWD/may/voa-islam.com]