View Full Version
Selasa, 14 Oct 2014

Mencium Mushaf Tidak Bid'ah

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah -Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Syaikh Bin Baaz Rahimahullah berpendapat tentang mencium mushaf, “Begitu juga mencium mushaf Al-Qur'an tidak mengapa (tidak dilarang). Tidak bisa disebut perbuatan bid’ah. Ia termasuk bab ta’dzim (pengagungan) terhadap Al-Qur'an. Dan juga bentuk cinta kepadanya.”

Kemudian beliau menukil riwayat dari Ikrimah bin Abu Jahal Radhiyallahu 'Anhu, ia mencium mushaf Al-Qur'an. Ia berkata, “ini kalam Tuhanku.”

Tetapi hal tersebut, menurut Syaikh bin Bazz, tidak disyariatkan. Karenanya meninggalkannya itu lebih utama. Namun jika ia mau menciumnya –karena pengagungan dan kecintaannya- itu tidak apa-apa. (Fatawa Nur ‘Ala al-Darbi: 26/248, dinukil dari www.binbaz.org.sa)

Beliau juga pernah ditanya tentang mencim mushaf setelah mushaf itu terjatuh dari tempat yang tinggi. Beliau menjawab, “Kami tidak mengetahui ada satu dalil yang menunjukkan disyariatkannya mencium mushaf. Tetapi kalau ada seseorang menciumnya maka tidak apa-apa. Diriwayatkan dari seorang sahabat mulia Ikrimah bin Abi Jahal Radhiyallahu 'Anhu, ia pernah mencium mushaf. Lalu beliau berkata, “Ini kalam Tuhanku.” Dalam kondisi apapun, tidak masalah mencium mushaf, tetapi perkara itu tidak diperintahkan. Tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan disyariatkannya hal itu. Akan tetapi kalau ada seseorang menciumnya sebagai ta’dzim (pengagungan), memuliakan dan menghormatinya saat ia terjatuh dari tangannya atau terjatuh dari tempat tinggi, maka, insya Allah dalam hal itu tidak apa-apa dan tidak berdosa.” (Fatawa Nuur ‘Ala al-Darb: 26/247)

Namun saat beliau ditanya tentang mencium mushaf saat akan membacanya, adakah dalil yang menerangkannya? Beliau menjawab: Tidak ada dalilnya itu. Meninggalkanya lebih utama. Diriwayatkan dari Ikrimah bin Abi Jahal Radhiyallahu 'Anhu, ia pernah mencium mushaf. Tetapi saya tidak mengetahui keshahihan riwayat itu darinya. Maka yang lebih utama meninggalkan hal itu.” Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version