JAKARTA (voa-islam.com)--Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya pada tanggal 24 Rabi’Al-Tsani 1422 H, bertepatan dengan tanggal 16 Juli 2001 M, yang membahas tentang Hukum Melaksanakan Shalat Jum’at Dua Kali dalam Satu Masjid (Tempat) karena terbatas kapasitasnya untuk menampung jamaah shalat Jum’at atau karena alasan lain, setelah:
Menimbang:
- Bahwa shalat Jum’at merupakan salah satu kewajiban agama Islam atas orang-orang pria yang beriman (mukmin), dewasa (baligh), merdeka, sehat jasmani dan ruhani, serta tidak sedang bepergian jauh (musafir). Oleh karena itu, orang-orang yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at tidak boleh meninggalkannya.
- Bahwa agar shalat Jum’at dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman meninggalkan segala bentuk perdagangan atau pekerjaan lain yang dapat menghalang-halangi atau mengganggu pelaksanaan ibadah shalat Jum’at.
- Bahwa salah satu tujuan dilaksanakannya ibadah shalat Jum’at secara berjamaah adalah untuk menghimpun umat Islam dalam satu tempat sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan khusyu’, menciptakan syiar Islam, memperkuat ukhuwah islamiyah, memperkokoh persatuan dan kesatuan umat serta menumbuhkembangkan ruh at-ta’awun karena merasa sama-sama menjadi hamba Allah yang beribadah dan mengabdi kepada-Nya.
- Bahwa untuk mewujudkan tujuan di atas, maka pada masa Rasulullah SWT shalat Jum’at hanya dilaksanakan dalam satu masjid. Kemudian sejalan dengan meningkatnya jumlah pemeluk agama Islam sehingga tidak dapat ditampung dalam satu masjid, maka shalat Jum’at dilaksanakan dalam beberapa masjid sesuai dengan kebutuhan.
Mengingat:
- Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)
- Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – 2005
- Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan:
Saran dan pendapat para ulama peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 24 Rabi’Al-Tsani 1422 H, bertepatan dengan tanggal 16 Juli 2001 M, yang membahas tentang Hukum Melaksanakan Shalat Jum’at Dua Kali dalam Satu Masjid (Tempat) karena terbatas kapasitasnya untuk menampung jamaah shalat Jum’at atau karena alasan lain.
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya memfatwakan sebagai berikut:
- Shalat Jum’at wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Islam yang berkewajiban melaksanakannya satu kali dalam satu minggu; yakni pada hari Jum’at yang waktunya sama dengan waktu shalat Dz Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Jumu’ah, ayat 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٩)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. [QS. Al-Jumu’ah,(62):9]
Demikian juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Abu Dawuddari Thariq ibn Syihab:[1] “Shalat Jum’at adalah suatu kewajiban atas setiap orang Islam yang harus dilaksanakan secara berjamaah, kecuali atas empat orang; hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang yang sedangsakit”. Demikianjuga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah, sebagai berikut:[2] “Hendaklah kaum muslimin (umat Islam) menghentikan kebiasaan mereka meninggalkan shalatJum’at, atau Allah akan menutup pintu hati mereka sehingga mereka termasuk orang-orang yang lupa (kepada Allah SWT)”. Demikian juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, dari sahabat Abu al-Ja’ad, sebagaiberikut:[3] “Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkannya, maka Allah SWT akan menutup pintu hatinya”.
- Jika memungkinkan, shalat Jum’at hanya dilaksanakan satu kali dalam satu masjid di setiap kota atau desa. Hal ini dimaksudkan untuk menghimpun umat Islam dalam satu tempat sehingga dapat melaksanakan shalat dengan khusyu’, menciptakan syiar Islam, memperkuat ukhuwah Islamiyyah, memperkokoh persatuan dan kesatuan umat serta menumbuhkembangkan ruh at-ta’awun karena merasa sama-sama menjadi hamba Allah yang beribadah dan mengabdi kepada-Nya.
- Jika tidak memungkinkan karena ada hajat (kebutuhan) seperti luasnya wilayah kota atau desa, sulitnya menghimpun umat Islam dalam satu masjid, sulitnya mempertemukan dua kelompok umat Islam yang saling bermusuhan, banyaknya jumlah jamaah Jum’at sehingga tidak dapat ditampung dalam satu masjid, jauhnya jarak antara satu wilayah pemukiman umat Islam dengan pemukinan yang lain dan sebagainya, maka shalat Jum’at dapat dilaksanakan di beberapa masjid atau bangunan sesuai dengan kebutuhan (hajat).
- Jika kaum muslimin yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at tidak dapat melaksanakannya dalam waktu bersamaan karena tugas-tugas penting yang tidak dapat ditinggalkan dan harus bergantian, maka shalat Jum’at boleh dilaksanakan dua shift, dengan syarat, waktu pelaksanaan dua shift shalat Jum’at tersebut masih dalam batas waktu Dzuhur. Semua pelaksanaan shalat Jum’at tersebut dinilai sah sehingga tidak perlu dilakukan I’adah shalat Dzuhur. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:
- Para imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) telah sepakat, bahwa shalat Jum’at tidak boleh dilaksanakan beberapa kali (ta’addud al-jumu’ah) di beberapa masjid atau bangunan lain dalam satu kota atau desa, kecuali karena ada hajat (kebutuhan) seperti luasnya wilayah kota atau desa, sulitnya menghimpun umat Islam dalam satu masjid, sulitnya mempertemukan dua kelompok umat Islam yang saling bermusuhan, banyaknya jumlah jamaah Jum’at sehingga tidak dapat ditampung dalam satu masjid, jauhnya jarak antara satu wilayah pemukiman umat Islam dengan pemukinan yang lain dan sebagainya.[4]
- Bahwa salah satu prinsip dasar disyariatkannya ajaran Islam adalah “tidak mempersulit manusia”
- Qaidah Ushuliyah yang menyatakan:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesulitan mendorong pencarian kemudahan”.*
Jakarta, 24Rabi’al-Awwal 1422H.
16 Juli 2001M.
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
|
Ketua,
ttd
Prof. KH. Irfan Zidny, MA
|
Sekretaris,
ttd
KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA
|
[1]Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz ke-1, hal. 280, no. 1067.
[2]Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami’ as-Shahih, (Makah: Isa Baby al-Halabi, 1955), juz ke-2, hal.591, no. 865.
[3]Muhammad bin Isa Abu Isa At-Tirmidzi as-Salami, SunanTirmidzi, (Beirut: Dar at Turas al-Arabi, tth.), juz ke-2, hal. 373, no. 500.
[4]Wahbahaz-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al Fikr, 1999), juz ke-1, hal. 279-282. 433-434.* [MUI/Syaf/voa-islam.com]