Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah. Satu dari empat bulan haram yang dimuliakan dan diagungkan dalam Al-Qur'an. (QS. Al-Taubah: 36)
Hari ‘Asyura memiliki keistimewaan di sisi Allah. Dia memilihnya sebagai hari istimewa untuk peristiwa besar berkaitan dengan keimanan. Dan Allah berhak memilih dari ciptaan-Nya sekehendak-Nya.
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (QS. Al-Qashshash: 68)
Allah menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejahatan Fir’aun. Allah menenggelamkan fir’aun dan bala tentaranya pada hari itu juga. Karena sebab ini, Nabi Musa berpuasa padanya sebagai bentuk syukur kepada Allah. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa padanya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu, menceritakan saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa hari ‘Asyura. Beliau bertanya (kepada mereka) tentang puasa di hari itu. Mereka menjawab:
“Hari ini adalah hari yang Allah menangkan Musa dan Bani Israil atas Fir’aun, maka kami berpuasa padanya sebagai pengagungan terhadap hari itu.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
نحن أولى بموسى منكم
“Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau memerintahkan berpuasa padanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam redaksi Muslim,
فصامه موسى شكراً، فنحن نصومه
“Lalu Nabi Musa berpuasa padanya sebagai bentuk syukur, maka kamipun berpuasa padanya.”
4 Fase Pelaksanaan Shiyam ‘Asyura
Ibnu Rajab dalam Lathaif al-Ma’arif mengungkap empat fase yang dialami Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam melaksanakan shiyam ‘Asyura:
Pertama, beliau berpuasa ‘Asyura di Makkah dan tidak memerintahkan manusia berpuasa.
‘Aisyah menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa A’syuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi-pun berpuasa ‘Asyura pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhan telah diwajibkan, puasa Ramadhan itulah yang beliau kerjakan. Lalu beliau tinggalkan puasa ‘Asyura.
beliau bersabda:
من شاء فليصم ومن شاء أفطر
“Siapa yang hendak puasa silahkan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, tatkala beliau tiba di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa ‘Asyura dan mengagungkannya, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menekankan perintahnya dan menganjurkan sekali sahabatnya untuk melaksanakannya, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa ‘Asyura.
Ketiga, setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhan, beliau tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa A’syura, dan juga tidak melarang. Kedudukannya dibiarkan sebagai amal sunnah.
Riwiyatkan dalam Shahih Muslim, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إن عاشوراء يوم من أيام الله فمن شاء صامه ومن شاء تركه
“Sesungguhnya ‘Asura adalah satu hari dari hari-hari milik Allah, siapa yang mau berpuasa padanya maka dipersilahkan, dan siapa yang meninggalkanya juga tak mengapa.”
Dalam riwayat Muslim yang lain,
فمن أحب منكم أن يصومه فليصمه ومن كره فليدعه
“Siapa di antara kalian yang suka berpuasa padanya silahkan ia berpuasa, dan siapa yang tka suka, silahkan ia tinggalkan.”
Fase keempat, pada akhir hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syura saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 (Muharram) untuk menyelisihi puasanya Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu berkata: saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berpuasa ‘Asyura dan memeirnthakan para sahabatnya untuk berpuasa, para sahabat melapor:
يا رسول الله، إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى
“Wahai Rasulullah, hari ‘Asyura adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani.”
Kemudian beliau bersabda,
فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا التاسع
“Kalau begitu, tahun depan Insya Allah kita puasa bersama tanggal sembelilannya juga.” Ibnu Abbas bercerita, “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Keutamaan Puasa ‘Asyura
Dari ulasan di atas, sunnahnya berpuasa hari ‘Asyura masih tetap berlaku. Hanya saja, pelaksanaannya yang lebih sempurna dengan menambahkan puasa sehari sebelumnya yang dikenal dengan yaum Tasu’a (hari kesembilan al-Muharram).
Keutamaany puasa hari ‘Asyura telah diterangkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, saat beliau ditanya tentang puasa hari ‘Asyura,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
"Puasa hari 'Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim)
Jika seseorang berpuasa pada hari ini saja –tanpa menambahkan sehari sebelumnya- tidak dimakruhkan dan ia mendapatkan pahala yang besar ini. Namun –sekali lagi- jika ditambahkan sehari sebelumnya maka pahala jauh lebih besar dan lebih sempurna ikuti sunnah. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas tentang sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
لَئِنْ عِشْتُ إلَى قَابِلٍ لاَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam al-Fatawa al-Kubra Juz ke IV berkata, “Puasa hari ‘Asyura menjadi kafarah (penghapus) dosa selama satu tahun dan tidak dimakruhkan berpuasa pada hari itu saja.” Sedangkan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj menyimpulkan bahwa tidak apa-apa berpuasa pada hari itu saja. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]