Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Khusyu’ salah satu penentu nilai shalat seseorang. Ia berposisi sebagai inti shalat dan ruhnya. Karenanya, menggapai kekhusyu’an dalam shalat menjadi target utama dalam mengerjakan ibadah yang agung ini.
Shalat yang khusyu’ menjadi salah satu sifat orang beriman yang beruntung. Bahkan menjadi sifat utamanya. Karena baiknya shalat menentukan baiknya perilaku dan amal seseorang.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah mengikat keberuntungan orang-orang shalat dengan khusyu’ dalam shalat mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak khusyu’ bukan termasuk ahli falah.” (Madarij Salikin: 1/526)
Khusyu’ hanya akan diperoleh oleh orang yang mengosongkan hatinya untuk shalat, konsentrasi dengannya dan menjadikan shalat sebagai aktifitas terpenting. Saat itulah shalat menjadi hiburan dan kebahagiaan bagi pelakunya.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
حُبِّبَ إِلَيَّ الطِّيبُوَ النِّسَاءُ ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dijadikan pada diriku suka kepada wewangian dan wanita-wanita, dan dijadikan penyedap pandangan mataku di dalam shalat.” (HR. Ahmad, Al-Nasai, dan al-Hakim)
Dengan hadirnya hati dalam shalat akan menumbuhkan pengagungan kepada Allah dan rasa takut kepada-Nya. Hati menjadi lembut, tunduk dan tenang sehingga anggota badanpun akan ikut tunduk dan tenang. Karena anggota badan sebagai pengikut hati.
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Kekhusyu’an mereka ada di hati mereka sehingga mereka menundukkan pandangan dan merendahkan diri mereka.”
Muhammad bin Sirin berkata, “Dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mendongakkan pandangan ke langit ketika shalat, maka ketika diturunkan ayat tersebut (QS. Al-Mukminun: 1-2) mereka menundukkan pandangan ke tempat sujud mereka.”
Tempat khusyu’ ada dalam hati. Ini buah dari keimanan yang ada di dalamnya. Di mana khusyu’ hati ini melahirkan pengagungan, pemuliaan, dan rasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Selanjutnya, hati orang yang khusyu’ merendahkan dirinya kepada Allah dengan perasaan cinta, harap, takut, malu, dan mengakui segala nikmat Allah serta mengakui kesalahan-kesalahannya kepada-Nya. Dengan demikian dipastikan hatinya menjadi khusyu’ dan diikuti oleh semua anggota badan.
Berbeda dengan khusyu’ munafiq, maka semua anggota tubuhnya kelihatan dibuat-buat dan dipaksakan agar terlihat khusyu’. Sedangkan hatinya tidak demikian keadaannya.
Hudzaifah Radhiyallahu 'Anhu pernah berkata, “aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang munafiq.” Ketika ditanyakan kepadanya, “apa yang dimaksud khusyu’ munafiq?” ia menjawab, “Apabila seseorang memperlihatkan tubuhnya seakan-akan khusyu’, padahal qalbunya tidak khusyu’ sama sekali.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah berkata, “termasuk hal yang dimakruhkan ialah bila seseorang memperlihatkan kekhusyu’annya dengan penampilan yang melebihi dari apa yang terkandung di dalam hatinya.”
Salah seorang ulama salaf pernah melihat seorang laki-laki khusyu’ kedua pundak dan tubuhnya, maka ia menegurnya dengan mengatakan, “hai Fulan, khusyu’ letaknya di sini –seraya berisyarat ke arah dadanya-, bukan di sini –seraya berisyarat ke arah pundaknya-“ (Madarijus Salikin: 1/521)
Semoga Allah karuniakan kepada kita kekhusyu’an yang hakiki dan terhindar dari kekhusyu’an palsu. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]