Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluatga dan para sahabatnya.
Kewajiban Shiyam Ramadhan dimulai dengan masuknya bulan Ramadhan. Masuknya bulan diketahui dengan tiga cara:
Cara Pertama: Melihat hilal Ramadhan secara langsung. Berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal).” (Muttafaq ‘Alaih) maka siapa yang melihat hilal dengan mata kepalanya sendiri maka ia wajib berpuasa.
Cara Kedua: adanya orang yang bersaksi telah melihat hilal atau adanya kabar berita terlihat hilal. Puasa Ramadhan bisa dimulai dengan kesaksian seorang mukallaf yang adil. Kabar yang dia sampaikan tentang terlihatnya hilal sudah mencukupi untuk dijadikan landasan dimulainya puasa. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma,
تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha melihat hilal (bulan sabit), lalu aku beritahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum.” (HR. Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, “Ada seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam lalu berkata: Sungguh aku telah melihat hilal.”
Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan (berhak diibadahi) kecuali Allah?”
Ia menjawab, “ Ya.”
Beliau bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.”
Ia menjawab, “ Ya.”
Beliau bersabda, “Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan. Dishahihkan Ibnu Huzaiman dan Ibnu Hibban)
Cara Ketiga: menggenapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Yaitu saat hilal tidak terlihat pada malam ke 30 dari bulan Sya’ban, baik dengan adanya penghalang terlihatnya hilal seperti mendung atau tidak adanya penghalang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
إِنَّمَا الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Sesungguhnya bulan itu 29 hari, karenanya janganlah kalian berpuasa sehingga melihatnya dan janganlah berbuka sehingga kalian melihatnya. Dan jika awan menutupi kalian maka perkirakanlah/tetapkanlah.”
Makna “perkirakanlah/tetapkanlah ia”: sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari sebagaimana hadits dari Abu Hurairah,
فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban 30 hari.” (Muttafaq ‘Alaih)
Semoga ini bermanfaat bagi umat dalam menetapkan awal puasa Ramadhan. Khususnya para pemimpin dalam memberikan keputusan untuk umat sehingga kaum muslimin bisa bersatu (bersama-sama) dalam memulai puasa Ramadhan di tahun 1436 Hijriyah ini. Sehingga terealisir sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa (Ramadhan) pada hari kalian (kaum muslimin) berpuasa, berbuka (lebaran) pada hari kalian berbuka, dan Idul Adha pada hari kalian semua menyembelih kurban.” (HR. Al-Tirmidzi)
Ini menunjukkan bahwa berpuasa Ramadhan, ber-Idul Fitri dan Idul Adha itu bersama masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, bulan Ramadhan –diawali dan diakhiri- bersama masyarakat muslim di suatu negeri. Inilah pendapat sebagian besar ulama bahwa patokan ditetapkan puasa dengan tersiarnya bulan (masuknya). Dan bulan disebut Syahran karena ia masyhur (dikenal dan tersiar) dan nampak jelas di tengah-tengah manusia. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]