Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Kebiasaan sebagian muadzin di masyarakat kita –dan juga di Yordania dan negara muslimin lainnya- membaca shalawat dengan keras setelah selesai adzan. Shalat ini dibaca sebelum membaca doa yang ma’tsur setelah kumandang adza, Salah satu redaksinya,
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Apakah membaca dengan sifat seperti ini dibolehkan?
Menjawab masalah ini, Syaikh bin Bazz dalam Majmu’ Fatawanya (1/439) merincinya. Pertama, jika muadzin membacanya dengan suara lirih (tidak dikeraskan seperti suara adzan) maka itu disyariatkan untuk muadzin dan orang yang mendengar adzan lalu menjawabnya.
Dasar sunnah ini adalah hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Apabila kamu mendegar muadzin (adzan-nya), maka uzapkan seperti apa yang diucapkannya. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena barangsiapa yang shalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan mendoakan (shalawat) kepadanya sepuluh kali. Kemudian memohonlah kepada Allah untuk diriku al-wasilah, yaitu satu tempat di surga yang tidak diberikan keculai kepada salah seorang hamba diantara hamba-hamba Allah. Saya berharap hamba itu adalah saya. Barangsiapa yang meminta kepada Allah untuk diriku al-wasilah, maka layak baginya mendapatkan syafaatku.” (HR. Muslim)
Dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Jabir bin Abdillah disebutkan redaksi doanya dengan jelas,
مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ اَلدَّعْوَةِ اَلتَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ اَلْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا اَلْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا اَلَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ
“Siapa yang mendengarkan adzan lalu berdoa –dengan doa di atas-, maka dia akan memperoleh syafaat dariku pada hari Kiamat.”
Kedua, apabila muadzin membacanya dengan keras sebagaimana adzannya maka hal itu termasuk bid’ah. Karena bisa disangka oleh orang awwan bahwa bacaan tersebut bagian dari adzan. Dan menambah bacaan dalam adzan itu tidak boleh. Dan adzan diakhiri dengan kalimat, “Laa Ilaaha Illallaah”.
Tidak boleh menambah bacaan adzan dari bacaan yang telah ditentukan syariat, walaupun bacaan tersebut dinilai baik. Jika penambahan shalawat dalam adzan –baik sebelum atau sesudahnya- dengan suara keras sebagaimana suara adzan itu baik, maka para muadzin di zaman salaf pasti sudah mengerjakannya. Bahkan, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pasti sudah mengajarkan dan memerintahkannya kepada umatnya.
Siapa yang mengerjakan amalan ibadah tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam maka amal ibadah tersebut tertolak.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melaksanakan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amal tersebut tertolak.” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anha)
Ringkasnya, muadzin juga disunnahkan membaca shalawat setelah mengumandangkan adzan sebagai kaum muslimin yang telah menyimak dan menjawab adzan. Mereka juga diperintahkan membaca shalawat setelahnya. Caranya, muadzin membacanya dengan lirih. Tidak diperdengarkan sebagaimana ia mengeraskan adzan. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]