JAKARTA (voa-islam.com) – Ulama jangan mau diperalat dalam proyek deradikalisasi agama berkedok perang antiterorisme. Ulama juga jangan mau dipaksa mengubah makna-makna syar’i agar sejalan dengan kemauan kelompok Liberal, seperti Thogut, Jihad dan Khilafah.
Seruan itu terungkap dalam ‘Dirosah Syar’iyyah’ ke-12 yang diadakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di sekretariat HTI, Crown Plaza, Sabtu (18/12/2010), yang menampilkan dua narasumber, Ustadz Roni Ruslam dan Ustadz Rokhmat S Labib (Ketua DPP HTI).
Menurut Roni Ruslan, saat ini ada distorsi dalam mendefinisikan kata radikal yang kemudian mulai dikait-kaitkan dengan teroris. Lalu definisi radikal itu diarahkan kepada kelompok Islam yang selama ini mengusung ide penerapan Syariat Islam, Daulah Islam dan Khalifah Islam.
“Ketiga hal itu dianggap mengancam empat pilar negara: Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujar Sekretaris dan Juru bicara HTI itu.
Mengutip Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), terorisme selalu dikaitkan dengan kelompok Islam fundamentalis yang ingin menegakkan syariat Islam dan khilafah Islam. Hendro mengatakan, “Timbul kegelisahan sejauh mana ancaman terorisme terhadap ketahanan nasional, utamanya terhadap keutuhan NKRI? Kegelisahan itu wajar mengingat sejumlah gerakan Islam fundamentalis selalu meneriakkan prinsip penegakan khilafah di negeri ini. Penegakan Syariah Islam menjadi harga mati. Mereka tidak lagi menginginkan kebhinekaan atas nama mayoritas. Kelompok-kelompok di luar Islam terancam eksistensinya.”
Itulah sebabnya, ada banyak perangkat pendekatan yang dibekali untuk mengcounter terorisme. Roni Ruslan membaginya dalam dua kategori, yakni pendekatan kontra terorisme hard power dan soft power. Hard power, menurutnya, meliputi UU Intelijen, UU Terorisme, Des Antiteror Polri, Densus 88, dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Teroris). Sedangkan soft power meliputi: dorongan Islam moderat, LSM moderat (liberal), ormas Islam, dukungan negara moderat-demokratis.
Alhasil, pendekatan hard power itu menjatuhkan korbannya. Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengatakan, di mata internasional, kita dianggap berhasil menangkap 600 pelaku teroris, 500 sudah diadili. Sebagian tewas ditembak Densus 88. Ini berita bagus, katanya.
....Banyak kalangan mengkritik Densus 88 telah melanggar HAM dalam setiap penyergapan dan penangkapan mereka yang diduga teroris....
”Belakangan, banyak kalangan mengkritik Densus 88 telah melanggar HAM dalam setiap penyergapan dan penangkapan mereka yang diduga teroris. Sebagai contoh, penangkapan Ustadz Gazali di Medan dan Bahrun Na’im di Solo,” ujar Roni Ruslan geram.
Juru Bicara HTI itu juga mencatat, pendekatan soft power dalam mencegah dan menanggulangi kasus terorisme, telah direalisasikan dalam beberapa program, di antaranya: Menggelar Simposium Menkopolhukam tentang De-radikalisasi, Halaqah Penanggulangan Terorisme antara MUI, FKMN, BNPT & Polisi di sejumlah kota, seperti Jakarta (11 November), Solo (21 November), Surabaya (28 November), Palu (12 Desember) dan dan rencananya akan digelar di Medan (30 Desember).
Ulama Dipaksa Meliberalkan Istilah-istilah Syar’i
Beberapa waktu lalu di Hotel Alila-Jakarta, BNPT juga telah menggelar workshop deradikalisasi dengan merangkul ulama, pimpinan ormas Islam, takmir masjid, ulama, dan kalangan akdemis perguruan tinggi Islam. Di Malang, ditandai dengan MoU dengan NU yang dihadiri oleh Ketua PBNU KH Said Agil Siradj dan Ansyaad Mbai selaku Ketua Umum Nasional Gerakan Deradikalisasi.
”Ulama hendak diseret untuk menjadi garda terdepan dalam melancarkan proyek deradikalisasi memerangi terorisme. Lalu ulama dipaksa untuk menafsir ulang makna-makna syar’i agar sejalan dengan Islam moderat seperti thogut, jihad dan khilafah,” tandas Roni Ruslan.
....Ulama dipaksa untuk menafsir ulang makna-makna syar’i agar sejalan dengan Islam moderat seperti thogut, jihad dan khilafah....
Program selanjutnya adalah rekomendasi Dirjen Binmas Depag dalam Sosialisasi Islam Moderat, yang kemudian merekomendasikan Pembentukan Yayasan Ahlusunnah waljamaah di Banten (5-8 Juli 2003), disponsori oleh The Asia Foundation.
Dalam bentuk penelitian (research), pencegahan dan penanggulangan terorisme juga dilakukan dengan menerbitkan sejumlah buku, diantaranya: buku ”Benih-benih Islam Radikal di Masjid (Studi Kasus Jakarta dan Solo) tahun 2010. Buku ini bersumber dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Hidayatullah antara tahun 2008-2009. Mereka juga menerbitkan buku Ilusi Negara Islam dan survei yang dilakukan SETARA Institute.
Untuk mengcounter kelompok Islam yang selama ini memperjuangkan syariat Islam, Daulah Islam dan Khilafah Islam, lantas mereka berupaya menyuburkan Islam moderat. Dalam buku What Went Wrong yang ditulis Bernard Lewis, ia mencontohkan negara demokrat yang diinginkan oleh AS adalah Turki Modern (pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmany tahun 1924). Upaya penyuburan Islam moderat, juga sempat diungkapkan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dengan memuji Indonesia sebagai negara demokrat dan demokratus. Pujian itu diucapkan saat Hillary berkunjung ke Indonesia Februari 2010 lalu.
....Mereka mengcounter kelompok Islam yang memperjuangkan syariat Islam, Daulah Islam dan Khilafah Islam, dengan menyuburkan Islam moderat....
Di bidang pendidikan, BNPT hendak merumuskan kurikulum tentang ajaran Islam moderat. Kepala BNPT Ansyad Mbai berujar, penyusupan ajaran radikal semakin luas, sudah masuk hingga ke perguruan tinggi elit, bukan perguruan tinggi pinggiran. Bahkan menyusup ke perkantoran dan memengaruhi karyawan. ”Kita lakukan deradikalisasi ini melalui pendidikan. Bukan hanya pesantren tapi yang lainnya juga,” ucap Ansyaad.
Indonesia sepertinya akan mengikuti Arab Saudi yang hendak mengganti kurikulum pendidikan agama atas dorongan AS. Perlu diketahui, tahun 2003, ketika terjadi pergantian posisi jabatan Pangeran Faisal bin Abdullah, dari semula menjabat sebagai Ketua Badan Intelijen, Sang Pangeran kemudian didudukkan sebagai Menteri Pendidikan. Ternyata posisi barunya ini adalah dalam rangka menjalankan misi khusus dari Washington senilai 2,4 miliar dollar AS, yaitu mengganti kurikulum pendidikan dengan cara mengganti buku-buku pelajaran yang ada menjadi ”lebih moderat.” Buku-buku yang diganti antara lain yang membicarakan hukum jihad, kemudian diubah menjadi lebih lunak dan selaras dengan selera kaum penjajah kafir.
....Ulama jangan terjebak untuk melemahkan perjuangan penerapan Jihad, Syariah dan Khilafah, karena ini kewajiban syar’i....
Pada akhirnya, Juru bicara HTI ini berharap, ulama jangan terjebak untuk melemahkan perjuangan penerapan Jihad, Syariah dan Khilafah, karena ini kewajiban syar’i. Untuk itu, proyek global AS dan komparador di negeri ini jangan mematahkan langkah kita terus memperjuangkan syariat Islam, daulah Islam dan khilafah. [taz/desastian]
Baca berita terkait: