JAKARTA (voa-islam.com) – Dinilai memberikan kesaksian palsu di persidangan, Kuasa Hukum KH Murhali Barda cs meminta kepada majelis hakim agar Pendeta Luspida Simanjuntak, Pendeta Pieterson Purba ditahan. Kedua pendeta HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) itu diancam dengan hukuman maksimal 9 tahun penjara.
Setelah beberapa kali mangkir dari persidangan kasus insiden HKBP Ciketing, akhirnya pihak HKBP hadir sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi, Senin 10 Januari 2011.
Empat orang pendeta dan jemaat HKBP yang memberikan kesaksian dalam persidangan tersebut antara lain: Pendeta Luspida Simanjuntak, Pendeta Pieterson Purba, Hasian Lumbantoruan, Rosalina Nainggolan dan Jefry Simorangkir.
Dalam pemeriksaan para saksi tersebut, terungkap bahwa semua saksi dari pihak HKBP itu, tak satupun yang mengenal ke-13 terdakwa. Baik Luspida, Purba, Hasian, Rosalina maupun Jeffry, semuanya sepakat menyatakan bahwa KH Murhali Barda tidak berada di lokasi saat insiden Ciketing terjadi. Kelima saksi dari HKBP ini juga mengakui bahwa mereka tidak melihat KH Murhali Barda melakukan ceramah, orasi, pidato atau seruan untuk melakukan penusukan, pemukulan, maupun perkelahian dengan jemaat HKBP.
Karenanya, kuasa hukum terdakwa, Salih Mangara Sitompul, menyatakan sampai persidangan keempat, dakwaan terhadap KH Murhali Barda cs belum terbukti. Salih menilai tiga pasal KUHP yang didakwakan terhadap KH Murhali terlalu dipaksaan. Tiga pasal yang didakwakan kepada Murhali, antara lain pasal 160 tentang penghasutan, pasal 170 tentang kekerasan terhadap orang dan barang, dan 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan.
“Sampai saat ini penuntut umum belum bisa membuktikan dakwaan pasal 160, 170 dan 335,” ujar pengacara yang akrab disapa Bang SMS itu. “Ini perkara yang dipaksakan.”
....Sampai saat ini penuntut umum belum bisa membuktikan dakwaan pasal 160, 170 dan 335. Ini perkara yang dipaksakan....
Karenanya, dalam persidangan tersebut Salih memohon kepada majelis hakim agar memindahkan penahanan KH Murhali menjadi tahanan luar.
“KH Murhali hanyalah seorang ustadz dan guru ngaji yang punya tanggungjawab keummatan. Saya jamin, sebagai orang yang bertanggungjawab dan mengerti hukum, Ustadz Murhali tidak akan melarikan diri dan bersedia menghadiri setiap persidangan,” ujar Salih dalam persidangan.
Lebih lanjut, penasihat hukum Murhali Barda menilai Pendeta Luspida Simanjuntak dan Pendeta Pieterson Purba telah memberikan kesaksian palsu di persidangan. Padahal sebelum memberikan kesaksian, kedua pendeta HKBP itu telah disumpah. Akibat kesaksian palsu yang disampaikan di persidangan tersebut, penasihat hukum meminta hakim agar mengeluarkan perintah penahanan terhadap kedua pendeta tersebut, karena melanggar pasal 242 KUHP tentang tindak pidana pemberian keterangan palsu.
“Saksi Luspida Simanjuntak dan Pieterson Purba adalah saksi yang telah disumpah di dalam persidangan. Setelah disumpah, mereka memberikan keterangan palsu di atas sumpahnya, maka yang bersangkutan bisa dipidanakan karena melanggar pasal 242 KUHP, dengan ancaman hukuman paling lama 9 tahun. Maka penasihat hukum meminta kepada majelis hakim agar mengeluarkan penetapan agar saksi Luspida Simanjuntak dan Pieterson Purba ditahan karena telah melanggar pasal 242 KUHP,” jelas Salih yang juga ketua Peradi Bekasi itu.
Beberapa kesaksian palsu Pendeta Luspida Simanjuntak dan Pendeta Pieterson Purba, menurut Salih, adalah kesaksian pendeta bahwa HKBP mendapat perintah dari Sekretaris Daerah (SETDA) Kota Bekasi untuk beribadah di tanah kosong Ciketing. Padahal kenyataannya SETDA Kota tidak pernah memerintahkan kebaktian di tanah kosong Ciketing tersebut.
Kesaksian palsu lainnya adalah keterangan bahwa mereka tidak melihat kejadian apapun sebelum terjadinya insiden Ciketing antara 200 jemaat HKBP dengan 13 pemuda muslim.
....Setelah disumpah, Pendeta Luspida Simanjuntak dan Pendeta Pieterson Purba memberikan keterangan palsu di atas sumpahnya. Maka yang bersangkutan bisa dipidanakan karena melanggar pasal 242 KUHP, dengan ancaman hukuman paling lama 9 tahun....
Kedua saksi mengaku pada saat insiden Ciketing berlangsung, mereka berjalan di barisan paling depan. Lalu mereka menyatakan sebelum insiden tidak terjadi apa-apa. Padahal mereka menurut kesaksian warga setempat pada persidangan sebelumnya, sebelum insiden terjadi pemukulan terhadap wartawan oleh jemaat HKBP.
“Ini kan keterangan palsu. Semestinya, Pendeta Luspida harus tahu itu, karena dia berjalan paling depan. Tidak mungkin dia tidak tahu,” tegas Salih.
Pada keterangan saksi sebelumnya, Senin (3/1/2011), Edi Suryo Purnomo, seorang warga Mustika Jaya Ciketing sebagai saksi mata saat insiden berlangsung, menjelaskan bahwa ia melihat ada dua insiden di Ciketing. Insiden pertama, jemaat HKBP mengeroyok seorang wartawan yang diteriaki maling. Tak berselang lama, disusul dengan insiden kedua, bentrokan jemaat HKBP dengan belasan remaja Muslim yang mengakibatkan jatuhnya korban luka di kedua belah pihak. Insiden tersebut, menurut Edi, bermula ketika motor seorang wartawan ditendang, lalu diteriaki maling oleh seorang perempuan dari jemaat HKBP.
“Itulah keterangan palsu yang disampaikan dalam persidangan ini. Karenanya yang bersangkutan telah melanggar pasal 242 KUHP. Atas dasar itulah, maka penasihat hukum meminta agar Luspida Simanjuntak dan Pieterson Purba agar ditahan oleh hakim,” jelas Salih.
Untuk memproses kasus kesaksian palsu ini, jelas Shalih, pada persidangan berikutnya Asda II Pemkot Bekasi akan dihadirkan untuk diperiksa dan dikroscek.
“Nanti akan kita kroscek. Kalau keterangan Asda II berbeda dengan keterangan kedua pendeta, maka Majelis Hakim harus segera mengeluarkan ketetapan agar kedua pendeta itu ditahan,” jelasnya. “Kita mengajukan permohonan kepada hakim, karena yang memiliki kewenangan adalah hakim,” pungkasnya.
Sidang kasus HKBP Ciketing ini dilanjutkan pada Kamis, (13/1/2011) dengan menghadirkan saksi dari HKBP lainnya, antara lain Jonggur Sihite, dan Risomas Karolina Nainggolan. [taz]
Baca berita terkait: