View Full Version
Rabu, 15 Jul 2009

Pendidikan Berbasis Ilmu

Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah: berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang de mokratis serta bertanggung jawab.

Itu tujuannya. Tapi, bagaimana membentuk seorang yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, dan sebagainya? Sekolah atau kampus manakah di Indonesia yang saat ini bisa dicontoh mampu melahirkan lulusan seperti yang diharapkan oleh UU Sisdiknas tersebut? Bagaimana umat Islam mewujudkan tujuan pendi dikan yang begitu ideal? Padahal, di masa lalu, umat Islam pernah memi liki sistem pen didikan yang begitu ideal, yang mampu melahirkan sosok-sosok ilmuwan dan ula ma pada saat yang sama.

Ambilllah contoh Fakhruddin ar-Razi. Ar-Razi adalah ulama yang saintis. Hal itu dapat dibuktikan dengan karya ilmiahnya yang melimpah, baik masalah sains mau pun masalah agama. Ia telah menulis 6 karya dalam ilmu Tafsir, 20 karya dalam ilmu Kalam, 9 karya dalam bidang filsafat, 6 karya dalam ilmu Fil safat dan Kalam, 5 karya dalam Logika, 2 dalam Matematika, 6 karya dalam ilmu Kedokteran, 48 karya dalam MIPA, 9 karya dalam ilmu Syariah, 4 karya dalam bidang sastra, dan masih puluhan lagi karyanya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya. Pun, masih banyak juga karyanya masih dalam bentuk manuskrip dan belum dikaji.

Ar-Razi adalah seorang dokter pada zamannya. Ia juga menulis beberapa komentar terhadap buku-buku kedokteran. Pada usia 35 tahun, ia telah menerangkan bagian-bagian yang sulit dari al-qanun fi al-tibb kepada seorang dokter terkemuka di Sarkhes, yaitu Abd al-Rahman bin Abd al-Karim. Ia juga seorang ahli di bidang il mu-ilmu Bahasa Arab (Sastra, Ba laghah dan tata bahasa). Ia menulis Ni hayat al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz. Dalam karya tersebut, ia mengkritik beberapa pen dapat al-Jurjani dan menambahkan beberapa hal baru. Selain itu, kekuatan ha falan Ar-Razi juga luar biasa. Selain menghafal al-Qur’an dan banyak al-Hadist, ia juga meng hafal al-Shamil, karya Imam al-Haramayn, al-Mu’tamad, karya Abu al-Husayn al-Basri, dan al-Mustasfa, kar ya al-Ghazali.

Dalam penguasaan Al-Razi terhadap berbagai ilmu itu di antaranya pada ilmuilmu Rasional, dialah yang pertama kali menjadikan logika sebagai ilmu tersendiri. Fakhruddin al-Razi juga pelopor Ilmu Kalam baru dengan memasukkan persoalan-persoalan fisika ke dalam metafisika. Sains dan filsafat menjadi wacana dalam ilmu Kalam. Fakhruddin al-Razi menggagas fisika Non-Aristoteles, sebuah teori baru, yang mendahului zamannya. Ia telah mendahului zaman modern Barat, seperti yang selama ini diklaim telah dilakukan oleh Francis Bacon.

Bagaimana sebuah sistem pendidikan dapat melahirkan manusia semacam ar-Razi? Kita bisa mengatakan bahwa sistem pendidikan waktu itulah yang menghasilkan orang macam ar-Razi, mengingat ilmu wan seperti dia tidak seorang diri. Kita mengenal ada al-Ghazali, Ibn Sina, al-Khawa rizmi, al-Biruni, Jabir Ibn Hayyan, Ibnu Khaldun, Ibn Rusyd, Ibn al-Hayt sam, Umar Khayyam, dll. Orangorang seperti merekalah yang berhasil membawa peradaban Islam maju dan memimpin dunia kala itu.

Secara sederhana, sistem pendidikan yang diterapkan kaum muslimin sejak dahulu adalah sistem pendidikan yang berbasis pada konsep ilmu yang benar.

 

 

Tanpa konsep ilmu yang benar, pendidikan akan melenceng arahnya. Bisa jadi sistem tersebut menghasilkan orang-orang yang berilmu, tapi tidak bertakwa dan bodoh ilmu agamanya. Demikian pula sebaliknya. Mengingat sebagian besar yang diajarkan di dunia pendidikan adalah ilmu pengeta huan, maka konsep dasar ilmu yang benarlah yang akan menghasilkan sistem pendidi kan yang baik.

Bagaimana konsep ilmu yang benar menurut Islam? Ibn Taimiyyah dalam kitab nya Majmu’ Fatawa mendefinisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalîl (bukti). Dalil yang dimaksud bisa berupa penukilan wahyu dengan me tode yang benar (al-naql al-mushad daq), bisa juga berupa penelitian ilmiah (al-bahts al-muhaqqaq). Jika sesuatu yang dikatakan ilmu itu pada kenyataannya tidak berdasar pada dalîl seperti disebutkan di atas, maka ia ibarat sebuah tembikar yang terlihat bagus dari luarnya saja (khazaf mu zaw waq). Maksudnya, kelihatan sebagai sebuah ilmu yang bagus tapi sebenarnya ia bukan ilmu. Atau kalau tidak, menurut Ibn Taimiyyah, yang disangka ilmu tersebut adalah sesuatu yang jelas-jelas batal (bâtil mutlaq), yakni bukan ilmu sama sekali.

Jadi jelas, dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu. Sedangkan dalam pandangan Barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam pengertian Barat, sebagaimana dikutip oleh Prof. Wan Mohd Nor, ilmu adalah pengenalan terhadap fakta (knowledge denotes acquaintance with, or clear perception of facts). Fakta juga merujuk pada perkara-perkara yang bisa ditangkap oleh pancaindra lahir, yakni yang bersifat empiris. Keberadaan perkara lain di luar kemampuan pancaindera lahir tersebut dianggap bukan fakta, dan tidak dipandang sebagai bagian dari bidang ilmu.

Konsep ilmu dalam Islam tidak berhenti hanya sampai pada hal-hal yang empiris. Selain objek fisik, ilmu dalam Islam meliputi pula objek-objek yang metafisika. Menurut Prof. Mulyadhi Kartanegara, se perti objek-objek fisik, objek-objek meta fisika juga memiliki status ontologis yang sah. Objek ilmu metafisika seperti Tu han, malaikat, jin dan ruh adalah entitas-entitas yang sama riilnya dengan objek-objek fisik-empiris.

Selain mempunyai objek yang berbeda de ngan konsep ilmu dalam pandangan Barat, dalam Islam ilmu itu sendiri tidak bebas nilai, tapi terikat dengan nilai-nilai ter tentu. Menurut Ziauddin Sardar, “Jika ilmu itu sendiri netral, maka sikap kita da lam mendekati ilmu itulah yang menja dikan ilmu itu sekular atau Islami. Pende katan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.”

Ilmu juga harus bermanfaat. Kata-kata ini penting, mengingat dalam ajaran Islam diajarkan doa khusus agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat dan dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Rasulullah saw bersabda sebuah hadits, “Mintalah ke pada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR Ibnu Majah)

Ilmu yang bermanfaat inilah yang sejalan dengan ajaran Islam (Al-Quran dan Sun nah). Ilmu yang dikembangkan tanpa menghiraukan Tuhan dan yang para pendukungnya menolak Tuhan atas nama ilmu, perlu diwaspadai. Contoh, ilmu As tronomi yang tidak lagi menganggap perlu mengaitkan alam dengan Tuhan, menganggap Tuhan sebagai hal yang tidak riil dan diletakkan hanya sebagai hipotesis, sebagaimana dinyatakan Laplace. Ilmu semacam ini, menurut Prof. Mul yadhi Kar tanegara, jelas ber tentangan dengan agama.

Jadi, tidak semua ilmu bersifat positif. Bahkan, ada ilmu yang berdampak negatif terhadap keimanan. Ilmu semacam ini bisa dikaji secara kritis oleh orang-orang tertentu. Namun, ilmu yang menjelaskan fenomena alam sebagai tanda-tanda kebesaran Allah, jelas ilmu yang baik bahkan ilmu yang sakral. Karena itu, sebelum melaksanakan suatu proses pendidikan, adalah mutlak untuk memahami konsep ilmu yang benar, agar pendidikan dapat menghasilkan manusia-manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.


Ir. Budi Handrianto MpdI, Peneliti INSISTS

Sumber:Harian republika, Kamis, 09 Juli 2009

 


latestnews

View Full Version