View Full Version
Kamis, 23 Jul 2009

Al Muaddib Di Grebeg Densus 88

Pondok pesantren al Muaddib hanya punya santriwati, tapi dituduh sebagai sarang teroris.

CIlacap (voa-islam.com) - Setiap kali terjadi peledakan bom di tanah air, setiap kali itu pula Pondok Pesantren (ponpes) diobok-obok. Kali ini giliran ponpes putri al Muaddib. Desa Pasuruan, Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Pesantren al Muaddib hanya menerima santri putri saja. Tapi tetap dituduh mengajarkan terorisme. "Sangat tidak masuk akal. Wong santrinya saja putri semua." Ujar kepala desa Pasuruan, Watin Suseno.

Pada 23 Juni, ponpes tersebut digrebeg Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri. Selasa (14/7), polisi mengklaim menemukan bahan peledak berupa belerang, potassium, kabel, dan detonator di pekarangan belakang rumah Bahrudin Latif yang biasa disapa Baridin, ketua Yayasan Ponpes al Muaddib.

Polisi menyatakan, bahan peledak yang ditemukan 100 meter dari Ponpes itu sama dengan yang meledak di Hotel JW Mariot dan Ritz Carlton, Jum'at (17/7). Sebuah tuduhan serius. Sialnya, sejak penggerebekan itu, Baridin tidak ketahuan rimbanya dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).

Saat penggerebekan, Baridin dan keluarganya memang tidak berada di rumah. Dia pun tidak kembali ketika penggerebekan sudah terjadi dan hanya menelepon ketua Pengasuh Pesantren al Muaddib, Mahfudz Ihsan, untuk menitipkan pesantren dan mengaku tak terlibat apa yang dituduhkan polisi.

Ponpes al Muaddib Tidak Eksklusif

Setiap pagi, mulai pukul 07.00 hingga 10.00 WIB, masjid yang berada di dalam kompleks Pesantren al Muaddib menjadi tempat belajar Taman Kanak-kanak (TK) 30 balita. Mereka adalah anak-anak warga desa pasuruan. "Jadi tidak benar kalau dikatakan pesantren kami eksklusif. Kata Mahfudz.

Pendirian Ponpes al Muaddib pada 1994 bukan hanya inisiatif Baridin, tapi juga disokong dorongan tokoh masyarakat setempat. Baridin kemudian mewakafkan tanah 700 meter persegi miliknya untuk pendirian Ponpes. Kata Mahfudz.

Bukti lain, Ponpes ini tak eksklusif, kata Mahfudz, adanya sumbangan masyarakat setempat ke Ponpes itu, berupa 1,5 ton padi pada tiap musim panen tiba. Saat 'Iedul Adha pun, Pesantren mendapat sumbangan 12 ekor sapi dari warga. "Pesantren kami memang diterima masyarakat." Katanya.

Kepala Desa Pasuruan, Watin Suseno, juga membantah al Muaddib eksklusif. Dia mengatakan, sejak pendiriannya, al Muaddib dimaksudkan sebagai pesantren pertanian. Para santri yang menimba ilmu di sana dipersiapkan memiliki keahlian di bidang usaha pertanian. "Untuk itu pihak dinas terkait di pemerintahan juga banyak terlibat dalam pendirian pesantren ini." Kata Watin.

Memang, kemudian, pengelola Ponpes mengalami kesulitan dana operasional. Krisis ekonomi 1998, menyebabkan kegiatan pesantren benar-benar berhenti. Baru, sekitar tahun 2005, pesantren ini kembali menerima pendaftaran santri, khususnya santri putri.

Karena santrinya putri, watin menilai tudingan ponpes mengajarkan terorisme menjadi tak nyambung.

Baridin yang memimpin ponpes itu adalah putra asli desa Pasuruan. Baridin dikenal sebagai sosok yang baik dan tak ambisius.

Watin mengatakan, sejak lulus SD di Desa Pasuruan, Baridin melanjutkan pendidikan ke luar daerah. Setelah menyandang gelar sarjana muda dari IAIN Sunan Kalijaga, pada tahun 1990 Baridin kembali ke Desanya dengan membawa istrinya. "Kabarnya, (istri Baridin) dari Yogyakarta." Katanya.

Baridin kemudian menjadi tokoh agama di desanya. Dia selalu menjadi imam shalat di masjid desa Pasuruan dan sering memberi ceramah dalam kegiatan pengajian warga. Tapi, materi ceramah yang disampaikan Baridin kepada warga biasa-biasa saja, seperti ceramah-ceramah lainnya.

Karena itu, Watin mengaku tak habis mengerti mengapa ada bahan baku bom di pekarangan belakang rumah Baridin. Dia semakin tak mengerti karena Baridin pun tiba-tiba menghilang dan tak memberi penjelasan. (PurWD/voa-islam/Rbk)


latestnews

View Full Version