Jakarta (voa-islam) - Pondok Pesantren (Ponpes) bukanlah lembaga pendidikan yang mengajarkan radikalisme. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universiatas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Bahtiar Effendy, meminta masyarakat tak menggeneralisasikan ponpes sebagai tempat mengajar hal-hal yang menyimpang atau radikalisme.
Masyarakat jangan menggeneralisasikan ponpes sebagai tempat mengajar hal-hal yang menyimpang atau radikalisme.
"Kita tidak boleh melakukan generalisasi seperti itu, karena persepsi (ponpes sumber radikalisasi-red) seperti itu sama sekali tidak benar," ungkap Bahtiar dalam diskusi bertajuk "Terorisme di Tengah Masyarakat Modern" di Jakarta, Kamis (13/8).
Menurut Bahtiar, sebagai lembaga pendidikan tertua di Tanah Air, Ponpes justru telah melahirkan sederet tokoh silam terkemuka, seperti KH. Wahid Hasyim, Din Syamsuddin, Nurcholis Madjid, dan Hidayat Nur Wahid.
Bahtiar menegaskan, pola pengajaran yang terdapat dalam kurikulum ponpes sama saja dengan yang diajarkan pada masa lampau maupun pada zaman sekarang ini. Bahkan, papar dia, ponpes juga telah turut berjasa bagi bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan.
Ponpes juga telah turut berjasa bagi bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan.
Tak heran, papar dia, pada era penjajahan, ponpes telah melahirkan banyak pejuang yang bergerak melawan kolonial. Bahtiar mengaku, tak sepakat jika terdapat pihak yang mengusulkan kurikulum dan semua buku yang diajarkan di ponpes harus ditinjau kembali dan diseleksi lagi.
Ia menegaskan, penyebab timbulnya pemikiran radikal bukanlah muncul di pesantren, tetapi berasal dari tempat lain. Bahtiar justru menyesalkan pemerintah yang tidak bisa mendeteksi sejumlah mantan sukarelawan dari Indonesia, yang ikut berperang di Afghanistan pada masa pendudukan Uni Sovyet di era 80-an.
Para "veteran" perang Afghanistan itu, dicemaskan masih menyimpan sejumlah memori seperti pada masa perang terdahulu, meski kini telah berada kembali di Indonesia.
Ulama Inggris, Syeikh Ahmad Babikir, mengatakan, masalah radikalisme bukanlah terletak pada lembaga pendidikan, tetapi materi yang telah diajarkan.
Pengajar pada Islamic School Center, Inggris itu, mengimbau pada setiap muslim agar memastikan bahwa anak mereka mendapatkan pendidikan Islami yang baik dan benar.
Saat ini, Babikir mengatakan, telah banyak kaum muslimin yang tidak benar-benar memahami makna dari kata Islam, Iman, dan juga Jihad.
Saat ini telah banyak kaum muslimin yang tidak benar-benar memahami makna dari kata Islam, Iman, dan juga Jihad.
Sementara itu, dari Medan, Lembaga Advokasi Umat Islam (LADUI) Sumatra Utara, mensinyalir ada skenario besar yang bertujuan mendiskreditkan Islam dan mengidentikannya dengan terorisme.
Ada skenario besar yang bertujuan mendiskreditkan Islam dan mengidentikannya dengan terorisme.
"Berdasarkan perkembangan terakhir, skenario besar untuk mendiskreditkan Islam kelihatannya mulai berhasil," papar Direktur Eksekutif LADUI Sumut, Abu Bokar Tambak, seperti dikutip kantor berita Antara, Kamis (13/8).
Menurut dia, sinyalemen itu dapat dilihat dari sering dikaitkannya aksi terorisme dengan jihad yang merupakan salah satu ajaran Islam. Kemudian, aksi yang menewaskan warga yang tidak bersalah itu sering juga dikaitkan dengan pesantren yang dikenal sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam.
Upaya itu, papar Bokar, diperkuat dengan direkrutnya umat Islam atau orang-orang yang dikenal baik, khususnya alumnus pesantren, untuk melakukan aksi terorisme. Bokar menyatakan, tak ada satu pun pesantren yang mengajar santrinya untuk melakukan aksi teror yang dapat menimbulkan korban jiwa. (PurWD/V-i/Rpb)