Jakarta (voa-islam) – Tayangan sejumlah media televisi mengenai pengepungan sekelompok orang yang disebut teroris di Temanggung, Jawa Tengah, berpotensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Komnas HAM menilai, tayangan itu secara tidak sadar mempertontonkan kekerasan dan berdampak buruk kepada pihak lain di luar proses penangkapan itu.
"Media televisi telah menjadikan upaya penangkapan seseorang yang masih terduga teroris menjadi tontonan live show," kata ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, di Jakarta, Kamis (14/7).
Meski hal itu berujung pada sisi komersial, tayangan itu kemudian memunculkan akibat yang negatif. Contohnya, keluarga dari orang-orang yang dituduh terlibat mendapat stigma buruk.
Komnas HAM juga menyayangkan sikap kepolisian yang mengeksekusi tersangka bom di Temanggung. "Seorang tersangka memiliki hak untuk diproses secara hukum. Praktis, hak itu hilang karena yang bersangkutan tewas," katanya. Dia mengatakan, kondisi itu memperburuk upaya pemenuhan hak sipil dan politik.
"Komnas HAM mendukung upaya tegas dalam memberantas terorisme, namun pemberantasan kejahatan itu harus dilakukan dengan mengindahkan hukum dan HAM," katanya.
Dia berharap, Polri tidak mengulang mempertontonkan tindak kekerasan yang lebih mirip 'perang keroyokan' puluhan personel Densus 88 dengan tersangka teroris.
Diharapkan Polri tidak mengulang mempertontonkan tindak kekerasan yang lebih mirip 'perang keroyokan' puluhan personel Densus 88 dengan tersangka teroris.
Secara tidak sadar, media telah melakukan trial by the press dalam tayangan itu. Padahal, seharusnya media mengedepankan asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini, Komnas HAM juga meminta media untuk tidak membuat berita yang berbeda dengan fakta-fakta di kepolisian.
Keterlibatan TNI
Mengenai adanya keinginan TNI agar diikutsertakan dalam menangani aksi terorisme, Ifdhal menegaskan, hal itu memerlukan aturan yang jelas. Hal ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan polisi.
Dia menambahkan, TNI tidak bisa langsung menangani terorisme. Semua harus melalui prosedur adanya permintaan dari polisi.
Sedangkan, ketika ditanya mengenani perlu tidaknya undang-undang terorisme yang lebih ketat, semacam ISA (Internal Security Act) di Malaysia, Ifdhal menilai tidak perlu. Hal itu karena undang-undang yang sekarang sudah memberikan banyak kewenangan kepada instansi terkait. (PurWD/v-i/rpb)