View Full Version
Rabu, 02 Sep 2009

Negeri Sulap Itu Bernama Indonesia

Negeri Sulap Itu Bernama Indonesia
Oleh: Burhan Sodiq

Susahnya menjaga akidah di negeri ini, sama susahnya dengan menembel genting yang bocor berkali-kali. Ditambal satu, bocor di sisi yang lainnya lagi. Karena perusakan akidah justru lebih banyak terjadi karena tayangan televisi yang tidak mendidik dan hanya mengandalkan sensasi belaka. Kali ini tayangan yang dipersoalkan adalah tayangan beraroma sulap dan sihir. Para lakon yang ada di tayangan ini sebagian besar sangat menyukai warna hitam sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Pakaian serba hitam, make up juga hitam, seakan dengan berhias serba hitam membuat wajah mereka menjadi semakin sangar. Seolah warna hitam sudah menjadi warna identitas kelompok mentalis dan hipnotis ini. Apakah memang ini bagian dari syarat keahlian mereka? Ataukah ini bagian dari sunah dari para pendahulunya?

Oleh karena itu, umat ini harus selalu dekat dengan ulamanya. Menggandeng mereka dalam setiap fenomena kehidupan yang mereka jalani.

Kita yang melihat akan dibuat terpana dan terheran-heran. Karena manusia biasa tidak akan mungkin bisa melakukannya. Maka tidaklah salah kalau para alim ulama kemudian menganggap tayangan mentalis dan hipnotis ini menggunakan jasa jin dan kekuatan lain yang mengarah kepada kesyirikan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Jawa dan Lampung yang menggelar rapat koordinasi di Serang, Banten, meminta kepada penanggungjawab acara itu untuk menghentikan acara tersebut. Seperti dilansir tempointeraktif.com edisi Kamis, 13 Agustus 2009 | 11:23 WIB, Ketua Komisi Fatwa Rapat Koordinasi MUI se-Jawa dan Lampung, KH. Syafe'i mengatakan, ulama menilai acara itu termasuk perbuatan hipnotis yang merusak ketauhidan dan akidah umat Islam.

Menurut Syafe’i, jika hipnotis yang murni saintifik atau ilmiah tanpa menggunakan bantuan jin, setan dan mantera, hukum asalnya adalah boleh atau jawaz tergantung pada penggunaannya. Namun jika hipnotis sudah menggunakan bantuan setan dan jin, maka hukumnya haram. Dalam rapat koordinasi MUI se-Jawa dan Lampung itu, ujar Syafe’i, fatwa yang dikeluarkan sebenarnya bukan langsung pada sejumlah tayangan televisi yang berbau mistik.

Sementara itu, Keputusan tersebut dibuat dalam Bahtsul Masail Wustho yang digelar di Ponpes Abu Dzarrin, Kendal, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro juga mengamini fatwa yang sama. Menurut para peserta pertemuan, pertunjukan yang mendebarkan itu  adalah jauh dari jangkauan akal sehat.

Pertemuan  tersebut diikuti oleh puluhan pesantren di Jatim. Di antaranya adalah Ponpes Sidogiri (Pasuruan), Lirboyo (Kediri), Langitan (Tuban), Al-Khozini (Sidoarjo), PP Tanggir (Tuban), PP Gilang (Babat/Lamongan) dan beberapa pesantren kondang lainnya.
 
Tapi Kenapa Banyak yang Suka
Seperti zaman, segalanya pasti berulang. Apa yang menjadi minat masyarakat kebanyakan memang bukan menjadi patokan benarnya sebuah tontonan. Sihir, sulap, magic, mentalis, hipnotis atau apapun namanya memang menarik untuk dilihat. Karena ia berhasil memainkan emosi penonton dan decak kagum mereka. Itulah yang diinginkan, itulah pula yang selama ini dijadikan alat jualan. Para mentalis nampaknya akan sangat puas bila melihat penontonnya melongo keheranan, domblong, sampai akhirnya berdiri memberikan applause luar biasa. Diakui atau tidak, memang tidak ada unsur pelecehan terhadap sebuah keyakinan beragama. Tidak ada pula unsur-unsur ajakan untuk mengamini pernyataan tertentu atau mengajak menyembah sosok tertentu pula. Karena kalau itu semua dinampakkan, maka penonton akan bubar dengan sendirinya.

Penonton tidak boleh disinggung dalam soal keyakinan dan agamanya. Mereka hanya cukup disentuh sisi keheranan, setakjuban, kekaguman dan akhirnya menganggap bahwa para mentalis itu hebat di mata para penonton. Sehingga lambat laun proses pencucian otak ini pun berjalan. Mereka akan menjadi fans yang setia tanpa harus diminta ataupun dipaksa. Mereka akan bergaya hidup sebagaimana sang idola dengan penuh bangga dan jiwa yang besar. Sehingga hasilnya bisa segera dilihat. Fatwa ulama seharam apapun tidak akan menjadi sebuah pertimbangan. Karena jiwa dan hati sudah didominasi rasa heran dan takjub.

Fenomena ini seolah menunjukkan bahwa kita adalah bangsa primitif. Mirip seperti jaman Musa dan Firaun. Kerajaan Firaun sangat gemar mempertontonkan keahlian bersihir di depan rakyatnya. Mengubah tongkat menjadi ular dan berjalan di atas api serta pertunjukan sihir lainnya. Mereka suka dengan itu semua. Dan kini, zaman itu bergulir lagi dengan kemasan yang lebih modern.

Penonton sudah tidak mau lagi peduli apakah ini akan menjerumuskan mereka pada syirik kepada Allah ataukah tidak. Karena pesan yang disampaikan oleh televisi nampaknya sudah mengakar kuat bahwa ini hanya semata sebuah hiburan dan entertainment. Dan layaknya sebuah bisnis, dunia hiburan selalu membutuhkan sensasi yang menakjubkan. Di sinilah kemudian, dunia hiburan menjadi kiblat baru dalam menjalani kehidupan. Sementara agama hanya berlaku di sudut-sudut musola kecil dan masjid-masjid yang lengang.

Apa Dampak untuk Generasi kita?

Anak anak yang gemar melihat ini akan menjadi anak yang bermental keruh. Mereka belum cukup mampu membedakan antara sebatas hiburan atau sudah menjadi tuntutan. Sementara di sisi lain mereka tidak cukup mendapat asupan pendidikan agama, akidah yang benar serta bagaimana islam memandang sebuah persoalan. Lengkap sudah pencucian otak ini mendera diri mereka. Mereka akhirnya menjadi generasi yang kehilangan ruh keislaman dan pemahaman tauhid yang benar. Konsep la haula wa la quwwata illa billah menjadi gamang bagi mereka. Karena bisa jadi Allah menjadi nomer sekian, dan para mentalis itu menjadi semakin hebat di mata anak-anak itu.

Oleh karena itu, umat ini harus selalu dekat dengan ulamanya. Menggandeng mereka dalam setiap fenomena kehidupan yang mereka jalani. Ulama akan selalu menjadi terang bagi umatnya. Memberi tahu yang benar, dan menyalahkan yang salah. Namun sayangnya, pihak penguasa dan media massa seolah kurang peka dengan masalah seperti ini. Sehingga akan selalu memunculkan rasa kecewa baru yang tiada akan pernah habisnya. Seharunya justru media televisi juga berperan dalam menjaga akidah ummatnya. Bukan malah selalu menabur pekerjaan rumah baru bagi para ulamanya.

[voa-islam.com]


latestnews

View Full Version