Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tetap menolak menandatangani Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, padahal keduanya telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) 14 September 2009 lalu.
Tanpa tanda tangan gubernur, sesuai UU, kedua qanun itu sudah harus berlaku sebulan setelah disahkan Dewan. Sekarang Irwandi Yusuf menanti DPRA merevisi kedua qanun itu. Masyarakat Aceh sendiri tetap terbelah dengan qanun kontroversial ini.
Dari empat rancangan qanun yang disahkan adalah qanun jinayat yang dianggap paling kontroversial, mengingat isi qanun tersebut berbunyi "para pelaku zina yang sudah menikah akan dihukum rajam sampai mati". Sedangkan yang melanggar zina dengan status belum menikah dicambuk seratus kali.
Inilah yang menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Aceh, saat ini. Karena pengesahan qanun jinayat dianggap tidak mewakli komponen masyarakat Aceh.
Menghabiskan energi
Berikut adalah komentar-komentar warga Aceh yang masih saja mempertanyakan penerapan hukum Islam :
Marheini: "Mengapa ya kita suka sekali menghabiskan energi dengan hal-hal sensasi dan kontroversi. Padahal masih banyak yang perlu dibenahi. Soal pendidikan, perlindungan terhadap perempuan dan anak, kesehatan dan masalah sosial, ataupun soal ekonomi masyarakat Aceh yang perlu ditingkatkan. Menurut saya mantan anggota DPRA yang telah mengesahkan qanun jinayat itu tidak menitikberatkan kepentingan masyarakat, tapi lebih sekedar mencari sensasi di akhir masa tugas mereka".
Marda Ilham: "Menurut saya, raqan itu lahir lebih pada menitikberatkan semangat untuk menghukum secara kejam pada masyarakat yang lemah. Bukan membangun aspek pendidikan dan keadilan. Dengan rumusan sekarang ini menurut saya qanun jinayat bukanlah jawaban bagi kebutuhan masyarakat Aceh. Tapi lebih sebaliknya berpotensi menciptakan konflik, karena pemahaman penerapannya masih multi tafsir".
Kamaruzaman: "Ini menimbulkan spekulasi bahwa itu adalah kalkulasi politik untuk menjebak DPRA yang baru dipilih rakyat, yang dikuasai oleh mayoritas Partai Aceh dan Demokrat. Menurut saya keadaan ini akan semakin meruncing karena PR yang ditinggalkan anggota DPRA lama akan menjadikan masyarakat kita nantinya berlaku serba salah".
Budiono: "Nah sekarang pertanyaanya adalah apakah masyarakat siap, dengan kondisi yang mungkin kita masih belajar. Dilihat juga porsi, dalam artian kesiapan masyarakat. Sehingga aturan yang diterapkan ke masyarakat tidak langsung mengarah kepada hal yang sangat ekstrem, misalnya potong tangan, tetapi ada batasan-batasan tertentu yang dilakukan secara bertahap".
Demikian komentar warga yang tidak faham dengan perlunya penerapan hukum Islam.
Kecaman internasional
Pembahasan qanun jinayat sendiri telah melalui proses yang panjang dan memakan waktu lebih dari setahun dalam membahasnya. Persetujuan parlemen aceh ini berlangsung di tengah penolakan keras dari berbagai pekerja HAM.
Human Rights Watch yang berpusat di New York Amerika Serikat, telah mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa qanun jinayat yang telah di luluskan oleh DPR Aceh dianggap penyiksaan yang melanggar HAM dan bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan dari penyiksaan, serta undang-undang kriminal nasional RI lainnya. HRW menuntut Mendagri RI supaya segera mereview dan membatalkan qanun jinayat Aceh tersebut. Sudah tentu HRW menolak penerapan hukum Islam ini, sebab dasar HRW tidak pernah menggunakan prinsip Islam dan mereka tidak memahami pentingnya hukum Islam yang tegas tersebut.
Sebaliknya, aktivis LSM Muhammad Alhamda mengungkapkan pengesahan qanun jinayat Aceh terlalu dini dan prematur.
Muhammad Alhamda: "Karena persoalannya adalah semua persoalan semua lapisan elemen masyarakat Aceh. Bukan hanya untuk kalangan tertentu saja. Oleh karenanya pembahasan yang menyetujui qanun jinayat Aceh kemarin itu untuk disahkan terlalu dini dan prematur. Dan terkesan DPR Aceh periode 2004-2009 hanya mengejar target, ingin menyelesaikan rancangan qanun yang menjadi tugas pokok mereka. Tetapi tidak melalui tahapan-tahapan yang memang dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, filsofis dan historisnya".
Sementara itu sebagian kalangan yang setuju diberlakukannya qanun jinayat untuk segera diterapkan di masyarakat mengharap tidak ada yang perlu ditakuti karena masyarakat Aceh mayoritas beragama Islam. Demikian Suhada ormas pemuda Muhammadiyah.
Suhada: "Lahirnya hukum jinayat ini lebih mempertegas bahwa hukum syariat islam di Aceh benar-benar ada, tidak pilih kasih dan benar-benar diberlakukan. Tidak perlu takut, karena kita semua orang islam dan semua menginginkan yang terbaik untuk masyarakat dan untuk agama islam kita sendiri."
Desakan gubernur
Kalangan yang yang mendukung pemberlakukan hukum rajam dalam Qanun Jinayat beragumen bahwa hukum tersebut tidak bertentangan dengan HAM, sebab dianggap sudah jelas dan telah diamanahkan dalam undang-undang pemerintahan Aceh pasal 125 No. 11 tahun 2006 yang berbunyi bahwa Aceh diberi wewenang untuk memberlakukan hukum pidana Islam.
Namun mengapa sampai hari ini gubernur Aceh Irwandi Yusuf belum juga menandatangani pengesahan raqan jinayat tersebut? Muhammad Alhamda kembali menambahkan.
Muhammad Alhamda: "Kami mendesak gubernur untuk tidak menandatangani qanun ini, walaupun secara yuridis qanun tersebut dengan sendirinya akan berlaku dalam waktu 30 hari tanpa ditandatangani. Ternyata gubernur masih punya pertimbangan yang sama dengan masyarakat. Intinya bukan menolak syariat Islam. Tapi lebih semata-mata demi keadilan hukum itu sendiri ketika diberlakukan di Aceh."
Rakan Qanun jinayat yang ditetapkan menjadi hukum positif bagi publik disahkan bersamaan dengan qanun hukum acara jinayat, rakan wali nanggroe, rakan pemberdayaan dan perlindungan perempuan serta raqan penanaman modal pada tgl 15 september 2009 oleh mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, dua minggu sebelum berakhirnya tugas mereka.
Meski Gubernur Aceh tidak mau menandatangani, namun qanun jinayat telah dianggap sah dan siap diberlakukan. Karena sudah jatuh tempo untuk pengesahannya. Kali ini suara gubernur di anggap berpihak kepada rakyat Aceh yang menganggap qanun jinayat tersebut dirancang penuh dengan aroma politik yang menguntungkan sebagian pihak namun membebani kaum tertindas.
Kita tunggu penerapan hukum Islam di Aceh.
[voa-islam/rnw]