Pengesahan Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat di Aceh mengundang pro dan kontra. Pihak Amerika Serikat tak tinggal diam terhadap Qanun Jinayat di Aceh yang memasukkan hukuman rajam bagi pelaku zina yang telah menikah. Melalui wakil duta besarnya di Indonesia, Ted Osius mempertanyakan langsung kepada Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi.
"Hukum rajam yang diatur di Qanun jelas melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia... Hukum rajam itu juga menurunkan martabat manusia dan menyiksa" (Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim)
Menjawab pertanyaan ini, KH Hasyim Muzadi menjelaskan, ajaran syariah Islam diperkenalkan sebagai kewajiban individu sedangkan sebagai warga negara, wajib mematuhi undang-undang yang ada.
“Syariah untuk individu, bukan untuk negara, NU menilai yang penting adalah substansinya, bukan teksnya,” kata Hasyim Muzadi menjawab pertanyaan Dubes AS, di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (10/11).
Sikap kontra Perda Syariat itu bukan yang pertama kali digulirkan oleh Hasyim. Penolakan yang lebih tajam pernah disampaikan dalam sebuah wawancara dengan Radio Nederland Wereldomroep. Dalam wawancara berjudul “NU Menentang Perda Syariat” di situs http://static.rnw.nl, Hasyim menegaskan kekhawatirannya terhadap penerapan Perda Syariat di berbagai daerah. “Akhirnya Indonesia akan menjadi berkeping-keping,” ungkapnya.
Sebelumnya, sikap konta Perda Syariat dilakukan oleh Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Menurutnya, qanun yang baru disahkan DPR Aceh itu melanggar Konvensi Internasional Anti-Penyiksaan yang telah dirativikasi Pemerintah Indonesia pada tahun 1998. Hukum rajam yang diatur di Qanun jelas melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Rajam bertentangan dengan semangat konstitusi amandemen kedua HAM, tentang jaminan perlindungan hak azasi termasuk tidak boleh dilakukannya hukuman yang kejam. “Hukum rajam itu juga menurunkan martabat manusia dan menyiksa,” tegasnya.
Pendapat ini ditampik oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail, dengan alasan Qanun Jinayah sama sekali tidak melanggar undang-undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia. “Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM,” jelasnya.
Syariat Islam sesuai dengan kebutuhan dan fitrah manusia
Berbeda dengan Hasyim, cendekiawan Muslim terkemuka, Didin Hafiduddin, menyatakan bahwa syariat Islam sangat mungkin dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Termasuk, penerapan dan pelaksanaan syariat Islam di wilayah Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
''Tentu saja sangat mungkin dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Karena memang, semua aturan dalam syariat Islam sesuai dengan kebutuhan dan fitrah manusia,'' kata Didin.
Syariat Islam bisa lebih banyak lagi diterapkan di Indonesia dan menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan di negeri ini..
Namun yang jelas, kata Didin, ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi agar syariat Islam dapat dilaksanakan. Syarat utamanya, syariat Islam harus masuk ke dalam undang-undang dan peraturan perundangan lainnya.
Di sisi lain, mantan rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini menyatakan ada langkah terpenting yang harus dilakukan agar penerapan syariat Islam berjalan baik. ''Hal terpenting adalah sosialisasi dan edukasi pada masyarakat tentang urgensi dan indahnya ajaran Islam,'' katanya menegaskan.
Pendapat senada diungkapkan oleh Prof Dr Yunahar Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah. Menurutnya, syariat Islam bisa lebih banyak lagi diterapkan di Indonesia dan menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan di negeri ini. Hanya saja diperlukan sikap proaktif dari umat Islam itu sendiri dalam upaya menjadikan syariat Islam masuk dalam perundang-undangan.
''Secara normatif, peraturan perundangan kita khan banyak berasal dari hukum adat, hukum barat dan hukum Islam. Tentunya umat harus proaktif untuk memberikan usulan-usulan melalui dua jalur yang tersedia. Yaitu bisa melalui pemerintah atau bisa melalui DPR,'' tegas Yunahar.
Dicontohkan Yunahar, saat ini sudah cukup banyak syariat Islam yang diakomodir menjadi peraturan perundang-undangan. Seperti UU Wakaf, UU Zakat, UU Perkawinan dan lainnya. ''Nah seperti UU Pornografi, setelah diberlakukan, ternyata penerapannya kurang memuaskan. Artinya tidak cukup sampai pada usulan, namun umat juga harus mengawal penerapan UU tersebut. Yang terpenting adalah sikap kesungguhan dari pemerintah dalam menjalankan UU itu. Sampai sekarang UU Pornografi itu kan tidak ada tindaklanjutnya,'' papar kiai Yunahar.
Namun soal teknis, terkait hukum pidana, Yunahar menilai agar usulan syariat Islam sebagai hukum pidana, hendaknya menjadi prioritas terakhir. ''Karena tentunya pasti akan mengundang reaksi mereka yang phobia dan kontra. Jadi sebaiknya itu menjadi prioritas terakhir,'' kata kiai Yunahar. Masih banyak menurutnya, persoalan-persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan yang bisa diatur dengan peraturan perundangan yang diambil dari syariat Islam.
[lum, purwd, voa-islam]
Berita terkait: Andai Syariat Islam Hanya untuk Individu Saja