Jakarta (voa-islam.com) -Kaum fundamentalis tidak boleh dianggap sebagai musuh yang harus diperangi. Sebab, memeranginya sama artinya keluar dari ajaran agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
"Bukan memandang sebagai musuh, tetapi kita harus berdiskusi dengan mereka," kata Gus Dur.
Hal ini disampaikannya dalam Interfaith Dialogue bertajuk 'Indonesia: The Center of Moderate Moslems' di Wahid Institute, Jl Amir Hamzah, Jakpus, Kamis (26/11@2009).
Hadir dalam dialog Cardinal Jean-Louis Tauran dari Vatikan dan mantan Ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dalam kesempatan itu, Gus Dur juga bercerita tentang kekhasan Islam di Indonesia yang bersentuhan langsung dengan nasionalisme. Gus Dur pun bercerita tentang sejarah berdirinya Nadhlatul Ulama (NU) yang dipelopori kakeknya Hasyim Asy'ari saat zaman perang kemerdekaan.
Saat Muktamar pertamanya pada 1935, kata Gus Dur, NU memutuskan untuk tidak menjadikan Indonesia menjadi negara Islam.
"Tidak ada suatu kewajiban bagi umat Islam manapun untuk mendirikan negara Islam," ujar Gus Dur tentang keputusan Muktamar.
Sementara Cardinal Tauran bercerita tentan damai yang tidak hanya bermakna bebas dari peperangan, namun juga terciptanya suatu keadaan yang saling toleran dan respek antar elemen masyarakat. Perdamaian tercipta jika ada kerja sama antarumat beragama.
"Kerja sama antar umat beragama menjadi prioritas Paus sekarang," kata Cardinal Tauran.
Menanggapi pertanyaan mengapa banyak terjadi perlakuan buruk terhadap umat muslim di Eropa, Cardinal Tauran mengatakan hal itu karena kurangnya pemahaman masyarakat Eropa akan Islam itu sendiri. Menurutnya, pemahaman yang baik seseorang terhadap agama di luar agamanya akan mengurangi sikap fundamentalisme tersebut.
"Itu disebabkan karena merka tidak tahu apa itu Islam. Oleh karenanya pengajaran tentang Islam diperlukan di sekolah dan universitas di Eropa. Pluralisme adalah sebuah realitas," jelasnya.[Ali/dbs]